Friday 24 April 2015

MUSLIM MINORITAS DALAM FILM 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA: PERSPEKTIF REPRESENTASI




 
Manusia dikenal sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dikatakan makhluk sosial karena manusia sebagai individu saling membutuhkan dan saling berinteraksi dengan manusia atau individu lainnya. Oleh sebab itu manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan orang lain pada hidupnya untuk saling memberi, menolong, dan melengkapi satu sama lain.
Adapun pengertian interaksi sosial menurut Effendi[1] adalah berasal dari kata inter dan action. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antar individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Dalam hal ini berarti bahwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari hubungan dengan manusia lainnya. Interaksi juga berarti bahwa setiap manusia saling berkomunikasi dan mempengaruhi bisa dalam pikiran maupun tindakan.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat sosial, terutama sebagai warga Negara Indonesia yang hidup dengan lingkungan yang multi etnis, agama, ras, dan budaya dibutuhkan sikap toleransi. Toleransi terutama toleransi dalam beragama dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai. Kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat hanya akan menjadi sebatas wacana jika sikap toleransi tidak dipupuk sejak dini. Toleransi umat beragama sangat penting untuk menjaga kesatuan bangsa. Tujuan yang lebih luasnya  untuk menjaga perdamaian dunia.
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.


Namun sayangnya, masih banyak kita jumpai masyarakat yang mengintimidasi suatu kelompok minoritas yang dianggap berbeda dengan yang berlaku secara umum. Minoritas adalah kelompok orang yang karena satu dan lain menjadi korban pertama despotism Negara atau komunitas yang membentuk mayoritas. Sangat sering mereka diturunkan ke tingkat keadaan yang tidak jelas. Mereka adalah orang yang sejarahnya tetap tidak tertulis, kondisi keberadaannya tetap tidak dikenal, cita-cita dan aspirasinya tidak diapresiasi.[2] Berbagai konflik masih terus terjadi di berbagai daerah dan Negara yang menggambarkan betapa toleransi dan masalah keadilan merupakan dua hal yang banyak memunculkan problematika.[3]
Berdasarkan landasan diatas, mengingat urgensi pemupukan sikap saling menghormati, maka penulis akan membahas muslim minoritas dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa perspektif representasi. Kajian terhadap film ini perlu dilakukan mengingat perannya yang sentral sebagai representator problem keseharian. Dimulai dari yang sederhana hingga complicated. Film dianggap sebagai produk seni media yang dianggap bias menggerakkan nalar kritis publik.
Dalam pembahasan kali ini, penulis akan menjabarkan bagaimanakah muslim minoritas dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa perspektif representasi?. Dan bagaimanakan stereotip, gender, fakta, pandangan positif negative, serta cara lain untuk mengubah representasi dalam film tersebut?.

Ringkasan Teori Representasi
1.      Pengertian Representasi
Menurut Branston dan Stafford representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian “realitas” yang tampak dalam citraan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuah konstruksi (a construction), atau tak pernah ada ‘jendela’ realitas yang benar-benar transparan.[4]
Burton, (2008:114) dalam buku yang tersembunyi dibalik media menjelaskan representasi sebagai; “Hal yang direpresentasikan adalah pandangan-pandangan tertentu dari kelompok-kelompok sosial. Pandangan-pandangan inilah yang kita pelajari secara tidak sadar untuk menerimanya sebagai normal, dan mengesampingkan pandangan-pandangan alternatif.”[5]
Sedangkan menurut Eriyanto representasi adalah bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan, pendapat, realitas atau objek tertentu ditampilkan dalam sebuah teks. Dalam representasi sangat mungkin terjadi misrepresentasi yang artinya ketidakbenaran penggambaran atau kesalahan penggambaran. Salah satu bentuk misrepresentasi adalah marjinalisasi. Marjinalisasi adalah penggambaran yang buruk kepada pihak atau kelompok lain.[6]
Selanjutnya beberapa kajian mengenai muatan atau representasi kultural dalam sebuah teks atau media juga jatuh pada implikasi teoris dan metodologis yang mensyaratkan perlunya studi yang semata tidak menekankan aspek objektif teks. Dengan kata lain, kajian tentang representasi yang hanya mengandalkan pada aspek tekstual semata tidak akan menghasilkan simpulan yang mendalam. Itulah sebabnya dipandang perlu untuk melakukan studi teks media (televisi misalnya) yang didekati secara sekaligus dari aspek tekstualnya (mikro), pemroduksi teks (super-text) dan tanggapan khalayak /audiensnya.[7]
Representasi itu tidak sekedar proses penyajian kembali suatu objek di dalam sebuah media namun lebih dari itu media ternyata juga menjalankan proses pembentukan suatu identitas tertentu atau suatu positioning tertentu terhadap objek yang dicitrakan dalam suatu media.
2.    Unsur-Unsur dalam Representasi
a.      Stereotipe
Menurut Baroon & Byrne prasangka atau stereotip adalah sikap negative terhadap kelompok tertentu atau seseorang, semata-mata karena keanggotaannya dalam kelompok tertentu.[8]
Stereotipe adalah proses menggeneralisasikan keseluruhan kelas dari suatu fenomena berdasarkan sedikit pengetahuan yang didapat dari anggota kelas tersebut.[9] Stereotip merupakan jalan pintas pemikiran yang dilakukan secara intuitif oleh manusia untuk menyederhanakan hal-hal yang komplek dan membantu dalam pengambilan keputusan secara cepat. Penilaian dalam stereotip hanya berdasarkan sifat-sifat khas yang seakan-akan menempel pada suatu kelompok tertentu. Stereotip dapat membantu memahami dunia. Berguna untuk menyederhanakan dan mensistemisasi informasi. Dengan demikian, informasi lebih mudah diidentifikasi, ingat, diprediksi, ditanggapi.[10]
b.      Representasi dan gender
Branston dan Roy Stafford[11]  menyebutkan istilah seks dan gender sering disalah mengerti. Seks disini berbeda dengan seksualitas (yang mengacu kepada orientasi seksual, aktivitas seksual, atau proses imajinatif) sedangkan seks mengacu pada perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada perbedaan organ seks, factor hormone dan lain-lain. Sementara itu, istilah gender mengacu kepada perbedaan secara cultural.
Konsep gender juga muncul, bahkan sangat sering ditampilkan oleh media. Perempuan dalam media massa selalu digambarkan sangat tipikal, yakni tempatnya adalah di rumah, berperan sebagai ibu rumah tangga dan pengasuh, bergantung pada pria, tidak mampu membuat keputusan penting.[12]
c.       Representasi dan Fakta
Sastra dan sejarah memandang waktu sebagai aspek yang sangat penting. Sejarah disusun atas dasar fakta-fakta sejarah. Objektivitas sejarah terletak dalam penemuan dan penyusunan fakta-fakta secara kronologis. Tanpa dimensi waktu, sastra dan sejarah tidak pernah ada.[13]
Makna sebuah teks (textual meaning) tidak selalu sejalan dengan makna yang dimaksud atau diniatkan pengarangnya (authorial meaning). Ada otonomi pengarang, tetapi ada pula otonomi semantik dari sebuah teks. Tafsiran pengarang atas karyanya, pada akhirnya, hanya merupakan salah satu tafsiran di antara tafsiran-tafsiran lain dalam kontestasi pemaknaan.[14]
d.      Pandangan Positif dan Negatif

Representasi merupakan penunjukan identitas tertentu (dalam hal ini, suku, ras, agama, seksual) yang merupakan hasil konstruksi sosial. Representasi bukanlah cermin maupun distorsi dari ‘apa yang dianggap benar’ karena ‘apa yang dianggap benar’ selalu bersifat tidak stabil. Oleh karena itu, representasi tidak bisa diukur akurasinya.
Representasi selalu bekerja dalam dua operasi: inklusi dan eksklusi. Atribusi sifat-sifat negatif (stereotip) selalu dilakukan dalam operasi eksklusi. Pihak-pihak yang terkena stereotip adalah pihak-pihak yang dieksklusi dari ‘mayoritas’ atau normal. Di sini, proses representasi membedakan ‘kita’ dan ‘mereka’, dengan ‘mereka’ adalah pihak-pihak yang kita eksklusi. Dalam naratif drama, konflik dibangun atas representasi positif dan negatif.[15]
e.       Cara Lain untuk Mengubah Representasi

Representasi, wacana, stereotip dalam satu kesatuan yang tidak dapat terpisahkan dalam dunia perindustrian, terutama dalam industry perfilman. Tetapi penting untuk digaris bawahi, seyogyanya perdebatan mengenai representasi ini tidak hanya sebatas analisis tekstual belaka tetapi harus mampu melihat tendensi industry media dalam  menyajikan representasi tersebut dan harus mampu memahami tujuan apa dibalik penonjolan representasi yang ditampilkan.[16]



Metode dalam  Menganalisis Representasi Muslim Minoritas pada Film 99 Cahaya di Langit Eropa
Toleransi secara etimologi berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.[17]
Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukan sikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.[18]
Pentingnya memupuk toleransi ini mengingat bahwa pluralisme dan modernisme telah menjadi sebuah kenyataan asasi manusia. Pluralisme merupakan sebuah realitas sosial yang siapapun tidak mungkin mengingkarinya, karena pluralisme juga merupakan hukum Allah (sunatullah). Pluralisme harus disertai dengan kesadaran teologi bahwa kehidupan, terutama kehidupan agama ini memang plural dan itu merupakan kehendak Allah.[19]
Dalam menghadapi kehidupan yang prular ini, masyarakat juga akan menghadapi kelompok masyarakat yang radikal, sekuler, dan hedonis. Radikal dalam bahasa Indonesia berarti amat keras menuntut perubahan. Sementara itu, radikalisme adalah paham yang menginginkan perubahan social dan politik dengan cara drastic dan memerasan.[20] Sekularisme, dalam karakteristiknya seperti yang ada didunia barat, adalah formulasi ide yang menegaskan bahwa antara agama dan Negara merupakan dua identitas yang berbeda dan terpisah.[21] Sedangkan hedonisme merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.[22]
Pelaksanaan sikap toleransi ini harus didasari sikap kelapangan dada terhadap orang lain dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang dipegang sendiri, yakni tanpa mengorbankan prinsip-prinsip tersebut.[23] Jelas bahwa toleransi terjadi dan berlaku karena terdapat perbedaan prinsip, dan menghormati perbedaan atau prinsip orang lain tanpa mengorbankan prinsip sendiri. Dengan kata lain, pelaksanaannya hanya pada aspek-aspek yang detail dan teknis bukan dalam persoalan yang prinsipil.[24]
Begitu juga dengan modernisme, Antony Giddens dipermulaan bukunya, The Consequences of Modernity, memaknai realitas kemoderenan dalam masyarakat yang plurat saat ini sebagai pola hidup sosial atau organisasi masyarakat/manusia.[25] Menurut Hassan Hanafi tulang punggung modernisme ialah rasionalisme, kebebasan demokrasi, pencerahan, dan humanisme sebagai suatu konsep ideal yang kegunaannya tidak diragukan lagi.[26] Pada tahun 1920, Modernisme yang di era sebelum perang hanyalah sebuah efek minoritas mulai menegaskan dirinya sebagai hal yang dapat mengubah zaman.[27]
Pembentukan modernitas dalam masyarakat makmur Asia bersifat gender. Toeti Heraty Noerhadi mengemukakan bahwa di Indonesia isu gender yang menuntut diberlakukannnya peran publik bagi perempuan bukan hal yang baru lagi. Kemestian wanita untuk berperan di luar rumah sudah lama diberlakukan masyarakat tradisional, untuk kemudian dalam perkembangan ekonomi modern sering disebut sebagai masyarakat bawah.
Mereka, karena keterbatasan ekonomi harus melakukan peran ganda di tengah masyarakat; sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah. Kesibukannya di luar rumah tidak menyebabkan tugas-tugas privat terabaikan, karena mereka biasanya membedakan antara kerja publik sebagai tuntutan hidup dan kerja privat sebagai kewajiban budaya. Sehingga kegiatan privat tidak ditanggapi sebagai jajahan budaya lelaki dan sebaliknya kegiatan publik tidak sebagai kemenangan wanita atas laki-laki. Pada golongan masyarakat ini peran ganda terlihat dalam tataran ambiguitas atau liminal, ambang pintu.[28]
Fakta minimnya toleransi dalam hidup bermasyarakat akan sangat dirasakan bagi mereka para imigran. Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan bahwa migrasi penduduk sebagai suatu perpindahan tempat tinggal dari suatu unit administrasi ke unit administrasi yang lain.[29] Migrasi bisa dilakukan antar wilayah, daerah, provinsi, bahkan internasional. Migrasi internasional merupakan proses perpindahan penduduk suatu negara ke negara lain. Umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik bagi dirinya dan keluarganya. Suatu fakta memperlihatkan bahwa pengangguran, upah yang rendah, prospek karir yang kurang menjanjikan untuk orang-orang yang berpendidikan tinggi dan resiko untuk melakukan investasi di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi ke luar negeri.[30]
Umumnya orang melakukan migrasi ke luar negeri untuk memperoleh kesejahteraan ekonomi yang lebih baik. Salah satu masalah dalam migrasi internasional yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia adalah belum mampunya pemerintah memenuhi permintaan luar negeri terhadap tenaga kerja profesional, karena hingga saat ini sebagian besar tenaga kerja migran yang bersedia bekerja ke luar negeri didominasi oleh tenaga kerja dengan tingkat pendidikan rendah.
Berbeda dengan migrasi internal, dalam migrasi internasional, para migran tidak dapat memutuskan dengan bebas dalam mencari pekerjaan di negara tujuan. Tetapi negara tujuan yang memutuskan menerima migran tersebut sesuai kebutuhannya.[31] Tidak mengherankan bila di negara-negara penerima migran (receiving countries) kecurigaan etnis dan persaingan ekonomi memaksa para migran harus ekstra luar biasa hati-hati. Kenyataan ini membuat para migran harus bertahan terhadap setiap kemungkinan  permusuhan yang timbul dalam pergaulan dengan orang-orang di negara setempat.[32]
Disinilah awal mula terjadinya diskriminasi terhadap kaum migran Indonesia di luar negeri yang mengakibatkan terjadinya intoleransi. Namun sebagai makluk social[33] yang notabene tidak akan mampu hidup seorang diri di muka bumi ini, seyogyanya hal tersebut tidak lagi terjadi.
Konflik dalam masyarakat disebabkan oleh banyak hal dan salah satu sebabnya adalah rendahnya toleransi antarindividu dan antarkelompok. Ketika seseorang atau suatu kelompok lebih mementingkan egonya dan tidak bersedia memahami perasaan dan kepentingan pihak lain, maka terjadilah konflik. Hal terpenting yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana mengatur konflik itu agar tidak merusak tatanan sosial suatu masyarakat atau suatu bangsa. Apabila konflik itu mulai mengancam integrasi sosial atau bangsa, maka hendaknya para pihak mulai berfikir jernih. Hal Ini membutuhkan kemampuan untuk menahan diri. Dan kemampuan menahan diri itu mencerminkan rendah tingginya peradaban.
Analisis Muslim Minoritas dalam Film 99 Cahaya di Langit Eropa: Perspektif  Representasi
Film ini terdiri dari 2 bagian, yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa (durasi 96 menit) dan 99 Cahaya Di Langit Eropa 2 (durasi 102 menit).[34]  99 Cahaya di Langit Eropa adalah film drama religi tahun 2013 dari Indonesia. Film ini adalah film ke-40 yang dirilis oleh Maxima Pictures. Film drama ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Film ini mengisahkan perjalanan atas sebuah pencarian. Pencarian cahaya Islam di Eropa yang kini sedang tertutup awan saling curiga dan kesalahpahaman.[35]
Di awal film itu, dikisahkan bahwa Hanum harus mengambil kursus bahasa Jerman yang merupakan bahasa ibu di negara Austria, agar ia dapat berkomunikasi dengan penduduk sekitar selama petualangannya hidup mendampingi suami di sana. Dari kelas kursus bahasa Jerman inilah, Hanum berkenalan dengan seorang wanita Turki bernama Fatma Pasha yang dalam film ini diperankan oleh Raline Shah yang setiap berjalan-jalan dengan Hanum, hampir selalu tak lupa menjemput dari sekolah dan mengajak serta putri kecilnya Ayse diperankan oleh Geccha Qeaghaventa.[36]
Teman-teman Rangga di kampus diperankan secara menarik yaitu mahasiswa Muslim dari India bernama Khan (Alex Abbad) seorang Muslim fanatik yang bahkan rela tak lulus ujian demi ikut sholat Jumat. Steffan (Nino Fernandez) seorang atheis yang terus mencecar Rangga dengan pertanyaan logika seputar Ketuhanan. Sosok Maarja (Marissa Nasution) yang merupakan seorang gadis cantik Eropa Timur yang yang identik dengan tradisi Barat.
Dalam perjalananya menjajaki area ziarah di benua Eropa, mengantarkan Hanum bertemu dengan wanita muslim asal Turki di Austria bernama Fatma Pasha (Raline Shah) yang memberikan luasnya kedamaian Islam. Di Paris, Hanum bersua dengan seseorang mualaf, Marion Latimer (Dewi Sandra) yang bekerja untuk ilmuwan di Arab World Institute Paris. Film ini mengisahkan bagaimana perjuangan seorang muslim hidup di suatu negara dimana Islam menjadi minoritas.[37]
Sebuah data mencatat, jumlah umat Islam di dunia kini mencapai 1,3 milyar jiwa, dan tersebar di seluruh belahan dunia ini. Di belahan dunia lain, umat Islam hidup dan berjuang sebagai kelompok minoritas di sebuah benua yang non Islam. Salah satunya adalah di benua Eropa. Islam sebagai komunitas minoritas di negara-negara Eropa, kerap harus menerima perlakuan diskriminatif dan harus berjuang keras untuk beribadah sesuai dengan tuntunan syariah.
Untuk meneliti bagaimana film 99 Cahaya di Langit Eropa bercerita mengenai muslim minority, maka penulis menggunakan konsep representasi. Peneliti akan memilih potongan adegan dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa yang merepresentasikan muslim minority dengan menggunakan unit analisis stereotype, representasi dan gender, representasi dan fakta, pandangan positif dan negative, serta cara lain untuk mengubah representasi.
Temuan Data
Temuan data yang peneliti dapatkan adalah berdasarkan pengamatan dari awal hingga akhir film. Keseluruhan pesan yang disampaikan melalui teks dalam film menjadi sesuatu yang penting untuk diteliti. Oleh karena itu peneliti berupaya untuk meneliti tanda-tanda berupa teks dalam tiap adegan agar makna lebih rinci mengenai temuan data digambarkan.


gambar 1: Fatma ditolak ketika melamar pekerjaan

Kode setting berada di sebuah toko milik penduduk setempat. Fatma tidak bisa mendapatkan pekerjaan dengan alasan pengetahuan bahasa Prancisnya yang belum maksimal. Begitu juga ditempat lain, Fatma ditolak dengan alasan yang bermacam-macam. Fatma adalah sosok muslimah yang taat dan mandiri. Ketaatan Fatma sebagai seorang agen muslim tercermin dalam keistiqomahannya dalam menggunakan hijab meskipun ada beberapa orang yang memandang negative pakaian yang ia gunakan. Pandangan negative ini muncul karena muslim menjadi komunitas minor di Negara tersebut.
Selain muslimah yang taat, Fatma adalah sosok wanita tanggung, mandiri, keibuan, dan bertanggungjawab. Sikap mandiri ditunjukkannya dengan tetap mencari nafkah dan tidak tergantung dengan suaminya dalam memenuhi kebutuhan financial. Sikap keibuan ditunjukkannya dengan menjadi ibu yang baik, pengertian, dan sabar dalam membimbing anaknya yang bernama Aisye. Dan sikap tanggung jawab ia tunjukkan dengan tetap mengantar, menjemput, dan menemani Aisye bermain disela-sela kesibukannya dalam menuntut ilmu. (karena setelah ditolak bekerja di beberapa toko ia memutuskan untuk mengikuti kursus bahasa Prancis)
Gambar 2: Ayse disarankan untuk melepas hijab
Ayse terpaksa harus menuntut ilmu ditempat dimana ia berkumpul dengan teman-teman yang agamanya berlainan dengannya. Sejarah mengenai kemal At-Turk yang banyak dipahami oleh masyarakat Prancis kala itu membuatnya semakin terpojok dan sering menjadi bahan olokan teman-temannya. Kemal At-Turk sebagai seorang muslim yang pernah menguasai wilayah Prancis digambarkan sebagai seorang muslim yang serakah, bengis, dan penuh dengan kekerasan.
Hingga pada suatu saat, Fatma dipanggil oleh guru kelas Aisye dan menyarankan agar Ayse membuka hijab karena usianya yang masih belia. Selain itu, dengan melepaskan hijab yang digunakan, Ayse bisa mendapatkan teman dan tidak menjadi bahan olokan lagi. Di scene ini diskriminasi tampak jelas terlihat, dimana muslim minoritas yang diwakili oleh Ayse bahkan tidak diberi haknya untuk menjalankan tuntunan syariat agama yang dianutnya.
Gambar 3: Permohonan dispensasi Rangga
Rangga adalah mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di Prancis. Kesempatan beasiswa yang ia dapatkan memaksanya untuk menjadi imigran international. Disaat menjelang ujian disertasi, ia mengalami sebuah problem yang dilematik. Ia harus mengikuti sebuah ujian di suatu mata kuliah tepat di hari Jumat pada pukul 13.00. Konsekwensi dari ketidakhadirannya adalah dia akan gagal dalam mata kuliah tersebut, dan konsekwensi lain yang lebih berat dia tidak akan bisa lulus tepat waktu.
Ia pun menghadap ke professor yang menjadi supervisor Rangga selama menjadi mahasiswa. Tujuannya adalah untuk memohon dispensasi agar bisa mengikuti ujian di hari yang lain. Namun permohonan tersebut ditolak dengan alasan Tuhan-mu (dalam Islam) adalah sosok yang menyayang, pasti Dia akan memahami apa yang sedang dirasakan hambanya.
Pada akhirnya, Rangga harus meninggalkan sholat Jumat dan mengikuti ujian pada hari yang telah dijadwalkan oleh pihak kampus. Dalam scene ini ditampilkan juga bagaimana Khan sebagai muslim yang direpresentasikan sebagai muslim radikal, keras, dan tekstual. Ia memilih untuk tidak lulus dalam ujian dan tetap  melaksanakan sholat Jumat. Sebagai muslim minoritas, Rangga dan Khan dituntut untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh pihak universitas dan tidak mempunyai daya untuk melawan.
Analisis dalam Representasi
Secara garis besar dalam film ini, representasi muslim minoritas tergambarkan dalam dua kategori. Masing-masing dapat dikorelasikan dengan penjelasan mengenai konsep minoritas menurut Deklarasi Universal HAM PBB[38] antara lain: pelanggaran atas larangan diskriminasi yang berdampak negatif pada kaum minoritas,[39] dan pelanggaran atas Pasal 27 dari Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik tentang pemberian kebebasan terhadap golongan minoritas dari segi agama, untuk mengamalkan ibadah.[40]
Dalam film ini juga ditemukan kategori minority on dialogue (minoritas berdasarkan pada dialog). Hal ini tampak pada percakapan Fatma dan guru Ayse. Teman Ayse mayoritas beragama non muslim, dan Ayse sering mendapatkan olokan dari teman-temannya karena jilbab yang ia kenakan. Oleh karena itu gurunya menyarankan untuk melepas jilbab yang Ayse gunakan.
Selain itu, penulis cerita tampaknya ingin menyampaikann pesan yang mendalam kepada muslim Indonesia. Antara lain mengingatkan bahwa saat ini masyarakat muslim telah dikepung oleh pusaran Radikalisme (diwakili Khan) yang digambarkan dengan sosoknya yang tekstual dalam memahami ayat Al-Quran dan Hadits, Sekularisme (diwakili Stefan) digambarkan sebagai kaum rasionalis yang selalu menilai eksistensi Tuhan dengan kemampuan nalar belaka dan materialisme (Maarja), digambarkan sebagai sosok wanita modern yang mengedepankan kenikmatan duniawi sehingga abai dengan nilai-nilai Ketuhanan . Semua muslim tanpa terkecuali harus selalu waspada akan segala tantangan yang masih akan terus mengintainya.
Kesimpulan
Dalam film 99 Cahaya di Langit Eropa, kehidupan muslim minoritas direpresentasikan melalui kostum, ekspresi, dan penampilan. Sedangkan kode yang paling dominan terletak pada dialog dan kostum. Film ini ditransmisikan pada kode naratif, dialog, karakter, aksi, dan setting. Unsur-unsur dalam representasi yang meliputi stereotip, representasi dan gender, representasi dan fakta, pandangan positif dan negative, serta cara lain untuk mengubah representasi telah terpenuhi dalam film ini dan telah dijabarkan oleh peneliti pada sub analisis.
Nilai toleransi dan saling menghormati perlu dipupuk untuk menciptakan perdamaian dunia. Kehidupan yang plural menuntut semua masyarakat tanpa terkecuali untuk saling menahan ego. Mensyukuri perbedaan tanpa mendiskriminasi masyarakat yang dianggap tidak sama dengan yang berlaku pada kaidah umum disekitarnya.
Dibalik stereotip yang tergambar dalam film ini, terdapat sebuah hikmah besar yang ingin disampikan oleh penulis cerita. Pentingnya menghormati sesama dalam lingkup social. Kaum mayor tidak akan pernah merasakan perjuangan dan penderitaan hidup sebagai kaum minor. Dengan adanya film ini, diharapkan kaum mayor Indonesia bisa lebih menghormati kaum minor yang ada di Indonesia. Dan tidak menempatkan diri sebagai yang memiliki keistimewaan dengan hak-hak khusus untuk mengatur kelompok minoritas.
Ajakan untuk menjadi agen muslim yang baik, muslim yang selalu menebar manfaat untuk sekitarnya, toleran dan menjadi jembatan perbedaan juga menjadi nilai tambahan bagi film ini. Ajakan untuk menghargai perbedaan, mencari jalan keluar elegan yang tanpa menggunakan kekerasan. Serta ajakan kepada masyarakat muslim Indonesia untuk bersyukur karena menjadi kaum mayoritas, dan menghormati kaum minoritas karena “ketidaknyamanan” hidup sebagai kaum minor telah tergambar film tersebut.
Namun alangkah baiknya jika representasi muslim minoritas dilakukan dengan sebaik-baiknya sebelum proses pembuatan film untuk diproduksi. Sehingga faktor eksternal yang tidak diinginkan oleh pembuat film dapat diminimalisir. Mengingat peran film yang sentral sebagai representator problem keseharian. Serta menjadi produk seni media yang dianggap bisa menggerakkan nalar kritis publik.    Dikhawatirkan, jika tidak dikaji secara mendalam, maka film ini justru akan memperkeruh intoleransi di Eropa. Dan akan berimbas pada kehidupan muslim di kawasan tersebut.

Daftar Pustaka
Al-Munawar,  Said Agil Husin, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta,: Ciputat Press.
Branston, Gill & Roy Stafford. 1996. The Media Student’s Book. New York, N.Y.: Roudledge

Burton, Graeme, 2008. Yang Tersembunyi Dibalik Media Pengantar Kepada Kajian Media, Yogyakarta : Jalasutra

Effendi, R. dan Setiadi, E.M. (2010). Pendidikan Lingkungan, Sosial, Budaya dan Teknologi. Bandung: UPI Press.
Eriyanto, 2006. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.
Emanuel Wora, 2006. Perenialisme kritik atas Modernisme dan Postmodernisme Yogyakarta: LKIS
Juhaya S Praja, 1997 Aliran-aliran Fisafat dan Etika, Yayasan Piara: Bandung
Kanisius, H.M. Daud Ali, dkk., 1989. Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum Sosial dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang.
Kazuo Shimogaki, 1997 Kiri Islam antara Modernisme dan Postmodernisme Kajian Kritis atas pemikiran Hassan Hanafi. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta.
Kettani, Ali, 2005. Minoritas Muslim di Dunia Dewasa Ini, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Kleden, Ignas, 2004. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Grafiti Press.
Lorens Bagus, 2000.  Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.
McGarty, Craig, “Conclusion: stereotypes are selective, variable and contested explanatioan”. Stereotypes as explanations: The formation of meaningful beliefs about social groups. (Cambridge: Cambridge University Press, 2009

Rahmat,Imadadun, et.al, 2003. Islam Pribumi Mendialogkan Agama, Membaca Realita, Jakarta: Erlangga.

Ratna, Nyoman Kutha, 2005. Sastra dan Cultural Studies, Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono, Sarlito Wirawan, 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial, Jakarta: Balai Pustaka.

Setiadi, Elly M. dkk,   2008. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar , Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Sunarto, 2000. Televisi, Kekerasan, dan Perempuan. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
Suprianto, dkk. 2010.  Studi Islam Kontemporer. Kendari: Membumi Publishing.
Umar Hasyim, 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama, Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Wood, 2009. Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture (8thed.) Boston: Wadsworth Cengange Learning.
Internet


Jurnal
Noerhadi ,Toeti Heraty "Mitra Seajar daalam Pembangunan: Tantangan atau Jebakan?, Jurnal Perempuan,Edisi-05, November-Januari 1998
Paper
United Nations 1970; 1 dalam Eridiana, Wahyu. Migrasi. Paper. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010
Solimano, Andres. International Migration and The Global Economic Order: An Overwiew. Macroeconomics and Growth Development Economics Research Group. The World Bank. 2001

Makalah

Hidayatunnismah, Dkk, 2013. Migrasi International: Tenaga Kerja Perempuan dan trafficking. Makalah. Jakarta: Universitas Indonesia.
Buletin
Hanafi , Muchlis,. 2006. Lentera Hati, Bulletin PSQ, Edisi 13, November – Desember.
Lain-Lain
Hak Kelompok Minoritas Lembar Fakta No. 18 (Revisi 1),  Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 – 1998



untuk catatan kakinya silahkan hubungi penulis ya....makasihh.

No comments:

Post a Comment