Friday 24 April 2015

KONSEP DESA DAN KOTA PERSPEKTIF AL-QURAN (URBAN SUFISM)


Pendahuluan
A.    Latar Belakang

Zaman modern dengan segala capaian budaya dan teknologinya sedikit banyak menyumbang andil pada keringnya dimensi spiritualitas manusia. Kepentingan ekonomi dan politik nyatanya benar-benar melemparkan manusia ke gurun nihilisme tanpa batas. Yang terjadi kemudian adalah munculnya krisis moralitas yang menjangkiti manusia modern. Parahnya, manusia seakan tidak lagi acuh akan rambu-rambu kehidupan. Segala adagium mengenai moralitas, etika dan tata nilai sosial telah lama diklaim sebagai hal yang anakronis, tidak lagi relevan dengan gaya hidup modern. Tidak mengherankan ketika pada akhirnya penyakit sosial masyarakat modern semakin hari kian akut. [1]
Di tengah keterjebakan manusia pada problematika-problematika sosial ternyata timbul keresahan pada diri manusia. Raibnya Tuhan dan agama dalam kehidupan menimbulkan ‘kerinduan’ tersendiri bagi masyarakat modern, terutama yang tinggal di perkotaan besar. Di satu sisi, banalitas, hedonisme dan nihilisme kehidupan yang sehari-hari dikecap kaum urban perkotaan tersebut merupakan ladang yang subur bagi tumbuhnya benih-benih spiritualitas keagamaan yang baru (new religious spirituality). Salah satu yang mengemuka kemudian adalah maraknya kemunculan sufisme urban (urban sufism) atau beberapa kalangan menyebutnya dengan sufisme kota. Fenomen ini menarik bukan hanya sebagai momentum bangkitnya kembali spirit agama di tengah kepungan westernisasi yang menggila. Lebih dari itu, kemunculan sufisme urban nyatanya telah menyapukan warna tersendiri bagi khazanah kebudayaan Islam.Terlepas dari kontroversi dan kritik yang turut mengiringi kemunculannya, sufisme urban telah menjadi ruang tersendiri bagi jiwa-jiwa yang rindu untuk mereguk nikmatnya dimensi-dimensi spiritualitas agama.[2]

Pasca gerakan reformasi di Indonesia pada tahun 1998, kegiatan keagamaan terjadi berkembang pesat. Salah satunya muncul fenomena kebangkitan spiritualitas masyarakat perkotaan (urban Sufism). Nama-nama seperti Ustadz Arifin Ilham dengan majelis ad-Dzikra nya, ustadz KH Abdullah Gymnastiar dengan Managemen Qalbunya, ustadz Yusuf Mansur dengan keajaiban sedekahnya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Fenomena kebangkitan gerakan spiritual di masyarakat perkotaan ini disebabkan munculnya gerakan radikalisme yang sedang marak. Masyarakat merasakan adanya kekeringan jiwa (split personality) dengan pola keberagaman yang legalistic, scriptural, dan kaku. Mereka kemudian mencari bentuk atau alternative cara beragama lain yang lebih humanis dan toleran.[3]
Membahas mengenai fenomena gerakan urban Sufism, erat kaitannya dengan pembahasan mengenai kehidupan kota. Mengingat bahwa kemunculan gerakan ini memang banyak ditemukan pada kegiatan masyarakat perkotaan. Kota merupakan antitetis dari desa. Jika desa selama ini lebih dekat dengan citra tradisionalis, masyarakat yang komunal, masih memegang teguh tradisi dan ajaran agama, maka kota sebaliknya. Oleh karena itu dalam makalah ini,penulis akan membahas mengenai desa dan kota perspektif al-Quran. Dengan ditulisnya makalah ini diharapkan mampu membuka wacana penulis khususnya dan pembaca pada umumnya mengenai konsep desa dan kota yang tertulis dalam al-Quran.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah korelasi antara desa, kota dan fenomena urban Sufism?
2.      Bagaimanakah konsep kota perspektif al-Quran?
3.      Bagaimanakah konsep desa perspektif al-Quran?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui korelasi antara desa, kota dan fenomena urban Sufism
2.      Untuk mengetahui konsep kota perspektif al-Quran
3.      Untuk mengetahui konsep desa perspektif al-Quran

Pembahasan
Istilah Urban Sufisme menjadi populer setelah Julie D. Howell tahun 2003, yang digunakan pada kajian antropologi tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Tentu saja, kajian Howell saat itu belum memasukkan fenomena Ustaz Haryono, Ustaz Arifin Ilham, dan Aa Gym, karena fenomena ketiganya muncul belakangan. Meski demikian, memperhatikan karakteristik spiritual yang melekat pada aktivitas ketiga ustaz di atas, tidak sulit ditegorikan sebagai urban Sufism. Berbeda dengan student sufism dan conventional/orthodox sufism, corak tasawuf yang berjenis urban sufism adalah jenis komunitas tasawuf yang memiliki karakter baru dan lazim terjadi di perkotaan. Mereka memiliki gaya hidup yang bertolak belakang dengan sufi-sufi yang secara umum sudah dikenal lebih tepatnya stereotyped oleh masyarakat. Sufi jenis ini memiliki apresiasi yang demikian tinggi terhadap teknologi dan modernitas. Apa yang mereka tampilkan dalam tingkah laku sehari-hari merupakan indikator.[4]
Mereka tidak lepas dari handphone, mengandarai mobil mewah, berkantor di kawasan pusat bisnis dan sering bertandang di hotel-hotel berbintang. Umumnya, para penempuh jalan sufitik baru ini adalah orang-orang terpelajar (mostly an educated people), berasal dari kalangan yang secara materi berkecukupan (the have nice life), dan para pekerja profesional. Keterlibatan mereka dalam dunia sufistik tidak banyak berpengaruh dalam sikap dan corak pergaulan yang selama ini menjadi tradisi para sufi. Mereka tidak melakukan pengasingan atau menutup diri dari komunitas umum masyarakat. Mereka masih berkomunikasi dengan dunia luar seperti sebelumnya. Bisa dipastikan hampir tidak ada batasan antara mereka yang “sufi” dan mereka yang “awam”. Bahkan tidak jarang para „sufi. baru ini menonton film, belanja ke mall-mall, aktif ke fitness center, main golf, bahkan berlibur ke luar negeri.[5]
Kaum Urban modernis ini juga prihatin terhadap reputasi tarekat yang etos sosialnya kurang menggembirakan (sikap setia terhadap shaykh tanpa kritik dan keharusan menjauhkan diri dari kehidupan sosial setelah baiat). Kelompok tarekat ini masuk dalam kelompok mistik heterodoks (golongan kebatinan) yang dalam bahasa Howell disebut agama baru yang sinkretik.[6]
Kelompok kelas menengah yang kemudian disebut urban Muslim middle class, adalah kelompok yang cukup menarik dibahas terutama di perkotaan. Kota yang dikatakan sebagai pusat perubahan sosial merupakan tempat yang cukup stategis bagi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi ataupun budaya terutama pada kalangan kelas menengah. Posisinya pada tingkat tengah menjadikan kelas ini sebagai penyambung antara kelas bawah dan kelas atas, karenanya kelas menengah ini juga bisa dikatakan sebagai kelas transisi. Pembahasan mengenai kelas menengah semakin menarik, karena tema ini diusung pada The Mark Plus Conference 2012 di Jakarta.[7]
Oleh Hermawan Kartajaya, founder dan president Mark Plus Inc., dijelaskan bahwa kelas menengah diprediksi tahun 2012 akan mengalami kebangkitan yang cukup dahsyat, yang berimplikasi perubahan perilaku pasar. Data IMF memproyeksikan dengan percepatan pertumbuhan ekonomi kelas menengah Indonesia yang luar biasa, pada tahun 2012 GDP Indonesia akan melampaui GDP Belanda. Karenanya bangkitnya kelas menengah otomatis berbanding lurus dengan peningkatan permintaan produk gaya hidup (life style), produk kecantikan, kesehatan dan juga tidak ketinggalan sektor wisata dan transportasi. Yang ini juga akan berdampak pada aneka produk kelas premium, termasuk properti kelas atas. Fenomena ini pada akhirnya menumbuhkan tema baru pada strategi marketing 2010 dengan pendekatan segmentasi youth, women, dan neizen. Pertumbuhan ini otomatis akan berdampak pada daya beli yang semakin baik terutama pada sektor perdagangan terutama pada kualitas kelas premium, termasuk properti kelas atas.[8]
Kelompok menengah middle class merupakan kelompok penghubung dan jembatan antara kelompok “up” dan kelompok “down”. Sehingga kelompok ini sangat fleksibel. Berdasarkan tesis tersebut, maka kelompok ini menjadi sasaran dan kajian yang sungguh menarik. Karenanya, suatu kultur atau budaya akan mudah terserap oleh kelompok ini yang kemudian mencerminkan sikap budaya. Kuntowijoyo menyebutkan adanya dua kemungkinan dengan sikap budaya yang muncul. Pertama, budaya elit. Pemilik tetap sebagai subjek budaya. Mereka mengalami proses pencerdasan dan tidak mengalami alienasi. Pemilik budaya elit seperti ini identitasnya tidak tenggelam dalam budaya. Kedua, budaya massa. Mereka mengalami objektifasi (hanya sebagai objek saja), alienasi, dan pembodohan. Pemilik budaya dalam kategori ini tidak sanggup berperan dalam pembentukan simbol budaya.[9]
Setidaknya ada lima hal yang melatarbelakangi maraknya praktek tasawuf di kalangan masyarakat perkotaan. Pertama, searching for meaningful life, upaya mencari makna hidup. Kedua, intellectual exercise and enrichment, untuk perdebatan dan peningkatan wawasan intelektual. Ketiga, psychological escape, spiritualitas yang diperuntukkan bagi upaya penyembuhan penyakit psikologis. Keempat, religious justification, sarana mengkuti trend dan perkembangan wacana. Kelima, economic interest, sikap eksploitatif terhadap agama demi kepentingan pribadi.[10]
Fenomena urban Sufism  terjadi pada masyarakat perkotaan. Kota lebih lekat dengan citra sebagai representasi dunia modern. Masyarakat kota adalah masyarakat yang individualis, industrialis, cenderung anti terhadap kepatuhan pada tradisi dan ajaran agama. Tuntutan-tuntutan untuk selalu menjadi yang terdepan dalan urusan ekonomi, politik, teknologi serta gaya hidup mengantarkan masyarakat kota pada posisi terdepan perjalanan paham modernisme. Keadaan yang demikian ini yang mengantarkan masyarakat kota menuju degradasi moral yang ujungnya adalah mengeringnya nilai-nilai spiritualitas. Masyarakat kota kemudian menjadi sekumpulan manusia yang limbung, kehilangan orientasi awal. Uang, teknologi, capaian politis dan seabrek kemewahan duniawi lainnya yang awalnya diekspektasikan bakal memberi kepastaian hidup nyatanya tidak mampu menghapus kegalauan psikologis. Pada titik yang demikian, mayarakat kota butuh sesuatu yang lebih dari sekedar agama dan Tuhan, melainkan sesuatu yang secara ‘instan’ dapat mengobati deraan galau psikologis yang mereka alami.[11]
Terma desa dan kota secara sosiologis tidak bisa dimaknai dalam ruang lingkup geografis semata. Dalam era postmodern seperti sekarang, batas antara desa dan kota ditinjau dari sudut pandang sosiologis sangat tipis. Dalam artian, budaya, tradisi dan pemikiran yang selama ini berkembang di kota banyak diadopsi sebagai tradisi, budaya dan pemikiran masyarakat desa. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang selama ini dimonopoli oleh desa juga perlahan mulai merambah di pedesaan. Jika dimaknai secara kaku, maka batas kota dan desa menjadi kabur dan tidak jelas. Oleh karena itu merujuk pada apa yang disampaikan Scot Norman, bahwa term rural dan urban atau city haruslah dipahami dalam lingkup pemikiran dan kebudayaan. Dengan demikian, bisa saja wilayah yang secara geografis tergolong pedesaan, namuan secara peradaban dan pemikiran sudah masuk dalam kategori urban (city) atau sebaliknya.[12]
Tasawuf, menjadi tidak hanya tumbuh subur di daerah-daerah pinggiran (rural) melainkan mulai berekspansi ke wilayah-wilayah perkotaan (city). Perjalanan tasawuf dari yang tadinya berada di wilayah rural menuju ke city ini tentu disertai latar belakang yang tidak sederhana.[13] Kemodernan dan peradaban menyebabkan banyaknya masyarakat rural yang melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Namun, setelah kebutuhan material telah terpenuhi justru hati dan jiwa mereka merasakan kekosongan. Maka merekapun akan mencari komunitas-komunitas dan kelompok spiritual yang dianggap mampu mengisi kekosongan jiwanya.[14] Disinilah letak korelasi antara ketiganya, dimana urban Sufism diperankan oleh mereka masyarakat perkotaan yang mayoritas sebelumnya adalah masyarakat rural yang erat dengan tarekat tradisional tepatnya pada akhir abad 20.[15]

A.    Konsep Kota dan Desa dalam al-Quran
1.      Konsep Kota dalam al-Quran
Kata “almadinah”[16]disebutkan sebanyak 14 kali dengan bentuk plural maupun tunggal, dan semuanya berbentuk “ma’rifah”.[17] Yaitu dalam surat al-A’raf ayat 123, at-Taubah 101 dan 120, Yusus 30, al-Hijr 67, al-Kahfi 19, dan 82, an-Naml 48, al-Qishas 15, 18, dan 20, al-Ahzab 60, Yasin 20, dan al-Munafikun 8. Bentuk “ma’rifah”[18] dalam term “madinah” menunjukkan bahwa lokasi yang disebut dalam al-Quran adalah sebuah lokasi yang jelas batas wilayahnya. Selan itu, sifat “ma’rifah” dalam term “madinah” menunjukkan bahwa telah jelas “madinah” identik dengan kemajuan, kemodernan, kemajuan, dan peradaban.[19] Hal ini sejalan dengan pendapat Julia Howell mengenai karakteristik masyarakat perkotaan yang pada akhirnya melahirkan konsep Urban Sufism.[20]
2.      Konsep Desa dalam al-Quran
Lafadz desa di zaman sekarang ini diartikan sebaga lawan dari kota. Desa identik  dengan kefakiran sedangkan kota identik dengan peradaban, kekayaan. Namun ada beberapa term desa dalam al-Quran yang tidak bisa dianalogikan dengan makna desa yang kita temukan pada zaman sekarang.[21]  
Dalam kamus bahasa arab, term “qoryah[22] berarti berkumpul atau perkumpulan. Dinamakan “qoryah” karena ada perkumpulan orang didalam suatu lokasi tertentu. Kata “qoryah” disebutkan sebanyak 29 kali, dimana semuanya adalah kata sifat dan tidak ada yang berbentuk kata kerja.  8 kata berbentuk “ma’rifah” dan 21 kata berbentuk “nakirah”.[23] Term “ma’rifah” digunakan jika “qoryah” yang dimaksud dalam al-Quran tersebut telah jelas lokasi dan batasan wilayahnya, sedangkan term dalam bentuk “nakirah” digunakan jika lokasi yang dimaksud adalah sebuah lokasi yang luas yang belum jelas batas wilayahnya. 
Term “qoryah” menunjukkan sifat manusiawi dari sisi manusia sebagai makluk hidup. Dimana sifat manusiawi yang ada dalam manusia ada yang terindra dan tidak terindra. Jika sifat manusiawi tersebut terindra maka akan bersifar “ma’rifah”, dan jika tidak terindra maka menggunakan sifat “nakirah”.[24] Hal ini tampak pada kisah Nabi Musa dalam surat al-Kahfi ayat 77 sebaga berikut:
فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ  قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا  [الكهف:77]
Meminta makan, menjamu tamu berhubungan sifat manusiawi oleh karena itu menggunakan “qoryah”. Sedangkan membangun tembok yang identik dengan peradaban menggunakan “madinah”.
Ada beberapa makna  yang terkandung dalam term “qoryah” secara bahasa antara lain:
دلالة
اية
رقم
Qurtubi: Tempat yang didalamnya ditempati banyak orang[25]
كَم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا فَجَاءهَا بَأْسُنَا بَيَاتاً أَوْ هُمْ قَآئِلُونَ [الأعراف:4]
1
Menurut tafsir Ibnu Katsir: Baitul Muqoddas[26]
وَإِذْ قِيلَ لَهُمُ اسْكُنُواْ هَـذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُواْ مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ وَقُولُواْ حِطَّةٌ وَادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئَاتِكُمْ سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ [الأعراف:161]
2
Menurut Thobari : Sudum atau Palestina
إِنَّا مُنزِلُونَ عَلَى أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ رِجْزاً مِّنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ [العنكبوت:34]

Menurut tafsir Ibnu Katsir: Makkah[27]
وَمَا لَكُمْ لاَ تُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللّهِ وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاء وَالْوِلْدَانِ الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَخْرِجْنَا مِنْ هَـذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ أَهْلُهَا وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ وَلِيّاً وَاجْعَل لَّنَا مِن لَّدُنكَ نَصِيراً [النساء:75]
3
Menurut Thobari : Ailah
انطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا[الكهف:77]
4
Tafsir Tobari: dihancurkannya masyarakat desa karena mengingkari utusan Allah yang dikirim kepada mereka[28]
وَكَمْ قَصَمْنَا مِن قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ [الأنبياء:11]
5
Tafsir Tobari: Baitul Muqoddas[29]
وَإِذْ قِيلَ لَهُمُ اسْكُنُوا هَٰذِهِ الْقَرْيَةَ وَكُلُوا مِنْهَا حَيْثُ شِئْتُمْ وَقُولُوا حِطَّةٌ وَادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا نَّغْفِرْ لَكُمْ خَطِيئَاتِكُمْ سَنَزِيدُ الْمُحْسِنِينَ [الأعراف: 161]
6
Tafsir Tobari: Sadum, qoryah kaum Nabi Luth[30]
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَىٰ قَالُوا إِنَّا مُهْلِكُو أَهْلِ هَٰذِهِ الْقَرْيَةِ إِنَّ أَهْلَهَا كَانُوا ظَالِمِينَ [العنكبوت:31]
7
Tafsir Tobari: peringata  bagi seluruh penduduk qoryah agar tidak berpaling dari ajaran Tuhan[31]
وإن من قرية إلا نحن مهلكوها قبل يوم القيامة ( {الإسراء:58}
8
Tafsir Tobari: peringatan kepada penduduk qoryah untuk tidak melawan aturan-Nya.[32]
 وكأين من قرية أمليت لها وهي ظالمة ثم أخذتها [الحج:48]
9
Qurtubi: kaum nabi Yunus[33]
فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ " (يونس : 98)
10
Menurut Thobari “qoryah” yang dimaksud adalah Mesir
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيْرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا  [يوسف : 82]
11
Ibn Katsir: mayoritas masyarakat “qoryah” tidak mengimani utusan-Nya.
مَا آمَنَتْ قَبْلَهُم مِّن قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَفَهُمْ يُؤْمِنُونَ [الأنبياء : 6]
12
Thobari: kaum Sulaiman mendustakan dakwahnya[34]
قَالَتْ إِنَّ الْمُلُوكَ إِذَا دَخَلُوا قَرْيَةً أَفْسَدُوهَا  [النمل : 34]
13
Tobari: penduduk yang melawan perintah Tuhan[35]
وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ [ الطلاق : 8]
14
Ibnu Katsir: Makkah[36]
 وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِّن قَرْيَتِكَ الَّتِي أَخْرَجَتْكَ [محمد : 13]
15
Menurut Qatadhah “qoryah” yang dimaksud adalah Antoqiyah
وإذ قلنا ادخلوا هذه القرية} (البقرة:58
16
Menurut Tobari “qoryah” yang dimaksud adalah Baitul Muqoddas
وإذ قيل لهم اسكنوا هذه القرية} (الأعراف:161
17
Ibn Abbas menyatakan bahwa “qoryah” yang dimaksud adalah Ailah teletak d ujung selatan Palestina
واسألهم عن القرية (الأعراف:163)
18
Menurut Thobari: Mesir
{واسأل القرية التي كنا فيها} (يوسف:82)
19
Nama sebuah kota
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ [هود:117]
20
Tobari: ‘adin dan tsamud[37]
وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِداً [الكهف:59]
21
Tobari: Makkah[38]
[ 112:النحل]  آمنة مطمئنةالله مثلا قرية كانت  وضرب

22
Qurtubi: Yaman[39]
لبقرة:58] ا]  القرية هذه ادخلو قلنا وإذ

23
Tobari: Baitul Muqoddas[40]
[161 : الأعراف]  القرية هذه اسكنوا لهم قيل وإذ

24
Qurtubi: representasi masyarakat yang bakhil[41]
[77: الكهف ] قرية أهل أتيا إذا حتى

25
Ibn Katsir: Makkah dan Thaif[42]
[31:الزخرف ]عظيم القريتين من رجل على القرآن هذا نزل
26

[ يس: 13 ] القريةاصحابمثلا لهم وضرب


Dari bagan diatas tampak bahwa kalimat “qoryah” dalam al-Quran mayoritas menunjukkan nama tempat dan juga sekumpulan penduduk yang menempati suatu wilayah geografis tertentu.



3.      Perdebatan Arti Desa dan Kota dalam al-Quran
Ada beberapa pendapat para ahli dalam memaknai arti kota dan desa secara istilah. Seperti halnya pendapat yang dinyatakan oleh Kholid Ibn Sulthon Ibn Abdul Aziz dalam buku Mausyu’ah Maqotil min Shohroi,[43] antara lain:
a)      Desa dan Kota mempunyai arti yang sama jika disebutkan berdampingan
Tidak ada perbedaan antara kedua term “qoryah” dan “madinah” jika dua kalimat ini bersandingan penyebutannya. Seperti yang tertulis dalam ayat dibawah ini:

وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلاً أَصْحابَ الْقَرْيَةِ إِذْ جاءَهَا الْمُرْسَلُونَ (يس:13)
Kemudian dalam surat yang sama pada ayat yang berbeda disebutkan term “madinah”
﴿ وَجاءَ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ رَجُلٌ يَسْعى ﴾(يس:20)
Dalil lain yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya adalah ayat berikut:
:﴿ فَانْطَلَقَا حَتَّى إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ ﴾، disebut Desa
ثم قال:﴿ وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ ﴾ qoryah kata hdisebutkan setela
Kota dan desa yang dimaksudkan dalam ayat tersebut menunjukkan satu lokasi yang sama. Hanya berbeda penyebutan dan masih dalam satu urutan qishoh.



b)      Desa dan Kota mempunyai arti yang berbeda
Desa dan Kota merupakan dua wilayah dengan karakteristik yang berbeda. “Madinah” merupakan identitas yang merepresentasikan kemajuan, kemodernan, dan kemajuan berfikir. Itulah sebabnya term “madinah” selalu bersifat “ma’rifah” dalam al-Quran. Sedangkan “qoryah” menunjukkan suatu lokasi dimana masyarakat menempati suatu wilayah geografis tertentu. Dan menunjukkan sifat-sifat humanism yang terindra dan tidak terindra. Oleh karena itu term “qoryah” mempunyai dua sifat kata yaitu “ma’rifah” dan “nakirah” . Seperti yang tertulis dalam ayat berikut:

فَانطَلَقَا حَتَّىٰ إِذَا أَتَيَا أَهْلَ قَرْيَةٍ اسْتَطْعَمَا أَهْلَهَا فَأَبَوْا أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ  قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرً [الكهف:77]
Meminta makan, menjamu tamu berhubungan sifat manusiawi oleh karena itu menggunakan “qoryah”. Sedangkan membangun tembok yang identik dengan peradaban menggunakan “madinah”.
Berbedaan karakter desa dan kota bisa dirinci sebagai berikut:
1)      Penduduk desa lebih sedikit disbanding penduduk kota
2)      “Qoryah” menunjukkan nama suatu lokasi geografis atau penduduk suatu lokasi tersebut secara keseluruhan. Yang menyebutkan penduduk antara lain terdapat dalam ayat:
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ [يوسف:85]
Sedangkan yang menunjukkan nama suatu lokasi terdapat dalam ayat berikut:
وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ هِيَ أَشَدُّ قُوَّةً مِّن قَرْيَتِكَ ﴾(محمد:13)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ ﴾(هود:117)
Dalam surat Hudd ayat 117, “quro” yang dimaksud adalah nama suatu kota.
3)      Perkembangan peradaban di desa lambat, tidak seperti peradaban yang ada di kota.
4)      Penduduk “qoryah” menjunjung tinggi nilai-nilai adat dan memiliki nilai kekerabatan yang tinggi.

c)      Term “qoryah” identik dengan kata dholim, fasikh, dan perilaku negative lainnya.
Hampir seluruh term “qoryah” yang terdapat dalam al-Quran selalu diikuti sifat negative seperti ingkar, membangkang, dholim, dan berbagai sifat negative lainnya. Hal ini tampak pada ayat-ayat berikut:
وَتِلْكَ الْقُرَى أَهْلَكْنَاهُمْ لَمَّا ظَلَمُوا وَجَعَلْنَا لِمَهْلِكِهِم مَّوْعِداً [الكهف:59]
وَكَأَيِّن مِّن قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ [ الطلاق : 8]
وَكَمْ قَصَمْنَا مِن قَرْيَةٍ كَانَتْ ظَالِمَةً وَأَنشَأْنَا بَعْدَهَا قَوْمًا آخَرِينَ [الأنبياء:11]
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ [هود:117]
            Dan setelah digambarkan sebagai masyarakat dengan berbagai sifat negative, maka adzab dan juga balasan dari Allah akan ditimpakan kepada penduduk “qoryah” tersebut. Kholid Ibn Sulthon Ibn Abdul Aziz[44] menyatakan bahwa term “qoryah” dalam al-Quran banyak mengisahkan kehidupan kaum nabi Luth, nabi Nuh, kaum yasin, desa syuaib yang terkenal dengan penduduknya yang penipu pada zaman kenabian dahulu. Telah banyak dikisahkan bagaimana perjuangan Nabi Luth, Nabi Nuh dan nabi lain dalam menyebarkan agama Allah. Karakteristik penduduk desa yang cenderung berpegang teguh pada ajaran nenek moyang dan sesepuh pada lokasi setempat menyebabkan mereka membangkang dari ajaran yang benar. Hingga pada akhirnya diturunkanlah adzab sebagai bentuk peringatan kepada kaum yang membangkang.

d)      Term “qoryah” pada zaman dahulu tidak sama dengan makna desa dimasa saat ini.
Hal ini sesuai dengan qaidah fiqh yang berbunyi:
الأمكنة و ا لأزمنةبتغير حكامالأتغير
“ Hukum bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman dan waktu”
Nampaknya tidak hanya hukum yang berubah mengikuti perkembangan zaman, bahkan terminology pun bisa berubah mengikuti kondisi saat ini. Desa seperti yang disebut dalam al-Quran baik secara geografis maupun karakterisrik tentu ditemukan berbagai perbedaan. Jika mayoritas ayat al-Quran menyebutkan sifat negative dari penduduk desa, hal ini disebabkan karena kondisi masyarakat pada zaman tersebut.
Sedangkan desa pada masa sekarang tentu jauh berbeda dengan kondisi pada masa lalu. Desa menurut Wijaja[45] diartikan sebagai suatu wilayah yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum pada batas-batas wilayah yang mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang dimana corak masyarakatnya ditandai dengan kebersamaan dan keramahtamahan. Selain itu bisa disimpulkan juga bahwa pedesaan adalah sebuah lingkungan yang khas memiliki otonomi dan kewenangan dalam mengatur kepentingan masyarakat yang memiliki kultur serta berbagai kearifan lokal yang khas serta lingkungan yang masih alami dan kondusif yang banyak berpengaruh terhadap karakter masyarakat di pedesaan.
Hidup penuh kebersamaan, dan gaya hidupnya yang berkelompok merupakan dua karakteristik yang khas bagi masyarakat “qoryah”. Baik dimasa lampau maupun pada zaman sekarang. Namun untuk sifat dari penduduk “qoryah” tidak bisa diartikan sama dengan sifat seperti yang ada dalam al-Quran.
Penyebutan kisah-kisah masyarakat “qoryah” dengan segala stereotip negative dan dengan segala akhlah madzmumah yang mereka miliki hendaknya menjadi “ibrah” atau pelajaran bagi masyarakat desa di zaman ini. Dengan karakternya yang solid dan menjunjung tinggi nilai kekerabatan dan ajaran leluhur, seyogyanya masyarakat desa tidak menolak segala hal pembaharuan yang dibawa oleh orang lain. Meskipun orang lain tersebut tidak berasal dari satu wilayah dan lingkungan yang sama. Jika memang pembaharuan tersebut memang benar adanya, maka perlu untuk dikaji dan ditelaah. Karena pada hakikatnya tidak ada kebenaran yang absolute. Ajaran-ajaran yang turun temurun pun belum tentu benar secara keseluruhan.






















Penutup
Pembahasan mengenai Urban Sufism tidak terlepas dari kehidupan desa dan kota. Fenomena Urban Sufism itu sendiri muncul dari realitas kehidupan masyarakat kota yang hidup dalam hedonism, kemodernan, namun kosong akan nilai-nilai spiritual. Pendudukan masyarakat kotapun bermacam-macam, namun mayoritas berasal dari masyarakat desa yang melakukan urbanisasi untuk memenuhi kebutuhan financial, pendidikan, dank arena factor lain.
Dalam pembahasan tafsir al-Quran, terdapat kesamaan karakter “madinah” dengan kota. Dimana keduanya merepresentasikan kehidupan dengan peradaban yang maju serta penduduknya yang modern. Sedangkan dalam pengertian “qoryah” terdapat beberapa kesamaan karakteristik dengan desa. Persamaan tersebut antara lain kekeluargaan, menjunjung nilai adat istiadat, dan jumlah penduduknya yang lebih sedikit. Namun dalam penyebutan sifat penduduknya perlu dikaji kembali. Penyebutan sifat masyarakat “qoryah” dalam al-Quran menggambarkan penduduk pada zaman dahulu tatkala mereka menerima ajaran baru dari orang lain diluar kelompoknya. Sehingga terjadi pembangkangan karena dianggap menentang ajaran leluhurnya. Hal ini tentu berbeda dengan sifat masyarakat desa pada zaman sekarang.
Kisah-kisah dalam al-Quran tersebut hendaknya menjadi “ibrah” atau pelajaran bagi masyarakat desa di zaman ini, agar tidak menjadi pembangkang dan senantiasa terbuka dengan hal-hal yang baru. Karena sesungguhnya fanatisme yang berlebohan justru akan menyebabkan perpecahan.







Daftar Pustaka
1). Buku

Faturahman, Oman. 2007. “Urban Sufisme: Perubahan dan Kesinambungan Ajaran Tasawuf” dalam Rizal Sukma dan Clara Juwono (e.d), Gerakan dan Pemikiran Islam Indonesia Kontemporer, Jakarta: CSIS.

Hidayat, Komaruddin. 2000. “Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern” dalam  Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Jakarta: Media Cipta.

Jamil, Muhsin. 2007. Agama-Agama Baru di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kuntowijoyo, 2004. “Budaya Elit dan Budaya Massa”, dalam Idi Subangun Ibrahim (ed.), Life Style Ecstacy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra.

M. Amin Abdullah, 2006. Islamic Studies Di Perguruan Tinggi: Paradigma Intregratif-Interkonektif Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Scot Norman, 1998. Rural and City: Sociological Perspective, London: Mc. Millan.

Widjaja, 2005. Otonomi Desa, cet-1, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

2) Internet

3) Makalah dan Artikel

Julia Day Howell, 2007. “Modernity and the Borderlands of Islamic Spirituality in Indonesia‟ New Sufi Networks”, dalam Martin van Bruinessen dan Julia D. Howell, Sufism and the Modern in Islam, London: I.B. Tauris.

---------------------,2001. “Indonesian‟s Urban Sufis: Challenging Stereotypes of Islamic Revival” (PDF 3.7Mb) dalam ISIM Newsletter (International Institute for thr study of Islam in the Modern World Newsletter 6.

--------------------, “Modernitas dan Spiritualitas Islam dalam Jaringan Baru Sufi Indonesia”, dalam Martin van Bruinessen dan Julia Day Howell, Urban Sufisme.

Kris Moerwanto, 12 Desember 2011.“Bangkitnya Kelas Menengah dan Perubahan Perilaku Pasar”, Jawa Pos.

Rahmanartya Aristo, 2010. Piritualitas Di Tengah Banalitas Kehidupan: Telaah Kritis Terhadap Trend Sufisme Di Kalangan Kaum Urban. Makalah. Jakarta.

Rofhani, 2013. Budaya Urban Muslim Kelas Menengah, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam Volume 3 Nomor 1 Juni 2013.





Untuk food note nya hubungi penulisnyaa makasihh

2 comments: