Pendahuluan
A.
Latar
Belakang
Zaman
modern dengan segala capaian budaya dan teknologinya sedikit banyak menyumbang
andil pada keringnya dimensi spiritualitas manusia. Kepentingan ekonomi dan
politik nyatanya benar-benar melemparkan manusia ke gurun nihilisme tanpa
batas. Yang terjadi kemudian adalah munculnya krisis moralitas yang menjangkiti
manusia modern. Parahnya, manusia seakan tidak lagi acuh akan rambu-rambu
kehidupan. Segala adagium mengenai moralitas, etika dan tata nilai sosial telah
lama diklaim sebagai hal yang anakronis, tidak lagi relevan dengan gaya hidup
modern. Tidak mengherankan ketika pada akhirnya penyakit sosial masyarakat
modern semakin hari kian akut. [1]
Di
tengah keterjebakan manusia pada problematika-problematika sosial ternyata
timbul keresahan pada diri manusia. Raibnya Tuhan dan agama dalam kehidupan
menimbulkan ‘kerinduan’ tersendiri bagi masyarakat modern, terutama yang tinggal
di perkotaan besar. Di satu sisi, banalitas, hedonisme dan nihilisme kehidupan
yang sehari-hari dikecap kaum urban perkotaan tersebut merupakan ladang yang
subur bagi tumbuhnya benih-benih spiritualitas keagamaan yang baru (new religious spirituality). Salah satu
yang mengemuka kemudian adalah maraknya kemunculan sufisme urban (urban sufism)
atau beberapa kalangan menyebutnya dengan sufisme kota. Fenomen ini menarik
bukan hanya sebagai momentum bangkitnya kembali spirit agama di tengah kepungan
westernisasi yang menggila. Lebih dari itu, kemunculan sufisme urban nyatanya
telah menyapukan warna tersendiri bagi khazanah kebudayaan Islam.Terlepas dari
kontroversi dan kritik yang turut mengiringi kemunculannya, sufisme urban telah
menjadi ruang tersendiri bagi jiwa-jiwa yang rindu untuk mereguk nikmatnya
dimensi-dimensi spiritualitas agama.[2]
Pasca
gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998, kegiatan keagamaan terjadi
berkembang pesat. Salah satunya muncul fenomena kebangkitan spiritualitas
masyarakat perkotaan (urban Sufism).
Nama-nama seperti Ustadz Arifin Ilham dengan majelis ad-Dzikra nya, ustadz KH Abdullah
Gymnastiar dengan Managemen Qalbunya, ustadz Yusuf Mansur dengan keajaiban
sedekahnya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Fenomena kebangkitan
gerakan spiritual di masyarakat perkotaan ini disebabkan munculnya gerakan
radikalisme yang sedang marak. Masyarakat merasakan adanya kekeringan jiwa (split personality) dengan pola
keberagaman yang legalistic, scriptural, dan
kaku. Mereka kemudian mencari bentuk atau alternative cara beragama lain yang
lebih humanis dan toleran.[3]
Membahas
mengenai fenomena gerakan urban Sufism,
erat kaitannya dengan pembahasan mengenai kehidupan kota. Mengingat bahwa
kemunculan gerakan ini memang banyak ditemukan pada kegiatan masyarakat
perkotaan. Kota merupakan antitetis dari desa. Jika desa selama ini lebih dekat
dengan citra tradisionalis, masyarakat yang komunal, masih memegang teguh
tradisi dan ajaran agama, maka kota sebaliknya. Oleh karena itu dalam makalah
ini,penulis akan membahas mengenai desa dan kota perspektif al-Quran. Dengan
ditulisnya makalah ini diharapkan mampu membuka wacana penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya mengenai konsep desa dan kota yang tertulis dalam
al-Quran.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
korelasi antara desa, kota dan fenomena urban Sufism?
2.
Bagaimanakah
konsep kota perspektif al-Quran?
3.
Bagaimanakah
konsep desa perspektif al-Quran?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
korelasi antara desa, kota dan fenomena urban Sufism
2.
Untuk mengetahui
konsep kota perspektif al-Quran
3.
Untuk mengetahui
konsep desa perspektif al-Quran
Pembahasan
Istilah Urban Sufisme menjadi populer
setelah Julie D. Howell tahun 2003, yang digunakan pada kajian antropologi
tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti
Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Tentu saja,
kajian Howell saat itu belum memasukkan fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin
Ilham, dan Aa Gym, karena fenomena ketiganya muncul belakangan. Meski demikian,
memperhatikan karakteristik spiritual yang melekat pada aktivitas ketiga ustaz
di atas, tidak sulit ditegorikan sebagai urban Sufism. Berbeda dengan student sufism dan conventional/orthodox sufism, corak tasawuf yang berjenis urban sufism adalah jenis komunitas
tasawuf yang memiliki karakter baru dan lazim terjadi di perkotaan. Mereka
memiliki gaya hidup yang bertolak belakang dengan sufi-sufi yang secara umum
sudah dikenal lebih tepatnya stereotyped oleh masyarakat. Sufi jenis ini
memiliki apresiasi yang demikian tinggi terhadap teknologi dan modernitas. Apa
yang mereka tampilkan dalam tingkah laku sehari-hari merupakan indikator.[4]
Mereka
tidak lepas dari handphone, mengandarai mobil mewah, berkantor di kawasan pusat
bisnis dan sering bertandang di hotel-hotel berbintang. Umumnya, para penempuh
jalan sufitik baru ini adalah orang-orang terpelajar (mostly an educated people), berasal dari kalangan yang secara
materi berkecukupan (the have nice life),
dan para pekerja profesional. Keterlibatan mereka dalam dunia sufistik tidak
banyak berpengaruh dalam sikap dan corak pergaulan yang selama ini menjadi
tradisi para sufi. Mereka tidak melakukan pengasingan atau menutup diri dari
komunitas umum masyarakat. Mereka masih berkomunikasi dengan dunia luar seperti
sebelumnya. Bisa dipastikan hampir tidak ada batasan antara mereka yang “sufi”
dan mereka yang “awam”. Bahkan tidak jarang para „sufi. baru ini menonton film,
belanja ke mall-mall, aktif ke fitness center, main golf, bahkan berlibur ke
luar negeri.[5]
Kaum Urban modernis ini juga prihatin terhadap reputasi
tarekat yang etos sosialnya kurang menggembirakan (sikap setia terhadap shaykh
tanpa kritik dan keharusan menjauhkan diri dari kehidupan sosial setelah
baiat). Kelompok
tarekat ini masuk dalam kelompok mistik heterodoks (golongan kebatinan) yang
dalam bahasa Howell disebut agama baru yang sinkretik.[6]
Kelompok
kelas menengah yang kemudian disebut urban
Muslim middle class, adalah kelompok yang cukup menarik dibahas terutama di
perkotaan. Kota yang dikatakan sebagai pusat perubahan sosial merupakan tempat
yang cukup stategis bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi ataupun budaya
terutama pada kalangan kelas menengah. Posisinya pada tingkat tengah menjadikan
kelas ini sebagai penyambung antara kelas bawah dan kelas atas, karenanya kelas
menengah ini juga bisa dikatakan sebagai kelas transisi. Pembahasan mengenai
kelas menengah semakin menarik, karena tema ini diusung pada The Mark Plus
Conference 2012 di Jakarta.[7]
Oleh
Hermawan Kartajaya, founder dan president Mark Plus Inc., dijelaskan bahwa
kelas menengah diprediksi tahun 2012 akan mengalami kebangkitan yang cukup
dahsyat, yang berimplikasi perubahan perilaku pasar. Data IMF memproyeksikan
dengan percepatan pertumbuhan ekonomi kelas menengah Indonesia yang luar biasa,
pada tahun 2012 GDP Indonesia akan melampaui GDP Belanda. Karenanya bangkitnya
kelas menengah otomatis berbanding lurus dengan peningkatan permintaan produk
gaya hidup (life style), produk kecantikan, kesehatan dan juga tidak
ketinggalan sektor wisata dan transportasi. Yang ini juga akan berdampak pada
aneka produk kelas premium, termasuk properti kelas atas. Fenomena ini pada
akhirnya menumbuhkan tema baru pada strategi marketing 2010 dengan pendekatan
segmentasi youth, women, dan neizen. Pertumbuhan ini otomatis akan berdampak
pada daya beli yang semakin baik terutama pada sektor perdagangan terutama pada
kualitas kelas premium, termasuk properti kelas atas.[8]
Kelompok
menengah middle class merupakan kelompok penghubung dan jembatan antara
kelompok “up” dan kelompok “down”. Sehingga kelompok ini sangat fleksibel.
Berdasarkan tesis tersebut, maka kelompok ini menjadi sasaran dan kajian yang
sungguh menarik. Karenanya, suatu kultur atau budaya akan mudah terserap oleh
kelompok ini yang kemudian mencerminkan sikap budaya. Kuntowijoyo menyebutkan
adanya dua kemungkinan dengan sikap budaya yang muncul. Pertama, budaya
elit. Pemilik tetap sebagai subjek budaya. Mereka mengalami proses pencerdasan
dan tidak mengalami alienasi. Pemilik budaya elit seperti ini identitasnya
tidak tenggelam dalam budaya. Kedua, budaya massa. Mereka mengalami
objektifasi (hanya sebagai objek saja), alienasi, dan pembodohan. Pemilik
budaya dalam kategori ini tidak sanggup berperan dalam pembentukan simbol
budaya.[9]
Setidaknya ada lima hal
yang melatarbelakangi maraknya praktek tasawuf di kalangan masyarakat
perkotaan. Pertama, searching for
meaningful life, upaya mencari makna hidup. Kedua, intellectual exercise and enrichment, untuk perdebatan dan
peningkatan wawasan intelektual. Ketiga, psychological
escape, spiritualitas yang diperuntukkan bagi upaya penyembuhan penyakit
psikologis. Keempat, religious
justification, sarana mengkuti trend dan perkembangan wacana. Kelima, economic interest, sikap eksploitatif
terhadap agama demi kepentingan pribadi.[10]
Fenomena
urban Sufism terjadi pada masyarakat perkotaan. Kota lebih
lekat dengan citra sebagai representasi dunia modern. Masyarakat kota adalah
masyarakat yang individualis, industrialis, cenderung anti terhadap kepatuhan
pada tradisi dan ajaran agama. Tuntutan-tuntutan untuk selalu menjadi yang
terdepan dalan urusan ekonomi, politik, teknologi serta gaya hidup mengantarkan
masyarakat kota pada posisi terdepan perjalanan paham modernisme. Keadaan yang
demikian ini yang mengantarkan masyarakat kota menuju degradasi moral yang
ujungnya adalah mengeringnya nilai-nilai spiritualitas. Masyarakat kota
kemudian menjadi sekumpulan manusia yang limbung, kehilangan orientasi awal.
Uang, teknologi, capaian politis dan seabrek kemewahan duniawi lainnya yang
awalnya diekspektasikan bakal memberi kepastaian hidup nyatanya tidak mampu
menghapus kegalauan psikologis. Pada titik yang demikian, mayarakat kota butuh
sesuatu yang lebih dari sekedar agama dan Tuhan, melainkan sesuatu yang secara
‘instan’ dapat mengobati deraan galau psikologis yang mereka alami.[11]
Terma
desa dan kota secara sosiologis tidak bisa dimaknai dalam ruang lingkup
geografis semata. Dalam era postmodern seperti sekarang, batas antara desa dan
kota ditinjau dari sudut pandang sosiologis sangat tipis. Dalam artian, budaya,
tradisi dan pemikiran yang selama ini berkembang di kota banyak diadopsi
sebagai tradisi, budaya dan pemikiran masyarakat desa. Kemajuan teknologi dan
ilmu pengetahuan yang selama ini dimonopoli oleh desa juga perlahan mulai
merambah di pedesaan. Jika dimaknai secara kaku, maka batas kota dan desa
menjadi kabur dan tidak jelas. Oleh karena itu merujuk pada apa yang
disampaikan Scot Norman, bahwa term rural
dan urban atau city haruslah dipahami dalam lingkup pemikiran dan kebudayaan.
Dengan demikian, bisa saja wilayah yang secara geografis tergolong pedesaan,
namuan secara peradaban dan pemikiran sudah masuk dalam kategori urban (city) atau sebaliknya.[12]
Tasawuf, menjadi tidak
hanya tumbuh subur di daerah-daerah pinggiran (rural) melainkan mulai berekspansi ke wilayah-wilayah perkotaan
(city). Perjalanan tasawuf dari yang tadinya berada di wilayah rural menuju ke city ini tentu disertai latar belakang yang tidak sederhana.[13]
Kemodernan dan peradaban menyebabkan banyaknya masyarakat rural yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Namun, setelah
kebutuhan material telah terpenuhi justru hati dan jiwa mereka merasakan
kekosongan. Maka merekapun akan mencari komunitas-komunitas dan kelompok
spiritual yang dianggap mampu mengisi kekosongan jiwanya.[14]
Disinilah letak korelasi antara ketiganya, dimana urban Sufism diperankan oleh mereka masyarakat perkotaan yang
mayoritas sebelumnya adalah masyarakat rural
yang erat dengan tarekat tradisional tepatnya pada akhir abad 20.[15]
A. Konsep Kota dan Desa
dalam al-Quran
1.
Konsep Kota
dalam al-Quran
Kata
“almadinah”[16]disebutkan
sebanyak 14
kali dengan bentuk plural maupun tunggal, dan semuanya berbentuk “ma’rifah”.[17] Yaitu dalam
surat al-A’raf ayat 123, at-Taubah 101 dan 120, Yusus 30, al-Hijr 67, al-Kahfi
19, dan 82, an-Naml 48, al-Qishas 15, 18, dan 20, al-Ahzab 60, Yasin 20, dan
al-Munafikun 8. Bentuk “ma’rifah”[18] dalam term “madinah” menunjukkan bahwa lokasi yang
disebut dalam al-Quran adalah sebuah lokasi yang jelas batas wilayahnya. Selan
itu, sifat “ma’rifah” dalam term “madinah” menunjukkan bahwa telah jelas “madinah” identik dengan kemajuan,
kemodernan, kemajuan, dan peradaban.[19] Hal ini sejalan dengan
pendapat Julia Howell mengenai karakteristik masyarakat perkotaan yang pada
akhirnya melahirkan konsep Urban Sufism.[20]
2.
Konsep Desa dalam al-Quran
Lafadz desa di
zaman sekarang ini diartikan sebaga lawan dari kota. Desa identik dengan kefakiran sedangkan kota identik
dengan peradaban, kekayaan. Namun ada beberapa term desa dalam al-Quran yang
tidak bisa dianalogikan dengan makna desa yang kita temukan pada zaman
sekarang.[21]
Dalam kamus bahasa arab, term “qoryah”[22] berarti berkumpul atau
perkumpulan. Dinamakan “qoryah”
karena ada perkumpulan orang didalam suatu lokasi tertentu. Kata “qoryah” disebutkan sebanyak 29 kali,
dimana semuanya adalah kata sifat dan tidak ada yang berbentuk kata kerja. 8 kata berbentuk “ma’rifah” dan 21 kata berbentuk “nakirah”.[23] Term “ma’rifah” digunakan jika “qoryah”
yang dimaksud dalam al-Quran tersebut telah jelas lokasi dan batasan
wilayahnya, sedangkan term dalam bentuk “nakirah”
digunakan jika lokasi yang dimaksud adalah sebuah lokasi yang luas yang belum
jelas batas wilayahnya.
Term “qoryah”
menunjukkan sifat manusiawi dari sisi manusia sebagai makluk hidup. Dimana
sifat manusiawi yang ada dalam manusia ada yang terindra dan tidak terindra.
Jika sifat manusiawi tersebut terindra maka akan bersifar “ma’rifah”, dan jika
tidak terindra maka menggunakan sifat “nakirah”.[24] Hal ini tampak pada kisah
Nabi Musa dalam surat al-Kahfi ayat 77 sebaga berikut:
فَانطَلَقَا
حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا
أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ
فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ
عَلَيْهِ أَجْرًا [الكهف:77]
Meminta makan, menjamu tamu berhubungan sifat
manusiawi oleh karena itu menggunakan “qoryah”.
Sedangkan membangun tembok yang identik dengan peradaban menggunakan “madinah”.
Ada beberapa makna yang terkandung
dalam term “qoryah” secara bahasa
antara lain:
دلالة
|
اية
|
رقم
|
Qurtubi:
Tempat yang didalamnya ditempati banyak orang[25]
|
كَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا
فَجَاءهَا بَأْسُنَا بَيَاتاً أَوْ هُمْ قَآئِلُونَ [الأعراف:4]
|
1
|
Menurut
tafsir Ibnu Katsir: Baitul Muqoddas[26]
|
وَإِذْ قِيلَ
لَهُمُ اسْكُنُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُواْ مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ وَقُولُواْ حِطَّةٌ وَادْخُلُواْ
الْبَابَ سُجَّداً نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئَاتِكُمْ سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ [الأعراف:161]
|
2
|
Menurut Thobari : Sudum atau Palestina
|
إِنَّا مُنزِلُونَ
عَلَى أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ رِجْزاً مِّنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ [العنكبوت:34]
|
|
Menurut
tafsir Ibnu Katsir: Makkah[27]
|
وَمَا لَكُمْ لاَ
تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ
وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ
هَـذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً وَاجْعَل
لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيراً [النساء:75]
|
3
|
Menurut Thobari : Ailah
|
انطَلَقَا حَتَّى
إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا[الكهف:77]
|
4
|
Tafsir
Tobari: dihancurkannya masyarakat desa karena mengingkari utusan Allah yang
dikirim kepada mereka[28]
|
وَكَمْ قَصَمْنَا
مِن قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ [الأنبياء:11]
|
5
|
Tafsir
Tobari: Baitul Muqoddas[29]
|
وَإِذْ قِيلَ
لَهُمُ اسْكُنُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ
وَقُولُوا حِطَّةٌ وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئَاتِكُمْ سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ [الأعراف: 161]
|
6
|
Tafsir
Tobari: Sadum, qoryah kaum Nabi Luth[30]
|
وَلَمَّا جَاءَتْ
رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَىٰ قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ
الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ [العنكبوت:31]
|
7
|
Tafsir
Tobari: peringata bagi seluruh
penduduk qoryah agar tidak berpaling dari ajaran Tuhan[31]
|
وإن من قرية إلا نحن
مهلكوها قبل يوم القيامة ( {الإسراء:58}
|
8
|
Tafsir
Tobari: peringatan kepada penduduk qoryah untuk tidak melawan aturan-Nya.[32]
|
وكأين
من قرية أمليت لها وهي ظالمة ثم أخذتها
[الحج:48]
|
9
|
Qurtubi:
kaum nabi Yunus[33]
|
فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ
يُونُسَ " (يونس : 98)
|
10
|
Menurut Thobari “qoryah” yang dimaksud adalah Mesir
|
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ
الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيْرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا [يوسف : 82]
|
11
|
Ibn
Katsir: mayoritas masyarakat “qoryah” tidak mengimani utusan-Nya.
|
مَا آمَنَتْ قَبْلَهُم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَفَهُمْ
يُؤْمِنُونَ [الأنبياء : 6]
|
12
|
Thobari: kaum Sulaiman mendustakan
dakwahnya[34]
|
قَالَتْ إِنَّ
الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا [النمل
: 34]
|
13
|
Tobari:
penduduk yang melawan perintah Tuhan[35]
|
وَكَأَيِّن مِّن
قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ [ الطلاق : 8]
|
14
|
Ibnu
Katsir: Makkah[36]
|
وَكَأَيِّن
مِّن قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِّن قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ [محمد : 13]
|
15
|
Menurut Qatadhah “qoryah” yang dimaksud adalah Antoqiyah
|
وإذ
قلنا ادخلوا هذه القرية} (البقرة:58
|
16
|
Menurut Tobari “qoryah” yang dimaksud adalah Baitul Muqoddas
|
وإذ
قيل لهم اسكنوا هذه القرية} (الأعراف:161
|
17
|
Ibn Abbas menyatakan
bahwa “qoryah” yang dimaksud adalah Ailah teletak d ujung selatan Palestina
|
واسألهم
عن القرية (الأعراف:163)
|
18
|
Menurut Thobari: Mesir
|
{واسأل القرية التي كنا فيها} (يوسف:82)
|
19
|
Nama sebuah kota
|
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى
بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ [هود:117]
|
20
|
Tobari:
‘adin dan tsamud[37]
|
وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ
لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِداً [الكهف:59]
|
21
|
Tobari:
Makkah[38]
|
[
112:النحل]
آمنة مطمئنةالله مثلا قرية كانت وضرب
|
22
|
Qurtubi:
Yaman[39]
|
لبقرة:58] ا] القرية هذه ادخلو قلنا وإذ
|
23
|
Tobari:
Baitul Muqoddas[40]
|
[161
: الأعراف]
القرية هذه اسكنوا لهم قيل وإذ
|
24
|
Qurtubi:
representasi masyarakat yang bakhil[41]
|
[77:
الكهف ]
قرية أهل أتيا إذا حتى
|
25
|
Ibn
Katsir: Makkah dan Thaif[42]
|
[31:الزخرف ]عظيم القريتين من رجل على القرآن هذا نزل
|
26
|
[ يس:
13 ] القريةاصحابمثلا
لهم وضرب
|
Dari
bagan diatas tampak bahwa kalimat “qoryah”
dalam al-Quran mayoritas menunjukkan nama tempat dan juga sekumpulan penduduk
yang menempati suatu wilayah geografis tertentu.
3. Perdebatan Arti
Desa dan Kota dalam al-Quran
Ada
beberapa pendapat para ahli dalam memaknai arti kota dan desa secara istilah. Seperti
halnya pendapat yang dinyatakan oleh Kholid Ibn
Sulthon Ibn Abdul Aziz dalam buku Mausyu’ah
Maqotil min Shohroi,[43]
antara lain:
a)
Desa
dan Kota mempunyai arti yang sama jika disebutkan berdampingan
Tidak
ada perbedaan antara kedua term “qoryah”
dan “madinah” jika dua kalimat ini
bersandingan penyebutannya. Seperti yang tertulis dalam ayat dibawah ini:
وَاضْرِبْ
لَهُمْ مَثَلاً أَصْحابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (يس:13)
Kemudian dalam surat yang
sama pada ayat yang berbeda disebutkan term “madinah”
﴿ وَجاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعى ﴾(يس:20)
Dalil lain yang menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan antara keduanya adalah ayat berikut:
:﴿ فَانْطَلَقَا
حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ ﴾، disebut Desa
ثم
قال:﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ ﴾ qoryah
kata hdisebutkan setela
Kota dan desa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut
menunjukkan satu lokasi yang sama. Hanya berbeda penyebutan dan masih dalam
satu urutan qishoh.
b)
Desa
dan Kota mempunyai arti yang berbeda
Desa dan Kota merupakan dua wilayah
dengan karakteristik yang berbeda. “Madinah”
merupakan identitas yang merepresentasikan kemajuan, kemodernan, dan kemajuan
berfikir. Itulah sebabnya term “madinah”
selalu bersifat “ma’rifah” dalam
al-Quran. Sedangkan “qoryah”
menunjukkan suatu lokasi dimana masyarakat menempati suatu wilayah geografis
tertentu. Dan menunjukkan sifat-sifat humanism yang terindra dan tidak
terindra. Oleh karena itu term “qoryah”
mempunyai dua sifat kata yaitu “ma’rifah”
dan “nakirah” . Seperti yang tertulis
dalam ayat berikut:
فَانطَلَقَا
حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا
فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ
أَجْرً [الكهف:77]
Meminta makan, menjamu tamu berhubungan sifat
manusiawi oleh karena itu menggunakan “qoryah”. Sedangkan membangun tembok yang
identik dengan peradaban menggunakan “madinah”.
Berbedaan
karakter desa dan kota bisa dirinci sebagai berikut:
1)
Penduduk desa
lebih sedikit disbanding penduduk kota
2)
“Qoryah”
menunjukkan nama suatu lokasi geografis atau penduduk suatu lokasi tersebut
secara keseluruhan. Yang menyebutkan penduduk antara lain terdapat dalam ayat:
وَاسْأَلِ
الْقَرْيَةَ [يوسف:85]
Sedangkan yang menunjukkan nama
suatu lokasi terdapat dalam ayat berikut:
وَكَأَيِّن
مِّن قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِّن قَرْيَتِكَ ﴾(محمد:13)
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ ﴾(هود:117)
Dalam
surat Hudd ayat 117, “quro” yang dimaksud adalah nama suatu kota.
3)
Perkembangan
peradaban di desa lambat, tidak seperti peradaban yang ada di kota.
4)
Penduduk “qoryah” menjunjung tinggi nilai-nilai
adat dan memiliki nilai kekerabatan yang tinggi.
c)
Term
“qoryah” identik dengan kata dholim, fasikh, dan perilaku negative lainnya.
Hampir seluruh term “qoryah” yang terdapat dalam al-Quran selalu diikuti sifat negative
seperti ingkar, membangkang, dholim, dan berbagai sifat negative lainnya. Hal
ini tampak pada ayat-ayat berikut:
وَتِلْكَ
الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا
وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِداً [الكهف:59]
وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ [ الطلاق : 8]
وَكَمْ قَصَمْنَا مِن قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ
[الأنبياء:11]
وَمَا
كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ [هود:117]
Dan setelah digambarkan sebagai
masyarakat dengan berbagai sifat negative, maka adzab dan juga balasan dari Allah
akan ditimpakan kepada penduduk “qoryah”
tersebut. Kholid Ibn Sulthon Ibn Abdul Aziz[44]
menyatakan bahwa term “qoryah” dalam
al-Quran banyak mengisahkan kehidupan kaum nabi Luth, nabi Nuh, kaum yasin,
desa syuaib yang terkenal dengan penduduknya yang penipu pada zaman kenabian
dahulu. Telah banyak dikisahkan bagaimana perjuangan Nabi Luth, Nabi Nuh dan
nabi lain dalam menyebarkan agama Allah. Karakteristik penduduk desa yang
cenderung berpegang teguh pada ajaran nenek moyang dan sesepuh pada lokasi
setempat menyebabkan mereka membangkang dari ajaran yang benar. Hingga pada
akhirnya diturunkanlah adzab sebagai bentuk peringatan kepada kaum yang
membangkang.
d)
Term
“qoryah” pada zaman dahulu tidak sama
dengan makna desa dimasa saat ini.
Hal
ini sesuai dengan qaidah fiqh yang berbunyi:
الأمكنة
و ا لأزمنةبتغير
حكامالأتغير
“
Hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan waktu”
Nampaknya
tidak hanya hukum yang berubah mengikuti perkembangan zaman, bahkan terminology
pun bisa berubah mengikuti kondisi saat ini. Desa seperti yang disebut dalam
al-Quran baik secara geografis maupun karakterisrik tentu ditemukan berbagai
perbedaan. Jika mayoritas ayat al-Quran menyebutkan sifat negative dari
penduduk desa, hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat pada zaman
tersebut.
Sedangkan
desa pada masa sekarang tentu jauh berbeda dengan kondisi pada masa lalu. Desa
menurut Wijaja[45]
diartikan sebagai suatu wilayah yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum pada
batas-batas wilayah yang mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat yang dimana corak masyarakatnya ditandai dengan
kebersamaan dan keramahtamahan. Selain itu bisa disimpulkan juga bahwa pedesaan
adalah sebuah lingkungan yang khas memiliki otonomi dan kewenangan dalam mengatur
kepentingan masyarakat yang memiliki kultur serta berbagai kearifan lokal yang
khas serta lingkungan yang masih alami dan kondusif yang banyak berpengaruh
terhadap karakter masyarakat di pedesaan.
Hidup
penuh kebersamaan, dan gaya hidupnya yang berkelompok merupakan dua
karakteristik yang khas bagi masyarakat “qoryah”. Baik dimasa lampau maupun
pada zaman sekarang. Namun untuk sifat dari penduduk “qoryah” tidak bisa
diartikan sama dengan sifat seperti yang ada dalam al-Quran.
Penyebutan
kisah-kisah masyarakat “qoryah” dengan segala stereotip negative dan dengan
segala akhlah madzmumah yang mereka
miliki hendaknya menjadi “ibrah” atau
pelajaran bagi masyarakat desa di zaman ini. Dengan karakternya yang solid dan
menjunjung tinggi nilai kekerabatan dan ajaran leluhur, seyogyanya masyarakat
desa tidak menolak segala hal pembaharuan yang dibawa oleh orang lain. Meskipun
orang lain tersebut tidak berasal dari satu wilayah dan lingkungan yang sama. Jika
memang pembaharuan tersebut memang benar adanya, maka perlu untuk dikaji dan
ditelaah. Karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran yang absolute.
Ajaran-ajaran yang turun temurun pun belum tentu benar secara keseluruhan.
Penutup
Pembahasan
mengenai Urban Sufism tidak terlepas
dari kehidupan desa dan kota. Fenomena Urban
Sufism itu sendiri muncul dari realitas kehidupan masyarakat kota yang
hidup dalam hedonism, kemodernan, namun kosong akan nilai-nilai spiritual.
Pendudukan masyarakat kotapun bermacam-macam, namun mayoritas berasal dari
masyarakat desa yang melakukan urbanisasi untuk memenuhi kebutuhan financial,
pendidikan, dank arena factor lain.
Dalam
pembahasan tafsir al-Quran, terdapat kesamaan karakter “madinah” dengan kota. Dimana keduanya merepresentasikan kehidupan
dengan peradaban yang maju serta penduduknya yang modern. Sedangkan dalam
pengertian “qoryah” terdapat beberapa
kesamaan karakteristik dengan desa. Persamaan tersebut antara lain
kekeluargaan, menjunjung nilai adat istiadat, dan jumlah penduduknya yang lebih
sedikit. Namun dalam penyebutan sifat penduduknya perlu dikaji kembali.
Penyebutan sifat masyarakat “qoryah”
dalam al-Quran menggambarkan penduduk pada zaman dahulu tatkala mereka menerima
ajaran baru dari orang lain diluar kelompoknya. Sehingga terjadi pembangkangan
karena dianggap menentang ajaran leluhurnya. Hal ini tentu berbeda dengan sifat
masyarakat desa pada zaman sekarang.
Kisah-kisah
dalam al-Quran tersebut hendaknya menjadi “ibrah”
atau pelajaran bagi masyarakat desa di zaman ini, agar tidak menjadi
pembangkang dan senantiasa terbuka dengan hal-hal yang baru. Karena
sesungguhnya fanatisme yang berlebohan justru akan menyebabkan perpecahan.
Daftar Pustaka
1). Buku
Faturahman,
Oman. 2007. “Urban Sufisme: Perubahan dan
Kesinambungan Ajaran Tasawuf” dalam Rizal Sukma dan Clara Juwono (e.d),
Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS.
Hidayat,
Komaruddin. 2000. “Agama dan Kegalauan
Masyarakat Modern” dalam Nurcholis
Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat
Modern, Jakarta: Media Cipta.
Jamil, Muhsin. 2007. Agama-Agama Baru
di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kuntowijoyo,
2004. “Budaya Elit dan Budaya Massa”,
dalam Idi Subangun Ibrahim (ed.), Life
Style Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia,
Yogyakarta: Jalasutra.
M.
Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies Di
Perguruan Tinggi: Paradigma Intregratif-Interkonektif Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Scot Norman, 1998. Rural and City: Sociological Perspective, London: Mc. Millan.
Widjaja, 2005. Otonomi Desa, cet-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2) Internet
3)
Makalah dan Artikel
Julia
Day Howell, 2007. “Modernity and the
Borderlands of Islamic Spirituality in Indonesia‟ New Sufi Networks”, dalam
Martin van Bruinessen dan Julia D. Howell, Sufism
and the Modern in Islam, London: I.B. Tauris.
---------------------,2001.
“Indonesian‟s Urban Sufis: Challenging
Stereotypes of Islamic Revival” (PDF 3.7Mb) dalam ISIM Newsletter (International Institute for thr study of Islam in the
Modern World Newsletter 6.
--------------------,
“Modernitas dan Spiritualitas Islam dalam
Jaringan Baru Sufi Indonesia”, dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day
Howell, Urban Sufisme.
Kris
Moerwanto, 12 Desember 2011.“Bangkitnya
Kelas Menengah dan Perubahan Perilaku Pasar”, Jawa Pos.
Rahmanartya
Aristo, 2010. Piritualitas Di Tengah
Banalitas Kehidupan:
Telaah Kritis Terhadap Trend Sufisme Di
Kalangan Kaum Urban. Makalah. Jakarta.
Rofhani,
2013. Budaya Urban Muslim Kelas Menengah,
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013.
Untuk food note nya hubungi penulisnyaa makasihh
kak... maaf penulis makalah ini siapa ya?
ReplyDeletesaya mau catatan kakinya
ReplyDelete