Friday 24 April 2015

Matur Suwon Nggeh Le...


Dia anak laki-laki satunya dikeluargaku, dan satu-satunya anak dari bapak dan ibu yang tidak menempuh pendidikan di pesantren. Bukan tanpa alasan, bisa dibilang dia tidak ke pesantren juga karena keegoisanku. Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, aku memilih untuk menuntut ilmu diluar kota, begitupun kakak perempuanku bahkan hingga detik ini. Dan dia sendiri selalu bilang tidak mau di pesantren jika dirumah tidak ada yang menemani bapak dan ibu. Ia khawatir bapak dan ibu akan kesepian dirumah dan tidak ada yang membantu kesibukan bapak dan ibu dirumah. Biasanya ibu selalu bilang "ben enek sen dikongkon".

Kita bisa memanggilnya Dek David, tapi aku sendiri lebih nyaman memanggil dia "Le', panggilan yang membuatku lebih dekat dengan dia secara emosional. Dia memang lebih dekat atau lebih tepatnya lebih takut kepadaku dibanding dengan kakaku. Tak heran ketika adekku sedang bermain atau pulang telat ibuku selalu menyuruhku menelfon dia. Karena jika aku telfon dia akan langsung pulang. Biasanya selalu ada ancaman sih hehe.


 Meskipun dia laki-laki tapi dia mempunyai perasaan yang jauh lebih peka dari perempuan. Gampang menangis ketika melihat orang tua yang ditelantarkan dijalanan dan memilih mengalah jika terjadi keributan dengan temannya. Sewaktu dia kecil, Ibuku pernah bertanya tentang cita-citanya ketika dia besar kelak. Dia menjawab ingin jadi dokter, agar nanti dia bisa mengobati para nenek-nenek dan kakek-kakek yang ada dijalanan ketika mereka sakit secara gratis. Pernah ketika dia duduk di kelas III SD aku  menjemputnya di madrasah tempat dia mengaji. Namun ditengah jalan aku bertemu dia sedang berjalan pulang. Dia berjalan sambil menangis, ternyata dia dipukul oleh salah seorang temannya. Sebut saja namanya "X", seketika aku langsung emosi dan memarahi dia.
 "Kenapa adek nggak balas pukul dia balik? kenapa adek malah pulang terus nangis gini? Ayo kita balik ke madrasah biar mbak marahin dia."
Dengan terisak dia menjawab:
"Seandainya yang mukul aku bukan "X" mungkin aku bakal mukul balik mbak, tapi kasihan "X" kan nggak punya ibu, nanti kalau aku pukul terus dia nangis kan kasian dia mau nangis ke siapa. Mending aku pulang aja nggak jadi ngaji daripada adek malu nangis di masjid"
Terharu, bangga, bercampur jadi satu. Adekku yang masih berusia sebelia itu sudah mampu berfikir sejauh itu. Akhirnya aku bonceng dia pulang ke rumah dan aku urungkan niatku untuk mendatangi anak yang telah memukulnya. 
Kejadian lain yang membuatku bangga menjadi kakaknya adalah ketika pendaftaran SMP. Kami semua mendorong dia untuk masuk di salah satu SMP favorit di Ponorogo yaitu SMP II  di program ICP. Dan diapun bersemangat untuk belajar., terutama belajar bahasa inggris dasar. Karena selain tes tulis juga ada tes interview speaking untuk masuk program ICP. Hampir setiap hari kakakku yang seorang guru bahasa inggris menelfonnya untuk mengajak berdialog menggunakan bahasa inggris. Melihat semangat dia dalam belajar dan matangnya persiapan ujian yang telah ia siapkan membuat kami yakin dia pasti diterima disekolah favorit tersebut.
Ketika ujian telah berakhir, sepulang dari sekolah dia beraktifitas seperti biasa namun tidak mau menjawab ketika kami menanyakan proses tes yang dia lalui pagi hari. Hingga pada suatu sore saat aku sedang duduk di ruang tengah tiba-tiba dia duduk disampingku sambil bersandar di tanganku dan dengan mata yang berkaca-kaca dia berkata dengan suara parau menahan tangis

"mbak, dek wau kulo kesupen sedanten kaleh sen diwarahi mbak wulan. Kulo wau mboten saget jawab pas tes interview. Padahal sen ditangletne gurune sami kaleh sen diwarahi mbak Wulan. Lek kulo mengke mboten lolos ten SMP II mbak Maya kaleh mbak Wulan kecewa nopo mboten?. Mengke bapak kaleh Ibu kecewa nopo mboten nggeh mbak?. Kulo wedi lek mboten lolos sedanten kecewa" 

Subhannalah, ternyata dari pagi hingga sore dia merasa sangat menyesal karena tidak bisa menjawab pertanyaan penguji saat tes. Dia takut kami semua kecewa kalau dia tidak lolos. Sembari aku ciumi pipinya aku terus menyemangatinya dan mengatakan bahwa kami semua tidak pernah kecewa, melihat adek yang telah berusaha keras bagi kami sudah menjadi kebanggaan yang tak terhingga. Dan ternyata apa yang dikhawatirkannya terjadi, dia memang tidak lolos di SMP II dan dialihkan ke SMP IV tempat dimana ia menuntut ilmu saat ini. Namun kami tidak pernah merasa kecewa bahkan sangat bangga melihat usahanya.
Karena menjadi satu-satunya anak yang berada dirumah, dia dituntut untuk menjadi anak laki-laki sekaligus berperan sebagai anak perempuan dirumah. Membantu ibu didapur terutama saat membuat pesanan snack, belanja sayur ditoko, mengantarkan jajanan ke pelanggan ibu, membantu bapak bongkar-bongkar, menjadi tukang pijetnya bapak dan ibu kalau malam, dan semua peran anak dijalankan dengan baik olehnya. Ia, diusianya yang masih sangat remaja dia telah mampu menggantikan peranku sebagai anak perempuan ibu dan bapak.

Tak heran jika ia mendapatkan perhatian yang lebih dari semua anggota keluarga. Handphone, motor, dan peralatan sekolah merk apapun yang ia mau akan berusaha kami penuhi. Namun sama dengan pola didik yang diterapkan bapak dan ibu kepada semua anaknya, dia memang tidak dimanja dengan fresh money. Dia hanya mendapat jatah 50rb untuk uang saku selama 1 minggu, dan terkadang sesekali mendapat sedikit tambahan uang jajan dari aku maupun kakakku. Oleh karena itu, jika ia mempunyai rencana untuk jalan-jalan atau ingin membelikan kado untuk temannya yang sedang ulang tahun dia bekerja sepulang sekolah. Kebetulan salah satu Ibu dari temannya satu sekolah mempunyai usaha. Terkadang dia membantu mencuci piring dirumah makan, mangkul kardus kosong, dan bahkan pernah mencoba berjualan jagung bakar di hari Minggu pagi. Tak satupun dari kami melarang pilihan dia. Terenyuh? pasti. Kakak mana yang tidak sedih melihat adeknya seperti itu. Namun kami sadar dari situlah dia akan belajar kemandirian. Kewajiban telah kami penuhi, dan jika ia menginginkan sesuatu diluar yang kami tanggung, ya dia harus berusaha. Agar kelak dia tidak bergantung pada siapapun dan tidak mengandalkan orang lain ketika dia menginginkan sesuatu.

Namun sekarang Ia telah beranjak dewasa. Dia yang dulunya sering minta gendong, minta jalan-jalan naik motor sambil berpegangan ke pinggangku saat dibonceng, minta berhenti ditoko jus ketika jalan-jalan, minta mainan ketika aku bepergian, minta dicium pipi kanan dan kiri ketika diantar ke sekolah sekarang telah berubah. Jangankan dicium didepan sekolahan, saat ini ketika aku antar di sekolahan bahkan ia minta diturunkan beberapa meter dari sekolahannya. Mungkin dia malu atau ada alasan lain aku juga tidak tahu. Dia juga tidak pernah mau dibonceng motor, dan selalu minta menyetir ketika bepergian berdua. Dia memang telah dewasa saat ini, bahkan fisiknya jauh lebih tinggi dari aku.

Namun, sebesar apapun dia saat ini, aku berharap dia masih tetap menjadi adekku yang dari kecil aku kenal. Adek yang sopan, pengertian, penurut, jujur, dan dewasa. Berapapun umurmu, semoga kamu tetap menjadi adeknya mbak yang selalu mbak banggakan. Terima kasih ya dek telah menjaga bapak dan ibu selama mbak berada diluar kota. Telah bersedia menjalankan peran mbak dirumah ketika mbak tidak ada. Sengaja aku pilih memasang fotonya saat ia kecil, karena memang aku merindukan adekku yang dulu yang selalu bersikap manja kepadaku. Namun tak ada yang lebih kejam daripada waktu. Yang dengan cepat merubah adekku yang dulu. Bagaimanapun dia akan beranjak dewasa, dan aku tidak akan bisa memperlakukan dia selayaknya anak kecil terus menerus. Ada saatnya aku akan melihatnya mengambil keputusan untuk masa depannya. Termasuk untuk pendidikannya kelak.

Akupun seharusnya tidak terus-terusan egois dengan membiarkannya berada dirumah selama pendidikannya dan aku terus berada diluar kota. Semoga ketika adek telah menyelesaikan pendidikan menengah atas kelak, mbak bisa kembali ke kampung halaman bersama keluarga kecil mbak. Semoga mbak bisa menggantikanmu merawat bapak dan ibu di kampung. Dan adek bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dimanapun adek mau. Tanpa harus khawatir bapak dan ibu kesepian dirumah, seperti yang sering adek takutkan selama ini.

We love you....tetap menjadi adeknya mbak yang mbak banggakan



No comments:

Post a Comment