Friday 24 April 2015

Matur Suwon Nggeh Le...


Dia anak laki-laki satunya dikeluargaku, dan satu-satunya anak dari bapak dan ibu yang tidak menempuh pendidikan di pesantren. Bukan tanpa alasan, bisa dibilang dia tidak ke pesantren juga karena keegoisanku. Setelah menyelesaikan pendidikan di pesantren, aku memilih untuk menuntut ilmu diluar kota, begitupun kakak perempuanku bahkan hingga detik ini. Dan dia sendiri selalu bilang tidak mau di pesantren jika dirumah tidak ada yang menemani bapak dan ibu. Ia khawatir bapak dan ibu akan kesepian dirumah dan tidak ada yang membantu kesibukan bapak dan ibu dirumah. Biasanya ibu selalu bilang "ben enek sen dikongkon".

Kita bisa memanggilnya Dek David, tapi aku sendiri lebih nyaman memanggil dia "Le', panggilan yang membuatku lebih dekat dengan dia secara emosional. Dia memang lebih dekat atau lebih tepatnya lebih takut kepadaku dibanding dengan kakaku. Tak heran ketika adekku sedang bermain atau pulang telat ibuku selalu menyuruhku menelfon dia. Karena jika aku telfon dia akan langsung pulang. Biasanya selalu ada ancaman sih hehe.

KONSEP DESA DAN KOTA PERSPEKTIF AL-QURAN (URBAN SUFISM)


Pendahuluan
A.    Latar Belakang

Zaman modern dengan segala capaian budaya dan teknologinya sedikit banyak menyumbang andil pada keringnya dimensi spiritualitas manusia. Kepentingan ekonomi dan politik nyatanya benar-benar melemparkan manusia ke gurun nihilisme tanpa batas. Yang terjadi kemudian adalah munculnya krisis moralitas yang menjangkiti manusia modern. Parahnya, manusia seakan tidak lagi acuh akan rambu-rambu kehidupan. Segala adagium mengenai moralitas, etika dan tata nilai sosial telah lama diklaim sebagai hal yang anakronis, tidak lagi relevan dengan gaya hidup modern. Tidak mengherankan ketika pada akhirnya penyakit sosial masyarakat modern semakin hari kian akut. [1]
Di tengah keterjebakan manusia pada problematika-problematika sosial ternyata timbul keresahan pada diri manusia. Raibnya Tuhan dan agama dalam kehidupan menimbulkan ‘kerinduan’ tersendiri bagi masyarakat modern, terutama yang tinggal di perkotaan besar. Di satu sisi, banalitas, hedonisme dan nihilisme kehidupan yang sehari-hari dikecap kaum urban perkotaan tersebut merupakan ladang yang subur bagi tumbuhnya benih-benih spiritualitas keagamaan yang baru (new religious spirituality). Salah satu yang mengemuka kemudian adalah maraknya kemunculan sufisme urban (urban sufism) atau beberapa kalangan menyebutnya dengan sufisme kota. Fenomen ini menarik bukan hanya sebagai momentum bangkitnya kembali spirit agama di tengah kepungan westernisasi yang menggila. Lebih dari itu, kemunculan sufisme urban nyatanya telah menyapukan warna tersendiri bagi khazanah kebudayaan Islam.Terlepas dari kontroversi dan kritik yang turut mengiringi kemunculannya, sufisme urban telah menjadi ruang tersendiri bagi jiwa-jiwa yang rindu untuk mereguk nikmatnya dimensi-dimensi spiritualitas agama.[2]

Tentang Menteri Susi


Menteri Susi telah mengingatkanku pada seorang pemuda yang tinggal dikampung halamanku tepatnya di Pereng Desa Jarak Siman Ponorogo. Sebuah desa kecil, terpojok dan bersebelahan langsung dengan hutan kayu putih, + 1 KM dari lapangan tembak yang biasa digunakan untuk latihan menembak TNI AU yang ada di lanud Iswahyudi Madiun.
Namanya Mas Kitong, biasanya saya memanggilnya seperti itu. Hingga saat ini, akupun tidak mengetahui siapa nama aslinya. Dia pemuda tamatan SMP yang mungkin “agak” bandel ketika itu. Saat itu, mungkin aku masih duduk di bangku SD, yang aku ingat mas Kitong dulu suka naek motor yang di “preteli” kalau bahasa anak sekarang mungkin di modif, dan kalau naek motor suka di bleyer (saya nggak tahu bahasa Indonesianya bleyer). Intinya Mas Kitong yang aku kenal saat dia masih remaja dulu ya anak yang nakal, arogan, dan sangat tidak sopan. Namun semenjak dia merantau entah kemana, saya tidak pernah lagi mendengar tentang Mas Kitong.
2 tahun yang lalu, nyaris tidak percaya Mas Kitong bersilaturahmi kerumah dengan membawa anak dan istrinya mengendarai mobil avanza berwarna metalic. Selepas dia pulang Ibu dan Bapak cerita kurang lebih seperti ini:

MUSLIM MINORITAS DALAM FILM 99 CAHAYA DI LANGIT EROPA: PERSPEKTIF REPRESENTASI




 
Manusia dikenal sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Dikatakan makhluk sosial karena manusia sebagai individu saling membutuhkan dan saling berinteraksi dengan manusia atau individu lainnya. Oleh sebab itu manusia sebagai makhluk sosial sangat membutuhkan orang lain pada hidupnya untuk saling memberi, menolong, dan melengkapi satu sama lain.
Adapun pengertian interaksi sosial menurut Effendi[1] adalah berasal dari kata inter dan action. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antar individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Dalam hal ini berarti bahwa manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari hubungan dengan manusia lainnya. Interaksi juga berarti bahwa setiap manusia saling berkomunikasi dan mempengaruhi bisa dalam pikiran maupun tindakan.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat sosial, terutama sebagai warga Negara Indonesia yang hidup dengan lingkungan yang multi etnis, agama, ras, dan budaya dibutuhkan sikap toleransi. Toleransi terutama toleransi dalam beragama dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat yang damai. Kehidupan yang harmonis dalam bermasyarakat hanya akan menjadi sebatas wacana jika sikap toleransi tidak dipupuk sejak dini. Toleransi umat beragama sangat penting untuk menjaga kesatuan bangsa. Tujuan yang lebih luasnya  untuk menjaga perdamaian dunia.
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.