Manusia
dikenal sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dikatakan makhluk sosial
karena manusia sebagai individu saling membutuhkan dan saling berinteraksi
dengan manusia atau individu lainnya. Oleh sebab itu manusia sebagai makhluk sosial
sangat membutuhkan orang lain pada hidupnya untuk saling memberi, menolong, dan
melengkapi satu sama lain.
Adapun
pengertian interaksi sosial menurut Effendi[1]
adalah berasal dari kata inter dan action. Interaksi sosial adalah hubungan
timbal balik saling mempengaruhi antar individu, kelompok sosial, dan
masyarakat. Dalam hal ini berarti bahwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya
tidak lepas dari hubungan dengan manusia lainnya. Interaksi juga berarti bahwa
setiap manusia saling berkomunikasi dan mempengaruhi bisa dalam pikiran maupun
tindakan.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat sosial, terutama
sebagai warga Negara Indonesia yang hidup dengan lingkungan yang multi etnis,
agama, ras, dan budaya dibutuhkan sikap toleransi. Toleransi terutama toleransi
dalam beragama dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai.
Kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat hanya akan menjadi sebatas wacana
jika sikap toleransi tidak dipupuk sejak dini. Toleransi umat
beragama sangat
penting untuk menjaga kesatuan bangsa. Tujuan yang lebih luasnya untuk menjaga perdamaian dunia.
Bersikap
toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama.
Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan
dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat
mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam
kehidupan umat manusia ini.
Namun
sayangnya, masih banyak kita jumpai masyarakat yang mengintimidasi suatu
kelompok minoritas yang dianggap berbeda dengan yang berlaku secara umum. Minoritas
adalah kelompok orang yang karena satu dan lain menjadi korban pertama
despotism Negara atau komunitas yang membentuk mayoritas. Sangat sering mereka
diturunkan ke tingkat keadaan yang tidak jelas. Mereka adalah orang yang
sejarahnya tetap tidak tertulis, kondisi keberadaannya tetap tidak dikenal,
cita-cita dan aspirasinya tidak diapresiasi.[2] Berbagai
konflik masih terus terjadi di berbagai daerah dan Negara yang menggambarkan
betapa toleransi dan masalah keadilan merupakan dua hal yang banyak memunculkan
problematika.[3]
Berdasarkan
landasan diatas, mengingat urgensi pemupukan sikap saling menghormati, maka
penulis akan membahas muslim minoritas dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa perspektif representasi. Kajian terhadap
film ini perlu dilakukan mengingat perannya yang sentral sebagai representator
problem keseharian. Dimulai dari yang sederhana hingga complicated. Film dianggap sebagai produk seni media yang dianggap
bias menggerakkan nalar kritis publik.
Dalam
pembahasan kali ini, penulis akan menjabarkan bagaimanakah muslim minoritas
dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa
perspektif representasi?. Dan bagaimanakan stereotip, gender, fakta, pandangan
positif negative, serta cara lain untuk mengubah representasi dalam film
tersebut?.
Ringkasan Teori Representasi
1.
Pengertian Representasi
Menurut
Branston dan Stafford representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di
dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa
atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara
tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di
dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi (a construction), atau
tak pernah ada ‘jendela’ realitas yang benar-benar transparan.[4]
Burton,
(2008:114) dalam buku yang tersembunyi dibalik media menjelaskan representasi
sebagai; “Hal yang direpresentasikan adalah pandangan-pandangan tertentu dari
kelompok-kelompok sosial. Pandangan-pandangan inilah yang kita pelajari secara
tidak sadar untuk menerimanya sebagai normal, dan mengesampingkan
pandangan-pandangan alternatif.”[5]
Sedangkan
menurut Eriyanto representasi adalah bagaimana seseorang, satu kelompok,
gagasan, pendapat, realitas atau objek tertentu ditampilkan dalam sebuah teks.
Dalam representasi sangat mungkin terjadi misrepresentasi yang artinya
ketidakbenaran penggambaran atau kesalahan penggambaran. Salah satu bentuk
misrepresentasi adalah marjinalisasi. Marjinalisasi adalah penggambaran yang
buruk kepada pihak atau kelompok lain.[6]
Selanjutnya
beberapa kajian mengenai muatan atau representasi kultural dalam sebuah teks
atau media juga jatuh pada implikasi teoris dan metodologis yang mensyaratkan
perlunya studi yang semata tidak menekankan aspek objektif teks. Dengan kata
lain, kajian
tentang representasi yang hanya mengandalkan pada aspek tekstual semata tidak
akan menghasilkan simpulan yang mendalam. Itulah sebabnya dipandang
perlu untuk melakukan studi teks media (televisi misalnya) yang didekati secara
sekaligus dari aspek tekstualnya (mikro), pemroduksi teks (super-text)
dan tanggapan khalayak /audiensnya.[7]
Representasi
itu tidak sekedar proses penyajian kembali suatu objek di dalam sebuah media
namun lebih dari itu media ternyata juga menjalankan proses pembentukan suatu
identitas tertentu atau suatu positioning tertentu terhadap objek yang
dicitrakan dalam suatu media.
2.
Unsur-Unsur dalam Representasi
a. Stereotipe
Menurut
Baroon & Byrne prasangka atau stereotip adalah sikap negative terhadap
kelompok tertentu atau seseorang, semata-mata karena keanggotaannya dalam
kelompok tertentu.[8]
Stereotipe
adalah proses menggeneralisasikan keseluruhan kelas dari suatu fenomena
berdasarkan sedikit pengetahuan yang didapat dari anggota kelas tersebut.[9]
Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh
manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang komplek dan membantu dalam
pengambilan keputusan secara cepat. Penilaian dalam stereotip hanya berdasarkan
sifat-sifat khas yang seakan-akan menempel pada suatu kelompok tertentu.
Stereotip dapat membantu memahami dunia. Berguna untuk menyederhanakan dan mensistemisasi
informasi. Dengan demikian, informasi lebih mudah diidentifikasi, ingat,
diprediksi, ditanggapi.[10]
b. Representasi dan
gender
Branston
dan Roy Stafford[11] menyebutkan istilah seks dan gender sering
disalah mengerti. Seks disini berbeda dengan seksualitas (yang mengacu kepada
orientasi seksual, aktivitas seksual, atau proses imajinatif) sedangkan seks
mengacu pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada
perbedaan organ seks, factor hormone dan lain-lain. Sementara itu, istilah gender
mengacu kepada perbedaan secara cultural.
Konsep
gender juga muncul, bahkan sangat sering ditampilkan oleh media. Perempuan
dalam media massa selalu digambarkan sangat tipikal, yakni tempatnya adalah di
rumah, berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, bergantung pada pria,
tidak mampu membuat keputusan penting.[12]
c. Representasi dan
Fakta
Sastra dan sejarah memandang waktu sebagai aspek
yang sangat penting. Sejarah disusun atas dasar fakta-fakta sejarah.
Objektivitas sejarah terletak dalam penemuan dan penyusunan fakta-fakta secara
kronologis. Tanpa dimensi waktu, sastra dan sejarah tidak pernah ada.[13]
Makna sebuah teks (textual meaning) tidak
selalu sejalan dengan makna yang dimaksud atau diniatkan pengarangnya (authorial
meaning). Ada otonomi pengarang, tetapi ada pula otonomi semantik dari
sebuah teks. Tafsiran pengarang atas karyanya, pada akhirnya, hanya merupakan
salah satu tafsiran di antara tafsiran-tafsiran lain dalam kontestasi
pemaknaan.[14]
d. Pandangan Positif dan Negatif
Representasi merupakan
penunjukan identitas tertentu (dalam hal ini, suku, ras, agama, seksual) yang
merupakan hasil konstruksi sosial. Representasi bukanlah cermin maupun distorsi
dari ‘apa yang dianggap benar’ karena ‘apa yang dianggap benar’ selalu bersifat
tidak stabil. Oleh karena itu, representasi tidak bisa diukur akurasinya.
Representasi selalu
bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi
sifat-sifat negatif (stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi.
Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari
‘mayoritas’ atau normal. Di sini, proses representasi membedakan ‘kita’ dan
‘mereka’, dengan ‘mereka’ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi. Dalam naratif drama, konflik dibangun atas
representasi positif dan negatif.[15]
e. Cara Lain untuk Mengubah
Representasi
Representasi, wacana, stereotip dalam satu
kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia perindustrian, terutama dalam
industry perfilman. Tetapi
penting untuk
digaris bawahi, seyogyanya perdebatan mengenai representasi ini tidak hanya sebatas analisis tekstual belaka
tetapi harus mampu
melihat tendensi industry media dalam
menyajikan representasi tersebut dan harus mampu memahami tujuan apa
dibalik penonjolan representasi yang ditampilkan.[16]
Metode
dalam Menganalisis Representasi Muslim
Minoritas pada Film 99 Cahaya di Langit
Eropa
Toleransi secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa
Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan
orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab menterjemahkan
dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.[17]
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama
manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau
mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam
menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat
atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[18]
Pentingnya memupuk toleransi
ini mengingat bahwa pluralisme dan modernisme telah menjadi sebuah kenyataan
asasi manusia. Pluralisme merupakan sebuah realitas
sosial yang siapapun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga
merupakan hukum Allah (sunatullah). Pluralisme harus disertai dengan kesadaran
teologi bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang plural dan itu
merupakan kehendak Allah.[19]
Dalam menghadapi kehidupan yang prular ini,
masyarakat juga akan menghadapi kelompok masyarakat yang radikal, sekuler, dan
hedonis. Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan.
Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan social dan
politik dengan cara drastic dan memerasan.[20]
Sekularisme, dalam karakteristiknya seperti yang ada didunia barat, adalah
formulasi ide yang menegaskan bahwa antara agama dan Negara merupakan dua
identitas yang berbeda dan terpisah.[21]
Sedangkan hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.[22]
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada
terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri,
yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.[23] Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena
terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain
tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Dengan kata lain, pelaksanaannya hanya pada
aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam persoalan yang prinsipil.[24]
Begitu juga dengan modernisme, Antony Giddens
dipermulaan bukunya, The Consequences of
Modernity, memaknai realitas kemoderenan dalam masyarakat yang plurat saat
ini sebagai pola hidup sosial atau organisasi masyarakat/manusia.[25]
Menurut Hassan Hanafi tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan
demokrasi, pencerahan, dan humanisme sebagai suatu konsep ideal yang
kegunaannya tidak diragukan lagi.[26]
Pada tahun 1920, Modernisme yang di era sebelum perang hanyalah sebuah efek
minoritas mulai menegaskan dirinya sebagai hal yang dapat mengubah zaman.[27]
Pembentukan modernitas dalam masyarakat makmur Asia bersifat gender.
Toeti Heraty Noerhadi mengemukakan bahwa di Indonesia
isu gender yang menuntut diberlakukannnya peran publik bagi perempuan bukan hal
yang baru lagi. Kemestian wanita untuk berperan di luar rumah sudah lama
diberlakukan masyarakat tradisional, untuk kemudian dalam perkembangan ekonomi
modern sering disebut sebagai masyarakat bawah.
Mereka, karena keterbatasan ekonomi harus melakukan peran ganda di tengah
masyarakat; sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Kesibukannya di
luar rumah tidak menyebabkan tugas-tugas privat terabaikan, karena mereka
biasanya membedakan antara kerja publik sebagai tuntutan hidup dan kerja privat
sebagai kewajiban budaya. Sehingga kegiatan privat tidak ditanggapi sebagai
jajahan budaya lelaki dan sebaliknya kegiatan publik tidak sebagai kemenangan
wanita atas laki-laki. Pada golongan masyarakat ini peran ganda terlihat dalam
tataran ambiguitas atau liminal, ambang pintu.[28]
Fakta minimnya toleransi dalam hidup bermasyarakat akan sangat dirasakan
bagi mereka para imigran. Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan bahwa migrasi
penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi
ke unit administrasi yang lain.[29] Migrasi bisa dilakukan antar wilayah, daerah,
provinsi, bahkan internasional. Migrasi internasional merupakan proses
perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang melakukan
migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik
bagi dirinya dan keluarganya. Suatu fakta memperlihatkan bahwa pengangguran,
upah yang rendah, prospek karir yang kurang menjanjikan untuk orang-orang yang
berpendidikan tinggi dan resiko untuk melakukan investasi di dalam negeri
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar
negeri.[30]
Umumnya orang melakukan
migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Salah
satu masalah dalam migrasi internasional yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia
adalah belum mampunya pemerintah memenuhi permintaan luar negeri terhadap
tenaga kerja profesional, karena hingga saat ini sebagian besar tenaga kerja
migran yang bersedia bekerja ke luar negeri didominasi oleh tenaga kerja dengan
tingkat pendidikan rendah.
Berbeda dengan migrasi internal, dalam migrasi internasional, para migran
tidak dapat memutuskan dengan bebas dalam mencari pekerjaan di negara tujuan.
Tetapi negara tujuan yang memutuskan menerima migran tersebut sesuai
kebutuhannya.[31] Tidak mengherankan bila di
negara-negara penerima migran (receiving
countries) kecurigaan etnis dan persaingan ekonomi memaksa para migran
harus ekstra luar biasa hati-hati. Kenyataan ini membuat para migran harus
bertahan terhadap setiap kemungkinan permusuhan yang timbul dalam
pergaulan dengan orang-orang di negara setempat.[32]
Disinilah awal mula terjadinya diskriminasi terhadap kaum migran Indonesia
di luar negeri yang mengakibatkan terjadinya intoleransi. Namun sebagai makluk
social[33] yang notabene tidak akan mampu hidup seorang diri di
muka bumi ini, seyogyanya hal tersebut tidak lagi terjadi.
Konflik
dalam masyarakat disebabkan oleh banyak hal dan salah satu sebabnya adalah
rendahnya toleransi antarindividu dan antarkelompok. Ketika seseorang atau
suatu kelompok lebih mementingkan egonya dan tidak bersedia memahami perasaan
dan kepentingan pihak lain, maka terjadilah konflik. Hal terpenting yang harus
dilakukan saat ini adalah bagaimana mengatur konflik itu agar tidak merusak
tatanan sosial suatu masyarakat atau suatu bangsa. Apabila konflik itu mulai
mengancam integrasi sosial atau bangsa, maka hendaknya para pihak mulai
berfikir jernih. Hal Ini membutuhkan kemampuan untuk menahan diri. Dan
kemampuan menahan diri itu mencerminkan rendah tingginya peradaban.
Analisis
Muslim Minoritas dalam Film 99 Cahaya di
Langit Eropa: Perspektif
Representasi
Film ini terdiri dari 2
bagian, yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa (durasi 96 menit) dan 99
Cahaya Di Langit Eropa 2 (durasi 102 menit).[34] 99 Cahaya di Langit Eropa adalah film drama
religi tahun 2013 dari Indonesia.
Film ini adalah film ke-40 yang dirilis oleh Maxima Pictures.
Film drama ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Hanum
Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Film
ini mengisahkan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di
Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman.[35]
Di awal film
itu, dikisahkan bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan
bahasa ibu di negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk
sekitar selama petualangannya hidup mendampingi suami di sana. Dari kelas
kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki
bernama Fatma Pasha yang dalam film ini diperankan oleh Raline Shah yang setiap
berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan
mengajak serta putri kecilnya Ayse diperankan oleh Geccha Qeaghaventa.[36]
Teman-teman
Rangga di kampus diperankan secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India
bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus
ujian demi ikut sholat Jumat. Steffan (Nino Fernandez) seorang atheis yang
terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar Ketuhanan. Sosok Maarja
(Marissa Nasution) yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang yang
identik dengan tradisi Barat.
Dalam
perjalananya menjajaki area ziarah di benua Eropa, mengantarkan Hanum bertemu
dengan wanita muslim asal Turki di Austria bernama Fatma Pasha (Raline Shah)
yang memberikan luasnya kedamaian Islam. Di Paris, Hanum bersua dengan
seseorang mualaf, Marion Latimer (Dewi Sandra) yang bekerja untuk ilmuwan di
Arab World Institute Paris. Film ini mengisahkan bagaimana perjuangan seorang
muslim hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas.[37]
Sebuah data
mencatat, jumlah umat Islam di dunia kini mencapai 1,3 milyar jiwa, dan
tersebar di seluruh belahan dunia ini. Di belahan dunia lain, umat Islam hidup
dan berjuang sebagai kelompok minoritas di sebuah benua yang non Islam. Salah
satunya adalah di benua Eropa. Islam sebagai komunitas minoritas di
negara-negara Eropa, kerap harus menerima perlakuan diskriminatif dan harus
berjuang keras untuk beribadah sesuai dengan tuntunan syariah.
Untuk
meneliti bagaimana film 99 Cahaya di Langit Eropa bercerita mengenai muslim
minority, maka penulis menggunakan konsep representasi. Peneliti akan memilih
potongan adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa yang merepresentasikan
muslim minority dengan menggunakan unit analisis stereotype, representasi dan
gender, representasi dan fakta, pandangan positif dan negative, serta cara lain
untuk mengubah representasi.
Temuan
Data
Temuan data
yang peneliti dapatkan adalah berdasarkan pengamatan dari awal hingga akhir
film. Keseluruhan pesan yang disampaikan melalui teks dalam film menjadi
sesuatu yang penting untuk diteliti. Oleh karena itu peneliti berupaya untuk
meneliti tanda-tanda berupa teks dalam tiap adegan agar makna lebih rinci
mengenai temuan data digambarkan.
gambar 1: Fatma ditolak ketika melamar pekerjaan
Kode
setting berada di sebuah toko milik penduduk setempat. Fatma tidak bisa
mendapatkan pekerjaan dengan alasan pengetahuan bahasa Prancisnya yang belum
maksimal. Begitu juga ditempat lain, Fatma ditolak dengan alasan yang
bermacam-macam. Fatma adalah sosok muslimah yang taat dan mandiri. Ketaatan
Fatma sebagai seorang agen muslim tercermin dalam keistiqomahannya dalam
menggunakan hijab meskipun ada beberapa orang yang memandang negative pakaian
yang ia gunakan. Pandangan negative ini muncul karena muslim menjadi komunitas
minor di Negara tersebut.
Selain
muslimah yang taat, Fatma adalah sosok wanita tanggung, mandiri, keibuan, dan
bertanggungjawab. Sikap mandiri ditunjukkannya dengan tetap mencari nafkah dan
tidak tergantung dengan suaminya dalam memenuhi kebutuhan financial. Sikap
keibuan ditunjukkannya dengan menjadi ibu yang baik, pengertian, dan sabar
dalam membimbing anaknya yang bernama Aisye. Dan sikap tanggung jawab ia
tunjukkan dengan tetap mengantar, menjemput, dan menemani Aisye bermain
disela-sela kesibukannya dalam menuntut ilmu. (karena setelah ditolak bekerja
di beberapa toko ia memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa Prancis)
Gambar
2: Ayse
disarankan untuk melepas hijab
Ayse
terpaksa harus menuntut ilmu ditempat dimana ia berkumpul dengan teman-teman yang
agamanya berlainan dengannya. Sejarah mengenai kemal At-Turk yang banyak
dipahami oleh masyarakat Prancis kala itu membuatnya semakin terpojok dan
sering menjadi bahan olokan teman-temannya. Kemal At-Turk sebagai seorang
muslim yang pernah menguasai wilayah Prancis digambarkan sebagai seorang muslim
yang serakah, bengis, dan penuh dengan kekerasan.
Hingga
pada suatu saat, Fatma dipanggil oleh guru kelas Aisye dan menyarankan agar
Ayse membuka hijab karena usianya yang masih belia. Selain itu, dengan
melepaskan hijab yang digunakan, Ayse bisa mendapatkan teman dan tidak menjadi
bahan olokan lagi. Di scene ini diskriminasi tampak jelas terlihat, dimana
muslim minoritas yang diwakili oleh Ayse bahkan tidak diberi haknya untuk
menjalankan tuntunan syariat agama yang dianutnya.
Gambar 3: Permohonan
dispensasi Rangga
Rangga
adalah mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Prancis. Kesempatan beasiswa
yang ia dapatkan memaksanya untuk menjadi imigran international. Disaat
menjelang ujian disertasi, ia mengalami sebuah problem yang dilematik. Ia harus
mengikuti sebuah ujian di suatu mata kuliah tepat di hari Jumat pada pukul
13.00. Konsekwensi dari ketidakhadirannya adalah dia akan gagal dalam mata
kuliah tersebut, dan konsekwensi lain yang lebih berat dia tidak akan bisa
lulus tepat waktu.
Ia
pun menghadap ke professor yang menjadi supervisor Rangga selama menjadi
mahasiswa. Tujuannya adalah untuk memohon dispensasi agar bisa mengikuti ujian
di hari yang lain. Namun permohonan tersebut ditolak dengan alasan Tuhan-mu
(dalam Islam) adalah sosok yang menyayang, pasti Dia akan memahami apa yang
sedang dirasakan hambanya.
Pada
akhirnya, Rangga harus meninggalkan sholat Jumat dan mengikuti ujian pada hari
yang telah dijadwalkan oleh pihak kampus. Dalam scene ini ditampilkan juga
bagaimana Khan sebagai muslim yang direpresentasikan sebagai muslim radikal,
keras, dan tekstual. Ia memilih untuk tidak lulus dalam ujian dan tetap melaksanakan sholat Jumat. Sebagai muslim
minoritas, Rangga dan Khan dituntut untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan
oleh pihak universitas dan tidak mempunyai daya untuk melawan.
Analisis
dalam Representasi
Secara
garis besar dalam film ini, representasi muslim minoritas tergambarkan dalam dua
kategori. Masing-masing dapat dikorelasikan dengan penjelasan mengenai konsep
minoritas menurut Deklarasi Universal HAM PBB[38] antara lain: pelanggaran
atas larangan diskriminasi yang berdampak negatif pada
kaum minoritas,[39]
dan pelanggaran atas Pasal 27 dari Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tentang pemberian kebebasan
terhadap golongan minoritas dari segi agama, untuk mengamalkan ibadah.[40]
Dalam
film ini juga ditemukan kategori minority
on dialogue (minoritas berdasarkan pada dialog). Hal ini tampak pada
percakapan Fatma dan guru Ayse. Teman Ayse mayoritas beragama non muslim, dan
Ayse sering mendapatkan olokan dari teman-temannya karena jilbab yang ia
kenakan. Oleh karena itu gurunya menyarankan untuk melepas jilbab yang Ayse
gunakan.
Selain
itu, penulis cerita tampaknya ingin menyampaikann pesan yang mendalam kepada
muslim Indonesia. Antara lain mengingatkan bahwa saat ini masyarakat muslim
telah dikepung oleh pusaran Radikalisme (diwakili Khan) yang digambarkan dengan
sosoknya yang tekstual dalam memahami ayat Al-Quran dan Hadits, Sekularisme
(diwakili Stefan) digambarkan sebagai kaum rasionalis yang selalu menilai
eksistensi Tuhan dengan kemampuan nalar belaka dan materialisme (Maarja),
digambarkan sebagai sosok wanita modern yang mengedepankan kenikmatan duniawi
sehingga abai dengan nilai-nilai Ketuhanan . Semua muslim tanpa terkecuali
harus selalu waspada akan segala tantangan yang masih akan terus mengintainya.
Kesimpulan
Dalam
film 99 Cahaya di Langit Eropa,
kehidupan muslim minoritas direpresentasikan melalui kostum, ekspresi, dan
penampilan. Sedangkan kode yang paling dominan terletak pada dialog dan kostum.
Film ini ditransmisikan pada kode naratif, dialog, karakter, aksi, dan setting. Unsur-unsur dalam representasi yang
meliputi stereotip, representasi dan gender, representasi dan fakta, pandangan
positif dan negative, serta cara lain untuk mengubah representasi telah
terpenuhi dalam film ini dan telah dijabarkan oleh peneliti pada sub analisis.
Nilai
toleransi dan saling menghormati perlu dipupuk untuk menciptakan perdamaian
dunia. Kehidupan yang plural menuntut semua masyarakat tanpa terkecuali untuk
saling menahan ego. Mensyukuri perbedaan tanpa mendiskriminasi masyarakat yang
dianggap tidak sama dengan yang berlaku pada kaidah umum disekitarnya.
Dibalik
stereotip yang tergambar dalam film ini, terdapat sebuah hikmah besar yang
ingin disampikan oleh penulis cerita. Pentingnya menghormati sesama dalam
lingkup social. Kaum mayor tidak akan pernah merasakan perjuangan dan
penderitaan hidup sebagai kaum minor. Dengan adanya film ini, diharapkan kaum
mayor Indonesia bisa lebih menghormati kaum minor yang ada di Indonesia. Dan
tidak menempatkan diri sebagai yang memiliki keistimewaan dengan hak-hak khusus
untuk mengatur kelompok minoritas.
Ajakan
untuk menjadi agen muslim yang baik, muslim yang selalu menebar manfaat untuk
sekitarnya, toleran dan menjadi jembatan perbedaan juga menjadi nilai tambahan
bagi film ini. Ajakan untuk menghargai perbedaan, mencari jalan keluar elegan yang
tanpa menggunakan kekerasan. Serta ajakan kepada masyarakat muslim Indonesia
untuk bersyukur karena menjadi kaum mayoritas, dan menghormati kaum minoritas
karena “ketidaknyamanan” hidup sebagai kaum minor telah tergambar film tersebut.
Namun alangkah baiknya
jika representasi muslim minoritas dilakukan dengan sebaik-baiknya sebelum
proses pembuatan film untuk diproduksi. Sehingga faktor eksternal yang tidak
diinginkan oleh pembuat film dapat diminimalisir. Mengingat peran film yang
sentral sebagai representator problem keseharian. Serta menjadi produk seni media yang dianggap bisa menggerakkan nalar
kritis publik. Dikhawatirkan, jika
tidak dikaji secara mendalam, maka film ini justru akan memperkeruh intoleransi
di Eropa. Dan akan berimbas pada kehidupan muslim di kawasan tersebut.
Daftar
Pustaka
Al-Munawar, Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta,: Ciputat Press.
Branston,
Gill & Roy Stafford. 1996. The Media Student’s Book. New York,
N.Y.: Roudledge
Burton,
Graeme, 2008. Yang
Tersembunyi Dibalik Media Pengantar Kepada Kajian Media, Yogyakarta :
Jalasutra
Effendi,
R. dan Setiadi, E.M. (2010). Pendidikan
Lingkungan, Sosial, Budaya dan Teknologi. Bandung: UPI Press.
Eriyanto, 2006.
Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Emanuel
Wora, 2006. Perenialisme kritik atas
Modernisme dan Postmodernisme Yogyakarta: LKIS
Juhaya
S Praja, 1997 Aliran-aliran Fisafat dan Etika, Yayasan Piara: Bandung
Kanisius,
H.M. Daud Ali, dkk., 1989. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan
Bintang.
Kazuo
Shimogaki, 1997 Kiri Islam antara
Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis atas pemikiran Hassan Hanafi.
Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Kettani,
Ali, 2005. Minoritas Muslim di Dunia
Dewasa Ini, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kleden,
Ignas, 2004. Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan. Jakarta: Grafiti Press.
Lorens Bagus, 2000. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
McGarty,
Craig, “Conclusion: stereotypes are
selective, variable and contested explanatioan”. Stereotypes as explanations:
The formation of meaningful beliefs about social groups. (Cambridge:
Cambridge University Press, 2009
Rahmat,Imadadun,
et.al, 2003. Islam Pribumi Mendialogkan Agama, Membaca Realita,
Jakarta: Erlangga.
Ratna,
Nyoman Kutha, 2005. Sastra dan Cultural
Studies, Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono,
Sarlito Wirawan, 2002. Psikologi Sosial :
Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka.
Setiadi,
Elly M. dkk, 2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar , Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Sunarto, 2000. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara.
Suprianto, dkk. 2010. Studi Islam Kontemporer. Kendari:
Membumi Publishing.
Umar Hasyim, 1979. Toleransi
dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan
Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Wood, 2009. Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture (8thed.)
Boston: Wadsworth Cengange Learning.
Internet
http://makalahlaporanterbaru1.blogspot.com/2012/04/fundamentalisme-radikalisme-dan.html, diakses pada tanggal
26 maret 2015.
http://www.academia.edu/6675148/TEORI_DAN_KEBIJAKAN_MIGRASI, diakses pada
tanggal 16 Maret 2015
http://informasi2-pendidikan.blogspot.com/2011/05/bahasa-indonesia-2-sinopsis-2-denias.html,
diakses pada 23 maret 2015
http://www.hanumrais.com/p/sinopsis-99-cahaya.html#.VRRDy6B13IU,diakses pada 26
Maret 2015
Jurnal
Noerhadi ,Toeti Heraty "Mitra Seajar daalam Pembangunan: Tantangan atau Jebakan?, Jurnal
Perempuan,Edisi-05, November-Januari 1998
Paper
United Nations 1970; 1 dalam Eridiana, Wahyu. Migrasi.
Paper. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010
Solimano, Andres. International Migration and The Global Economic Order:
An Overwiew. Macroeconomics and Growth Development Economics Research Group.
The World Bank. 2001
Makalah
Hidayatunnismah,
Dkk, 2013. Migrasi International: Tenaga
Kerja Perempuan dan trafficking. Makalah. Jakarta: Universitas Indonesia.
Buletin
Hanafi , Muchlis,. 2006. Lentera Hati,
Bulletin PSQ, Edisi 13, November – Desember.
Lain-Lain
Hak
Kelompok Minoritas Lembar Fakta No. 18 (Revisi 1), Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia 1948 – 1998
untuk catatan kakinya silahkan hubungi penulis ya....makasihh.
No comments:
Post a Comment