Thursday 5 February 2015

Tetap Panggil aku Kanting Bapak...


opo ting?

Kata-kata itu sangat familiar ditelingaku semenjak kecil beliau selalu memanggilku "kanting" entah apa artinya aku jua tak tahu. Yups...beliau adalah laki-laki terhebat yang belum pernah aku temui tandingannya didunia ini. Tangguh, disiplin, penyayang, bertanggungjawab, meskipun sedikit bicara atau bisa dibilang agak pendiam. Beliau dilahirkan di kampung kecil di Kota Ponorogo tepatnya di Pereng. Beliaupun dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, meskipun aku belum pernah bertemu dengan kakek nenek yang telah melahirkan bapak, setidaknya aku banyak mendengar cerita Bapak tentang beliau. Kakek nenekku seorang petani yang mempunyai lahan sekedarnya, untuk menyekolahkan anak-anaknya termasuk bapakku, mereka harus bekerja keras. Itulah sebabnya bapak tidak pernah meminta uang saku ke nenek, karena jika sekali saja bapak meminta uang saku maka nenekku harus menjual hasil panennya terlebih dahulu, demi beberapa sen uang saku. Padahal bapakku 6 bersaudara dan masih mempunyai adik yang tentunya lebih membutuhkan hasil panenan untuk makan sehari-hari. Berangkat sekolahpun bapak harus berjalan kaki kekota karena tidak mempunyai kendaraan. Akhirnya pendidikan SMA pun beliau tamatkan dengan susah payah.


Awal karir bapak dimulai sebagai tukang nimbang beras pegawai di sebuah koperasi, juga pernah menjadi tukang parkir di Pemda Ponorogo, hingga pada akhirnya setelah bertahun-tahun menjadi tenaga kasar beliau diangkat sebagai PNS dengan golongan paling rendang Ic karena beliau hanya lulusan SMA. Beliau menikah dengan wanita yang juga paling cantik, bidadari yang terlihat yang hingga saat ini setia menemani bapakku dalam suka maupun duka beliau. 

Hari yang paling aku tunggu saat masa kecilku dulu adalah hari Selasa dan Kamis. Karena selepas pulang sekolah aku dan kakaku yang 3 tahun lebih tua dariku bergegas ganti baju dan makan didepan rumah menunggu bapakku pulang. Hari Selasa adalah jadwal majalah Bobo yang selalu beliau bawakan untuk kami. Dan hari Kamis adalah jadwal majalah mentari. Yups...dengan gaji yang tidak seberapa besar beliau berlangganan majalah untuk anak-anaknya. Dan hampir setiap hari itu pula aku akan bertengkar dengan kakaku memperebutkan majalah. Biasanaya sih ada yang sampai menangis dan ibukulah yang jadi wasitnya.

Sepulang dari kantor beliau tidak langsung istirahat selayaknya pegawai kantoran yang lain. Karena beliau harus keliling dengan ibuku untuk kulakan padi keliling desa yang nantinya dijual ke kota menggunakan Colt T atau biasa kami sebut "kol growong".  Gaji seorang pegawai golongan  rendah tentunya tidak cukup untuk membiayai hidup ketiga anaknya. Apalagi aku dan kakaku sudah bersekolah di pesantren ketika itu. Jadilah beliau banting tulang menjadi kuli pangkul dan ibuku yang menjadi kasirnya. Jika mendapat dagangan padi basah maka sampai rumah padi tersebut dijemur lagi dihalaman rumah, agar harganya bisa naik saat dijual ke Kota.

Tidak hanya menjadi kuli pangkul padi, beliau juga tidak pernah malu untuk menjadi kuli angkat dagangan Ibu dipasar. Sebelum berangkat kekantor, bapak mengantar Ibu kepasar. Dengan masih menggunakan seragam PNS beliau mengangkat dagangan ibu kedalam pasar. Dan beliau juga pernah menjadi peternak bebek, sepulang dari kantor mengaduk pur, sampah makanan, dan beberapa konsentrat untuk bebek. Semua yang beliau hanya untuk pendidian anaknya. Tak pernah aku melihat atau mendengar keluhannya bahkan hingga detik ini. 

Beliau mempunyai pola pendidikan yang unik untuk anak-anaknya. Beliau tidak pernah memberikan fresh money kepadaku. Namun beliau memenuhi kebutuhanku, sama halnya ketika aku dipesantren dahulu. Kebutuhan seperti peralatan sabun, sekolah, makan semua beliau penuhi, tapi tidak dengan pecahan uang. Mungkin hanya 2 lembaran puluh ribuan yang beliau berikan ketika menjengukku di pesantren, itupun untuk jaga-jaga jika sewaktu-waktu ada iuran mendadak. Begitu juga saat aku kuliah dahulu. Saat aku berangkat menuju Kota Malang, bukan uang jutaan rupiah yang beliau berikan. Tapi beliau membekali dengan sepeda motor ditahun kedua kuliah, sebuah netbook, dan handphone N73 yang tergolong nge-trend ditahun 2010an. Kaget??? pasti. Saat itu aku juga sempat memprotes, bagaimana tidak, aku kuliah diluar kota dan hanya dibekali 3 lembar uang pecahan ratusan. Aku memang butuh barang-barang tersebut, namun uang juga penting. Meskipun mendapatkan beasiswa dari pemerintah, tapi aku yakin beasiswa tersebut pasti akan molor dan tidak tepat waktu. Dan lebih parahnya lagi, aku berangkat ke Malang seorang diri, tidak ada keluarga yang mengantar seperti teman-temanku yang lain. Jika bukan karena melihat perjuangan beliau mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk membelikanku barang-barang tersebut, mungkin aku akan ngambek dan memilih tidak jadi berangkat.

beliau hanya berpesan :
" Bapak ora iso nyangoni duit akeh nduk tapi Motor, Netbook, karo hape ki wes dadi wekmu nduk, perkoro engko arep tok dol yo karepmu, tapi ojo nyuwun bapak lek arep tuku sen anyar. Kowe nduwe motor, kowe bakal rugi lek aktifitasmu podo karo konco-koncomu sen gak nduwe motor, kowe yo wes nduwe netbook, kudune kowe isin lan ngeroso rugi lek sampek kuliahmu lan tugas-tugasmu ora luweh apik soko koncomu sen ra nduwe netbook. Hapene yo tak tukokne sen anyar ben kowe ora isin karo konco-koncomu. Kowe wes dewasa wes dibekali ilmu dunyo akhirat nek pondok, kudune wes ngerti carane nguripi awakmu nek perantauan"

(Bapak tidak bisa memberi uang saku banyak, tapi motor, netbok, dan hape ini menjadi hak milikmu. Kalaupun kamu jual barang-barang ini juga tidak masalah tapi jangan minta uang ke Bapak kalau mau beli lagi. Kamu punya motor, kamu akan rugi jika aktifitasmu sama dengan teman-temanmu yang nggak punya motor, kamu juga punya netbook, harusnya kamu malu dan juga merasa rugi jika nilai tugas-tugasmu tidak lebih baik dari mereka yang tidak punya netbook. Hapenya aku belikan yang bagus biar kamu tidak malu dengan teman-temanmu yang lain. Kamu sudah dewasa, dan sudah dibekali ilmu dunia akhirat ketika dipondok, harusnya kamu sudah tahu bagaimana cara memenuhi kebutuhan hidupmu di perantauan)

Sekilas. aku tampak lebih unggul secara ekonomi dibanding teman-temanku dikampus. Karena aku sudah mempunyai motor, netbook, dan hape yang lumayan bagus saat teman-temanku belum memiliki barang tersebut.  Mereka tidak tahu kalau aku sama sekali tidak dibekali uang oleh orang tuaku. Hal itu yang membuatku harus bekerja di tahun kedua (karena tahun pertama di asrama). Selepas kuliah aku privat ke beberapa anak disekitar kampus. Biasanya aku berangkat pukul 14.00 dan pulang kekos pukul 20.00. Dalam sehari aku bisa mem-privat di tiga tempat. Aku berani mengambil privat dengan jam padat karena aku tidak perlu pergi ke warnet aku ke rental komputer untuk mengerjakan tugas kuliah. Karena aku mempunyai netbook, sehingga bisa langung belajar atau mengerjakan tugas dikamar. Sedangkan hape itu, akhirnya aku jual dan aku belikan hape blackberry dan aku pakai untuk online shop. Dan kalaupun sedang ada di sekretariat organisasi yang aku ikuti, aku harus pandai-pandai menentukan skala prioritas. Jika memang acaranya benar-benar mendatangkan manfaat maka akan aku datangi, dan jika hanya ngobrol, lebih baik aku hindari. Baru ketika weekend  aku bisa sedikit istirahat dengan jalan-jalan atau sekedar cuap-cuap dengan teman di organisasi.

Berbeda dengan teman-temanku yang lain, meskipun mereka tidak mempunyai motor, ataupun netbook, namun mereka mendapatkan uang setiap bulan dari orang tua mereka masing-masing. Sehingga mereka bisa bersantai sepulang kuliah, santai mengerjakan tugas di rental ataupun warnet, nongkrong-nongkrong, canda-canda di tempat organisasi intra maupun ekstra bahkan  bisa jalan-jalan ke mall meskipun naik angkot.

Saat kuliah aku sering sedikit iri dengan teman-temanku yang tidak perlu bersusah payah bekerja sambil kuliah. Sering merasa sedih juga kenapa beliau tega membiarkan aku bekerja sambil menempuh studi. Bapakku hanya sering bilang "Sabar nduk.... sen tirakat biasane dadi". 

Namun sungguh luar biasa, aku benar-benar menyadari pelajaran dan manfaat dari pola didik bapaku yang sedemikian keras. Yang sama sekali tidak pernah memanjakan anaknya dengan lembaran rupiah. Beliau membuatku menyadari bahwa sesuatu harus diperjuangkan, dan hal-hal yang diraih karena sebuah perjuangan akan lebih terasa manfaatnya. Beliau tidak membekali aku uang, tapi membekali aku dengan fasilitas yang dengannya aku akan bekerja keras, bukan hanya menunggu pundi-pundi terkirim di rekeningku setiap bulan. Beliau mengajarkan bahwa segala sesuatu membutuhkan proses, dan tidak ada yang instan.

Karena aku sudah memahami pola didikan beliau, maka akupun melakukan antisipasi saat akan menempuh S2, dan akan masuk ke dunia kerja. Jauh sebelum lulus, aku mencari informasi beasiswa, dan mencari pekerjaan yang sekiranya cocok untuk dijadikan pekerjaan sampingan ketika kuliah kelak. Dan sekali lagi aku merasakan manfaat pola didik bapakku yang terbilang "ekstrim" diawal. Aku terbiasa dibiarkan kemana-mana seorang diri, bahkan ke Malang saat aku masih baru keluar dari pesantrenpun seorang diri dengan membawa koper besar. Oleh karena itu, saat aku lulus, aku terbiasa keluar kota untuk mengikuti seleksi beasiswa maupun mendatangi panggilan interview kerjapun aku seorang diri. Ke Surabaya, Jogjakarta, Jakarta seorang diri, beliau hanya membekali doa. Sempat aku memprotes ke Ibu saat aku sedang berjuang mengikuti seleksi beasiswa. Aku protes kenapa Bapak nyaris tidak pernah menghubungi aku, Ibuku menjawab:

"weh ojo salah nduk, sen ngakon bue nelfon kowe ki yo bapak. Ki bapak enek tapi Ibuk sen dikon nakokne piye perkembangan seleksimu, ben dino pas muleh kerjo bapak takok wes telfon Maya po ugung. Nakokne kowe bobok ngendi, duite isik po ora, bapakmu wi malah sen rame ae"

(loh jangan salah nak, yang nyuruh Ibu nelfon kamu ki Bapak. Bapak ada disini, tapi bapak yang menyuruh Ibu menanyakan perkembangan seleksimu. Setiap pulang kerja Bapak selalu menanyakan Maya udah telfon apa belum. Tanya kamu tidur mana, uangnya masih atau tidak, justru Bapak yang lebih cerewet)

Deg... saat itu aku baru menyadari karakter bapakku. Beliau memang sedikit bicara, bahkan ketika aku paksa berbicara lewat telfon, beliau sering mengakhiri. Itulah yang menyebabkan beliau tidak pernah mau memberi sambutan saat ada acra keluarga baik arisan maupun halal bihalal, karena kosakata beliau sedikit. Bahkan saking iritnya kosakata, sempat beliau ngomong "untung anakku mbarep karo sen nomer loro wedok, dadi ra perlu ngalamar, kari nompo lamaran, engko pas nglamarne david ben mas-mas ipare ae sen nembung" (untuk anak sulung dan anak keduaku perempuan, jadi tinggal menerima lamaran, nanti pas David lamaran biar kakak iparnya aja yang ngomong). Berbeda dengan ibuku yang nyaris tidak pernah berhenti berbicara, baik yang penting ataupun yang tidak penting.

Dan...akupun juga baru tahu bahwa air mata perdana beliau mengalir saat beliau mendengarkan aku memberi sambutan menggunakan bahasa Inggris saat perpisahan akhir tahun di pesantren dahulu. Beliau tidak pernah memujiku secara langsung, bahkan saat aku turun panggung terlihat beliau biasa-biasa saja. Namun tanpa sepengetahuanku beliau menitikkan air mata sepanjang aku mengisi sambutan. Dan beliau bilang ke orang yang duduk disamping kanan dan kirinya "itu anakku wedok".

Dan Ibu juga pernah bilang saat aku wisuda S1  "Maeng pas kowe maju nrimo penghargaan Bue karo Bapak ra sempet moto, lha piye wong Bapak karo Bue malah nangis tok ndelok kowe maju nduk, opo meneh pas jenenge Bapakmu disebut Lutfiana Dwi Mayasari bin Sutaji, trus bapak matur meskipun seumur hidup aku ra tau diceluk maju nrimo penghargaan tapi aku bangga buk jenengku disebut-sebut terus goro-goro anakku".

Ah Bapak...aku semakin merindukanmu. Engkau selalu berdoa dalam diammu, dan menangis dalam bahagiamu. Sungguh aku baru memahami betapa beratmu dirimu saat melepaskan aku tanpa bekal, dan betapa kuatnya dirimu mendidikku demi ketangguhan dan kekuatan masa depan anakmu. Hingga detik ini, kau bisa memetik buah dari didikanmu yang terlihat keras dipermukaan. Saat ini aku masih juga berjuang di Ibu Kota untuk pendidikan dan pekerjaan, tapi aku tak lagi mengeluh pak, aku juga tidak pernah menangis seperti saat S1 dulu. Saat aku menuju kota ini hanya bekal mental dan pengalaman yang aku bawa. Karena aku tahu, akulah penentu masa depanku dan saat ini aku bisa merasakan bagaimana senangnya bisa menikmati hasil jerih payah sendiri. Saat ini aku bisa bekerja dan belajar dengan tenang.

Selamat menikmati masa tua Bapak dikampung bersama Ibu dan Adik. Saat ini bapak tak perlu lagi menjadi kuli panggul, tak perlu kepasar, dan susah payah beternak bebek. Cukup nikmati masa-masa menunggu pensiunmu Pak. Bapak tak perlu lagi bekerja dilapangan dibawah terik matahari. Karena saat ini, anakmu telah mandiri berkat didikanmu dan bekal pendidikan yang dulu bapak berikan. Tak bisa aku bayangkan, jika dulu dari kecil aku telah dimanja dengan pundi-pundi rupiah yang setiap bulan dialirkan ke rekening dan tidak bapak biasakan dengan hidup mandiri dan kerja keras, mungkin aku masih akan meminta uang darimu untuk melanjutkan studiku, dan mungkin aku juga belum menemukan pekerjaan karena tidak berani merantau. Kelak suatu saat, aku pasti akan kembali kekampung halaman untuk merawat Bapak dan Ibu. 

Tetap panggil aku kanting hingga aku tua nanti Pak, karena aku ingin  terus menjadi putri kecilmu yang dimanja dengan pola pendidikanmu, berapapun usiaku.

1 comment:

  1. subhanallah mb. didunia ini memang gak ada yg instan. segalanya membutuhkan proses. hamasah mb :)

    ReplyDelete