1.
Pendahuluan
a.
Latar Belakang
Tasawuf berkembang menjadi cabang ilmu keislaman tersendiri yang
menekankan penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya. Seluruh ibadah dalam Islam yang diatur di dalam syari’ah
bertujuan menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah. Kaum sufi tidak
hanya melakukan ibadah secara formal sesuai dengan ketentuan syariah, tetapi
juga berusaha menangkap rahasia syari’ah yang dapat membawa mereka lebih dekat
lagi kepada Allah, mereka memberi perhatian yang sangat besar terhadap kualitas
dan kuantitas terhadap ibadah formal itu dengan berbagai latihan yang telah
diatur sedemikian rupa agar kesucian jiwa dan kedekatan diri mereka kepada
Allah dapat mereka rasakan.
Filsafat yang mendasarinya menurut Harun Nasution adalah hakikat
berikut, pertama, Tuhan bersifat immateri, bukan fisiknya yang bersifat materi.
Kedua, Allah Mahasuci. Yang dapat diterima Tuhan untuk mendekati-Nya
adalah jiwa yang suci, dengan demikian manusia dapat mendekati Allah adalah
manusia yang jiwanya suci karena Allah Mahasuci[1]
Dalam akhlak tasawuf banyak tokoh-tokoh terkenal para ulama tasawuf
yang patut kitaketahui dan sangat menarik untuk kita bahas. Adapun dari
sekian banyak tokoh yang mungkin diantaranya adalah: Hasan al Basri, Rabiatul
Adawiyah, Zunnun al Misri, Ibnu Arabi, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj,
Nuruddin al Raniri, Hamka, dan ulama lainnya. Mayoritas sufi memang laki-laki,
namun dalam dunia tasawuf dikenal seorang sufi perempuan yang masyhur dengan
panngilan Rabiah al- Adawiyah.
Rabia’ah al- Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa
tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep
pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut atas
siksa ataupun mengharap surga-Nya. Sebagaimana syair “Ya Allah, jika aku
menyembah-Mu, karena takut pada neraka,maka bakarlah aku di dalam neraka. Dan
jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,campakkanlah aku dari dalam
surga. Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau, janganlah Engkau enggan
memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi kepadaku”.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabi’ah
adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu
penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu
para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat tasawuf adalah
Habbul-ilah ( mencinta Allah SWT).
Menurut riwayatnya Rabi’ah al-Adawiyah adalah seorang hamba yang
kemudian dibebaskan. Dalam hidup selanjutna ia beribadah, bertaubat, dan
menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kesederhanaan dan menolak segala bantuan
material yang diberikan orang kepadanya.
Dalam berbagai doa yang dipanjatkannya ia tak mau meminta hal-hal yang bersifat
materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam keadaan zuhuddan hanya ingin
berada dekat dengan Tuhan.[2]
Mengingat keberadaannya sebagai salah satu sosok sufi perempuan
yang terkenal diantara para sufi laki-laki, maka dalam makalah ini dibahas
mengenai Rabiah al-Adawiyah dan ajaran-ajaran tasawuf yang beliau sebarkan.
b.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah
biografi Rabiah al-Adawiyah?
2.
Bagaimanakah
ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah al-Adawiyah?
c.
Tujuan Pembahasan
1.
Untuk
mengetahui biografi Rabiah al-Adawiyah
2.
Untuk
mengetahui ajaran tasawuf yang dibawa oleh Rabiah al-Adawiyah
2.
Pembahasan
A.
Biografi Rabiah al-Adawiyah
Dalam sejarah Islam, wanita Sufi sudah menampakkan dirinya pada
periode sangat awal, dan dalam perkembangan evolusif penghargaan terhadap para
Sufi oleh orang-orang muslim, penghargaan terhadap kesucian diberikan sama
tingginya antara kaum perempuan dan kaum laki-laki. Sejauh pembahasan mengenai
“sahabat-sahabat Tuhan” ini dibicarakan, maka tidak akan ada perbedaan dalam
jenis kelamin tersebut.
Perkembangan Sufisme dalam Islam memberikan kesempatan luas pula
kepada kaum perempuan untuk mencapai gelar keSufian itu. Tujuan utama
pencapaian kaum Sufi adalah untuk dapat menyatu denga Yang Maha Suci, dan dalam
pencarian Tuhan itu, mereka telah meninggalkan keindahan dan daya tarik
gemerlapnya dunia, untuk dapat menyatu dengan Yang Esa. Dan keinginannya itu,
menggelora membakar api cintanya kepada Tuhan, secara terus-menerus, guna
mencapai tujuan paling akhir. Menggapai pencerahan dalam kehidupan, bersama
kegembiraan dan kegairahannya, dan perenungan kehidupan yang lebih tinggi. Hingga
akhirnya dapat mencapai makrifat dan menggapai bayang-bayang Tuhan, dimana sang
pecinta tersebut akan menjadi satu dengan Yang Dicintainya, dan kekal
bersama-Nya selamanya.
Konsep hubungan antara Sufi dengan Tuhannya tersebut tidak
memberikan ruang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan
spiritual “tidak memperdulikan laki-laki maupun perempuan.”[3]
Gelar keSufian ini akan dapat dicapai dengan mengikuti jalur Tuhan untuk
menyatu dengan-Nya. Dan bagi mereka yang mencapainya akan mendapat derajat
tinggi dalam kehidupan spiritualnya di dunia.
Tingginya kedudukan yang dapat diraih oleh para Sufi perempuan
dibuktikan oleh adanya kenyataan bahwa kaum Sufi itu ternyata memberikan
kedudukan utama bagi kaum perempuan. Para Sufi pada masa-masa awal telah
menjadikan kaum perempuan sebagai wakil yang representatif dari perkembangan
pertama Sufisme dalam Islam.[4]Tersebutlah
Rabiah, seorang Sufi perempuan yang suci, perempuan pembebas dari Al-Atiq suku
Qays bin ‘Adi. Terkenal dengan sebutan Al-Adawiyah atau Al-Qaysiyah atau juga
disebut Al-Bashriyah, tempat di mana ia dilahirkan.
1)
Masa Kecil Rabiah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al- Adwiyah
Al-Bashriyah Al- Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95H/ 713 M atau 99
H/ 717 M disuatu perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat dikota
bashrah pada tahun 185H/800M.[5]
Mengenai kelahirannya ada juga yang menyebut tahun 714 M. hal ini dikarenakan
sangat gelapnya kehidupan orang tuanya pada saat ia dilahirkan.[6] Dalam sumber lain disebutkan bahwa Siti Rabiah Al Adawiyah adalah
salah seorang perempuan sufi yang mengabdikan seluruh hidupnya
hanya untuk beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang alur kehidupannya tidak
seperti wanita pada umumnya, ia terisolasi dalam dunia mistisme jauh dari
hal-hal duniawi.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Khalkan saat mengutarakan
biografi Rabiah Adawiyah, bahwa namanya adalah Ummul Khair Rabiah binti Ismail
al-Adawiyah al-Basriyah al-Qisiyah. Ia merupakan symbol utama paradigma
kehidupan ruhani Islam pada kurun kedua hijriah.[7]
Sayangnya tidak ada seorang penulis pun, yang sangat dekat dengan
masa kehidupannya dan mengungkapkan tentang kisah awal kehidupannya sebagai
bahan, kecuali hanya karya Aththar yaitu Tadzkiratul Aulia (Memoir of
The Sains). Banyak dari apa yang ia kisahkan tersebut sebagai karya
legendaris asli. Memberikan gambaran-gambaran kenyataan sejarah. Paling tidak,
memberikan gambaran tentang kepribadian dan keagungan namanya.
Disaat malam datang, ditengah gelap gulita, tibalah saatnya sang
ibu melahirkan anak keempatnya.[8]Rabiah dilahirkan di tengah keluarga termiskin, peristiwa-peristiwa
ajaib tak jarang terjadi di masa kelahirannya. Aththar mengatakan bahwa pada
malam kelahirannya tidak terdapat minyak di dalam rumahnya, tidak juga
penerangan lainnya.[9]
Bahkan tidak terdapat kain bedung untuk membungkus bayi yang baru
lahir itu. Ayahnya telah memiliki tiga putri sebelumnya, dan oleh karena itulah
ia diberi nama Rabiah (artinya putri ke empat). Ibunya meminta agar ayahnya
mencari minyak kepada tetangganya untuk lampu penerangan itu, tetapi ia telah
berucap janji atau sumpah bahwa tidak akan meminta bantuan kepada sesama
manusia. Maka kembalilah ia tanpa membawa apa yang dibutuhkannya. Di saat ia
tertidur malam itu dalam keadaan tertekan karena tidak memiliki sesuatu pun di
saat kelahiran putrinya, ia bermimpi didatangi oleh Nabi Muhammad dan bersabda,
“ Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah
seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut oleh tujuh ribu ummatku.”
Kemudian Nabi bersabda lagi, “ Besok kirimkan surat kepada Isa
Zadzan, Amir kota Bashrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat
seratus kali untukku dan pada malam Jumat sebanyak empat ratus kali, tetapi
malam Jumat ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda
kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”[10]
Ayah Rabiah terbangun dan menangis; ia lalu bangkit dari tempat
tidurnya dan langsung menulis surat serta mengirimkannya kepada Amir melalui
pembawa surat pemimpin itu. Ketika Amir telah selesai membaca surat itu, ia
berkata: “ Berikan dua ribu dinar kepada orang miskin itu sebagai tanda
terimakasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar
kepada orangtua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia
menghadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidaklah tepat
bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku; akulah yang akan datang
kepadanya dan mengusap penderitaannya dengan jenggotnya.[11]
2)
Masa Remaja Rabiah al-Adawiyah
Meskipun telah terjadi peristiwa pertanda baik itu, Aththar
menceritakan kemalangan yang terjadi dalam keluarga ini. Pada saat Rabiah
menjelang dewasa, ayah dan ibunya meninggal. Jadilah ia seorang anak yatim
piatu. Kelaparan melanda Bashrah dan semua saudaranya terpencar berpisah. Suatu
hari, ketika ia sedang berjalan ke luar kota, ia berjumpa dengan seorang
laki-laki yang memiliki niat buruk, lalu menarik serta menjualnya sebagai seorang
budak seharga enam dirham kepada suatu keluarga yang berasal daru kaum Mawali
Al-Atik, yang masih ada hubungannya dengan Bani Adwa, dan nama lengkap yang
dipakainya adalah nama umum yang dipakai pada saat itu. Al-Atik berasal dari
suku Qais, dari sinilah ia dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah.[12] Dan laki-laki yang membelinya itu menjadikan rabiah budak yang
berkerja keras terus-menerus
Kehidupan hamba sahaya penuh dengan penderitaan yang selalu datang
silir berganti, kemampuan Rabi’ah untuk mengunakan alat musik dan menyanyi
dimanfaatkan oleh majikannya yang haus akan harta dunia. Rabi’ah sadar benar
akan darinya sebagai hamba sahaya dan diperas sedemikian rupa oleh majiannya,
membuat ia selalu meminta petunjuk dan bimbingan kepada Tuhan. Dipagi hari dan
dimalam hari adalah waktu untuk bermunajat kepada Tuhan. Rabi’ah yakin benar
bahwa ada suatu waktu pertolongan Tuhan akan datang dan Tuhan tidak akan
menyia-nyiakan hamba-nya yang selalu menderita dan mendekatkan diri kepada-Nya.[13]
3)
Masa Dewasa Rabiah al-Adawiyah
Dalam salah satu riwayat diakatakan,
dia adalah seorang hamba yang kemudian dibebaskan.[14]
Saat itu tuannya mendengar rintihannya dan doanya. Hal ini sangat
menyentuh hatinya hingga akhirnya ia pun memerdekakannya. Setelah merdeka,
kehidupan Rabi’ah tetap lurus dalam jalan dan petunjuk AllahSWT. Dengan
kebebasan yang diperolehnya, ia curahkan hidupnya di masjid-masjid dan
tempat-tempat pengajian agama. Ia kemudian menjalani kehidupan sufi dengan
beribadah dan merenungi hakikat hidup. Tidak ada sesuatupun yang memalingkan
hidupnya dari mengingat Allah.[15]
Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala
bantuan yang diberikan orang lain kepadanya. Bahkan didalam Doa’anya ia tidak
meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan. Ia betul-betul hidup dalam
kehidupan zuhd dan hanya ingin berada dekat pada Tuhan.
Menurut riwayat dari Imam Sya’rani,
pada suatu masa adalah seorang yang menyebut-nyebut azab siksa neraka dihadapan
Rabi’ah, maka pingsanlah beliau lantaran mendengar hal itu, pingsan didalam
menyebut-nyebut istighfaar memohon ampunan Tuhan. Tiba-tiba setelah
beliau siuman dari pingsannya dan sadar akan dirinya, beliaupun berkata “saya
mesti meminta ampun lagi dari pada cara meminta ampun saya yang pertama.”[16]
Kalau fajar tiba, dia tidur beberapa
saat sampai fajar lewat. Diriwayatkan pula bahwa setiap bangun tidur dia
berkata: “Duh jiwa! Berapa lama kamu tertidur dan sampai dimana kamu
tertidur, sehingga hampir saja kau tertidur tanpa bangkit lagi kecuali oleh
terompet hari kebangkitan!” demikianlah hal ini dilakukan setiap hari
hingga ia meninggal dunia.[17]
4)
Pernikahan Rabiah al-Adawiyah
Rabi’ah Al-dawiyah yang seumur
hidupnya tidak pernah menikah, Riwayat lain menyebutkan bahwa ia selalu menolak
lamaran-lamaran pria salih, termasuk lamaran Amir Abbasiyah dari basrah tahun
145 H, yang meninggal pada 172 H yakni Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi. Ia
mengajukan mahar perkawinan sebesar seratus ribu dinas dan menulis surat kepada
Rabiah bahwa ia memiliki gaji sebanyak sepuluh ribu dinar tiap bulan dan akan
diberikan semaunya kepada Rabiah.[18] Cara menolak lamaran Amir tersebut
dikatakan: “Seandainya engkau member warisan seluruh harta warisanmu, tidak
mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah padamu.”[19]
Selain Amir Abbasiyah dari Bashrah,
dikisahkan juga tentang seorang gubernur yang menulis surat kepada rakyat Bashrah
agar mencarikan seorang istri. Seluruh rakyat setuju pada Rabiah, dan ketika ia
mengajukan lamaran dijawab oleh Rabiah: penolakan terhadap dunia ini adalah
perdamaian, sedangkan nafsu terhadapnya akan membawa kesengsaraan. Kendalikan
nafsumu dan jangan biarkan orang lain mengendalikanmu. Bagimu, pikirkanlah hari
kematianmu, sedangkan bagiku, Allah dapat memberiku semua apa yang telah engkau
tawarkan itu dan bahkan berlipat ganda. Aku tidak suka dijauhkan dari Allah
walaupun hanya sesaat. Karenanya, selamat tinggal.[20]
Menurut kisah lain ada juga ulama besar
yang datang kepada Rabiah untuk melamarnya. Antara lain, Abdul Wahid bin Ziad,
Hasan al Basri (642 M/728M)[21], Malik bin Dinar (w. 748M)[22] dan Tsabit al-Banani. Mereka duduk
layaknya sebuah majlis, Hasan membuka pembicaraan dan membahas mengenai anjuran
Nabi untuk menikah. Saat itu Rabiah menyanggupi akan memilih satu diantara
mereka jika mereka mampu menjawab pertanyaan yang ia ajukan. Namun ketiganya
tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Akhirnya sejumlah ulama yang hadir
menangis, dan keluar dari rumah Rabiah denga penuh penyesalan.[23]
Karena semua pertanyaan yang Rabiah ajukan
hanya bisa dijawab oleh-Nya. Rabiah sadar bahwa dengan menerima tangan pria
lain dalam ikatan pernikahan, hanya akan membuat dia tidak adil terhadap suami
dan anak-anaknya, ia tidak mampu memberikan perhatian kepada mereka, karena
seluruh hatinya hanya untuk Allah semata. Rabiah tidak menikah bukan menikah
bukan semata-mata zuhud terhadap pernikahan itu sendiri, akan tetapi karena
memang ia zuhud terhadap kehidupan ia sendiri.[24]
Adapun pemikiran Rabiah mengenai pernikahan
yakni: “Akad nikah adalah bagi pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada
diriku hal itu tidak ada, karena aku telah berhenti maujud (ada) dan telah
lepas dari diriku. Aku maujud dalam Tuhan dan diriku sepenuhnya milik-Nya. Aku
hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah mesti diminta dari-Nya, bukan dariku”.[25]
5)
Akhir Hayat Rabiah al-Adawiyah
Rabi’ah mencapai usia kurang lebih 90 tahun, bukan semata-mata usia
yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di
sekelilingnya, suatu kehidupan yang menyebarkan bau wangi yang semerbak ke
daerah sekitarnya, bahkan sampai sekarang hikmah dari ajaran-ajarannya masih
dapat dirasakan.
Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya
Rabi’ah, baik mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Mayoritas ahli
sejarahnya meyakini tahun 185 H sebagai tahun wafatnya, sedangkan tempat
penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kotakelahirannya sebagai
tempat menguburkannya.[26]
B. Ajaran dan Tasawuf Rabiah
al-Adawiyah
1)
Tasawuf Mahabbah
Pada masa itu,
yang berkuasa di Basrah adalah Bani Umayyah. Hidup mewah mulai meracuni
masyarakat terutama di kalangan istana. Melihat kondisi demikian, kaum muslimin
yang saleh merasa berkewajiban untuk menyerukan pada masyarakat untuk hidup
zuhud, sederhana, saleh dan tidak tenggelam dalam kemewahan. Sejak saat itu,
kehidupan zuhud mulai menyebar luas di kalangan masyarakat.
Menurut at-Taftazani, karakteristik
asketisme (zuhud) islam pada abad pertama dan kedua hijriah adalah sebagai
berikut:
- Asketisisme ini didasarkan ide menjauhi hal-hal dunia demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka.
- Asketisisme ini bercorak praktis dan para pendirinya tidak menaruh pendirian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis atas asketisismenya itu.
- Motivasi asketisisme ini adalah rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan yang sungguh-sungguh.
Demikianlah
perkembangan tasawuf pada masa Rabi’ah al-Adawiyah yang sedikit banyak
mempengaruhi kehidupan sufi Rabi’ah al-Adawiyah.[27] Tingkat
zuhud yang tadinya direncanakan oleh Hasan al Basri, yaitu takut dan
pengharapan telah dinaikkan oleh Rabi’ah kepada zuhud karena cinta,[28] dalam
hal ini berarti bahwa tiada yang pantas kecuali Tuhan satu-satunya yang menjadi
objek kezuhudannya (cinta yang transenden).
Tokoh yang memperkenalkan ajaran mahabbah
ini adalah Rabiah al-Adawiyah. Baginya Tuhan
adalah zat yang dicintai dan rasa cintanya yang mendalam hanya kepada Tuhan. [29]Hal ini didasarkan pada ungkapan-ungkapan
yang menggambarkan bahwa ia menganut paham tersebut.[30]
Kata mahabbah berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara
harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.[31]Dalam mu’jam al-falsafi, jamil shabila
mengatakan Mahabbah adalah lawan dari
al-baghd, yakni cinta lawan dari
benci.[32] Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau
penyayang.[33] Mahabbah dapat pula berarti
suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah
tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak, yaitu cinta kepada Tuhan.[34]Makhluk
yang paling bahagia di akhirat adalah yang paling kuat cintanya kepada Allah
SWT, karena akhirat adalah mendatangi Allah SWT serta bertemu dengan-Nya.[35]
Selain itu al-mahabbah
dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan
tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual,
seperti cinta seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintanya, orang tua
pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya,
atau seorang pekerjaan kepada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya
dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sunguh dari seseorang untuk mencapai
tingkat rohaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang Mutlak, yaitu cinta
kepada Allah.
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan
untuk menunjukan pada suatu paham atau
aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada
Tuhan. Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut
Harun Nasution mengatakan, pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1. Memeluk kepatuhan pada
Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan
seluruh diri kepada yang dikasihi.
Sementara itu adapula pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah
adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik
dalam kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah merupakan
tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka
mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (Roh).[37]
Al-Hubb mengandung pengertian terpadunya
seluruh kecintaan hanya kepada Allah yang menyebabkan adanya rasa kebersamaan
dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya di isi oleh rasa cinta
dan rindu kepada Allah, rasa cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan
kesempurnaan Zat Allah, tanpa motivasi lain kecuali hanya kasih Allah.[38]
Konsep
cinta Rabi’ah Adawiah mengantarkan kita pada wacana baru bahwa ia tidak
memiliki kepentingan apapun dalam ketaatanya terhadap Allah. Ia tidak
berharap akan surga dan takut akan neraka, cinta yang suci murni itu lebih
tinggi dari pada takut dan pengharapan. Cinta yang suci murni tidaklah
mengharapkan apa-apa. ketaatan terhap Allah dilakukan semata-mata
karena Cintanya Terhadap Allah. Ini adalah suatu tingkatan spiritual yang
dianggap tingkatan tertinggi dalam tasawuf bagi orang –orang setelahnya.
Sebagian
dari kalangan orientalis seperti Nicholson[39]
menganggap bahwa urgensi Rabi’ah adalah kemampuanya dalam memberikan warna baru
dalam memberikan kezuhudannya Islam yang sebelumnya identik dengan ketakutan
sebagaimana zuhud dalam perspektif Hasan al Basri. Hal baru sebagaimana diterangkan
diatas bahwa Kosep “cinta” yang digunakan oleh manusia sebagai perantara
manusia untuk melihat keindahan Allah yang Azali. Bahkan Rabiah juga merupakan
sufi yang menembangkan lirik-lirik kecintaan terhadap Tuhan, baik melalui
syair-syair atau tulisan biasa.
Rabi’ah al- Adawiyah dalam perkembangan mistisisme dalam islam
tercacat sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Hal ini
karena generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam islam berdasarkan
rasa takut dan pengharapan kepada Allah. Rabiah pula yang pertama-tama
mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan
permintaan ganti dari Allah. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang
cinta dapat dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang
disandarkan kepadanya. Rabiah telah memperluas makna atau lingkup cinta ilahi.
Ia dulunya mencintai Allah karena mengharapkan surga-Nya, atau
takut neraka-Nya, sehingga ia selalu berdoa, “O, Tuhan, apakah Engkau akan
membakar hamba-Mu di neraka, yang hatinya terpaut pada-Mu, dan lidahnya selalu
menyebut-Mu, dan hamba yang selalu takwa padaMu?” Setelah menyadari, bahwa
cinta seperti itu adalah cinta yang amat sempit, ia meningkatkan dirinya,
sehingga ia luluh dalam cinta Ilahi. Ia mencintai Allah, karena Allah patut
dicintai, bukan karena takut neraka, atau mengharapkan surga-Nya. Dengan
pendiriannya itu ia ingin mengatakan bahwa ia tidak ingin menjadi “pekerja
wanita yang tidak baik”, seorang yang meninggalkan pekerjaan yang tidak baik,
lalu melakukan kebaikan dengan mengharapkan ganjaran, yaitu surga.[40]
Yang menjadi dambaan dan harapan Rabiah hanyalah memandang
wajah Allah yang Maha Agung dan Maha Mulia. Dan merasakan kebahagiaan dengan
berada di dekat-Nya pada hari berbangkit. Rabiah membayangkan andaikan surga
atau neraka, supaya dapat diketahui siapa hamba Allah yang hakiki, yaitu hamba
yang mengabdi pada-Nya dengan seikhlas-ikhlasnya, tanpa mengharapkan surga atau
takut pada siksa neraka. Agar dengan demikian dapat diketahui siapakah yang
menyembah Allah SWT, Karena Dia adalah Khalik yang mampu memberikan
kebahagiaan, tidak takut karena azab, atau mengharapkan ganjaran.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi
cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta
menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia
mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang
Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan
punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang
kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah
serta mengesampingkan yang lainnya dengan tanpa pamrih sama sekali. Ia harus
tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah
melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik
dari “hati yang telah dipenuhi oleh
rahmat-Nya”.
Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan
dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa
hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber
keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta
yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai
ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya
yang luas, dan sering tak terkendali tersebut.
Hendaklah manusia mencintai Allah, hingga
Allah SWT menjadi yang paling dicintai daripada yang lain. Bahkan tidak
mencintai sesuatu pun, kecuali cinta kepada-Nya. Adapun sebab terjadinya rasa
cinta terhadap sesuatu yang dicintai itu, adakalanya karena adanya kesempurnaan
yang mengagumkan atau karena mendapatkan perhatian khusus dari yang dicintainya
itu.[41]
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah
melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, cinta tentu saja bukan
tujuan, tetapi lebih dari itu cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan.
Sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan cinta itu
pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan
baiknya. Harapan yang lebih jauh dari cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan
lebih dekat dengan dirinya. Kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab
kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan cinta
itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
2)
Kisah dan Syair Rabiah al-Adawiyah
Rabiah tidak meninggalkan ajaran secara tertulis langsung dari
tangannya sendiri, melainkan ajarannya dikenal melalui para muridnya dan baru
ditulis beberapa lama setelah wafatnya.[42] Sepanjang perjalanan hidupnya, Rabiah telah banyak melahirkan
karya-karya berupa syair yang sangat melegenda. Beberapa kisah dan syair Rabiah
al-Adawiyah antara lain:
Diriwayatkan ada seorang pencuri pada suatu hari memasuki
rumahnya, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa di rumah Rabiah kecuali sebuah
kendi. Ketika pencuri itu hendak keluar, Rabiah menegurnya:
Rabiah: O jika engkau memang seorang
cerdas, maka engkau jangan keluar dengan tangan kosong.
Pencuri: aku tidak menemukan apa-apa.
Rabiah: Sayang sekali! Berwudhulah dengan
air kendi ini lalu masuklah ke kamar ini dan lakukanlah shalat sebanyak dua
rakaat. Engkau harus keluar membawa sesuatu.
Pencuri itu melakukan apa yang disuruh Rabiah padanya. Ketika ia sedang melaksanakan shalat, Rabiah menengadahkan kepalanya ke langit sambil bermohon.
“Ya Allah Tuhanku. Orang ini telah datang berkunjung ke rumahku, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari rumahku. Karena itu, janganlah Engkau biarkan ia pergi dengan tangan hampa, tanpa mendapat kurnia dan pahala dari-Mu.”
Pencuri itu melakukan apa yang disuruh Rabiah padanya. Ketika ia sedang melaksanakan shalat, Rabiah menengadahkan kepalanya ke langit sambil bermohon.
“Ya Allah Tuhanku. Orang ini telah datang berkunjung ke rumahku, tapi ia tidak mendapatkan apa-apa dari rumahku. Karena itu, janganlah Engkau biarkan ia pergi dengan tangan hampa, tanpa mendapat kurnia dan pahala dari-Mu.”
Setelah pencuri itu selesai
melaksanakan sholat, ia merasa amat berbahagia, karena hatinya terasa lega.
Oleh karena itu ia terus beribadah sampai larut malam. Pada waktu fajar, Rabiah
datang menemuinya sedang bersujud. Dalam sujudnya ia bermohon pada Allah,
memohon ampun dan menyesali perbuatan dirinya: Hai diri, bila Allah telah datang memanggil, Apakah engkau tidak
malu berbuat durhaka?
Dosa telah menutupi setiap kejadianku Aku datang penuh dosa Apa yang akan kukatakan pada-Nya Bilamana Dia mencelaku.[43]
Dosa telah menutupi setiap kejadianku Aku datang penuh dosa Apa yang akan kukatakan pada-Nya Bilamana Dia mencelaku.[43]
“Ya Allah, Ya Tuhanku, orang itu telah berdiri di depan pintu-Mu,
maka terimalah ia dan aku telah berdiri di depan-Mu memohon sudilah kiranya
Engkau mengabulkan permohonanku.” Sayup-sayup, terdengar seolah-olah
terdengar bisikan dalam hati Rabiah, “Kami telah menerima permohonanmu.”
Rabiah tidak menyembah atau mengabdi pada-Nya oleh karena pamrih.
Oleh karena itu, ia selalu berkata:
“Ya Allah, jadikanlah neraka tempat bagi orang-orang yang
membangkang, dan jadikanlah surga bagi orang-orang yang menaatiMu. Namun,
untukku cukuplah keridhaan-Mu saja.”
Pada suatu hari, seseorang bertanya kepada Rabiah, “Apa pendapatmu tentang
surga?” Rabiah menjawab “Yang penting tetangga dulu, baru rumah, atau
surga.”
Al-Attar meriwayatkan, bahwa Rabiah selalu menangis sehingga orang-orang
bertanya padanya:
“Mengapa engkau menangis,
apakah karena engkau menderita karena-Nya?” Rabiah menjawab, “Oh, nasib
penderitaan dan sakit yang aku derita tak seorang pun dokter akan mampu
mengobatinya. Mereka tak akan mampu menolongku menghilangkan derita ini,
kecuali jika harapanku telah terwujud di alam lain yaitu ketika aku melihat
wajah-Nya yang Maha Mulia.”[44]
Jika bukan karena surga atau neraka, untuk apa seseorang menyembah
Allah? Mengapa orang taat kepada-Nya? Kemudian hatinya yang bergelora dengan
cinta dan kerinduan berseru,:
“Ya Allah, jika aku menyembahmu karena takut pada neraka-Mu
bakarlah aku dengan api neraka-Mu. Dan jika aku menyembah-Mu karena
mengharapkan surga-Mu, maka haramkanlah surga-Mu untukku. Tapi jika aku
menyembah-Mu demi mencintai-Mu, maka limpahkanlah padaku ganjaran yang lebih
baik.[45]
Berikan aku kesempatan melihat wajah-Mu demi mencintai-Mu, Berikan aku
kesempatan melihat wajah-Mu yang Maha Agung dan Maha Mulia.”
Al-Kalabadzi meriwayatkan, sekelompok orang datang melihar Rabiah
untuk menanyakan kesehatannya. Mereka bertanya:
“Bagaimana keadaanmu? ” Rabiah menjawab, “Demi Allah, aku
tidak tahu penderitaan yang aku derita sekarang ini. Aku merasa seolah-olah
digoda oleh surga, sehingga hatiku hampir tertarik pada surga. Namun, aku
merasakan seolah-olah Tuhan mencela diriku”.[46]
Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat, Ra bi’ah
menyatakan doanya.
“Tuhanku,
akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka?” Tiba-tiba terdengar
suara, “Kami tidak akan melakukan itu.
Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami”.[47]
Berikut syair Rabiah al-Adawiyah:[48]
Aku mencintai-Mu dengan dua macam
Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau
layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan
mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak
dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini
atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam
ini atau itu.
Cinta dibaginya atas dua tingkat. Pertama cinta karena kerinduan.
Dirindui sebab Dia memang puncak segala keindahan, sehingga tidak ada lagi yang
lain yang jadi buah kenangannya dan buah tuturnya, melainkan Tuhan, Allah,
Rabbi. Yang kedua yaitu keinginan dibukakan baginya hijab, selubung, yang
membatas di antara dirinya dengan Dia. Itulah tujuannya, yaitu melihat Dia
(musyahadah)[49]
Karena seluruh lorong hatinya telah dipenuhi cinta Ilahi, maka tidak ada lagi
tempat yang kosong buat mencintai, bahkan juga buat membenci orang lain.[50]
Sebuah contoh
menceritakan tentang cahaya dengan kerinduan hati yang terbakar semata-mata
ditempati oleh ketakutan kehilangan Allah, tampak dalam dialog sebagai berikut.
Ia ditanya:
“Apakah Anda cinta setan, wahai
Rabi’ah, ataukah membencinya?”
Dijawab Rabi’ah, “Cintaku yang
begitu besar kepada Allah, sepenuhnya melarangku untuk membenci setan”
Para penanya masih memaksanya, dan
terus mengajukan pertanyaan:
“Apakah Anda cinta Nabi dan
kedamaian atas beliau?”
Dan Rabi’ah menjawab, “Demi
Allah, aku sangat mencintainya. Tetapi cintaku kepada Sang Pencipta telah
terisi penuh dan mencegahku dari cinta terhadap makhluk.”
Kata-kata ini
tidak pernah dimaksudkan sebagai ketidakimanan terhadap Nabi. Jawaban itu
dimaksudkan bahwa tidak ada ruang yang tersisa dalam hatinya untuk mencintai
sesuatu dengan tulus kecuali Allah. Dalam bukunya The Rainks Of The Saints,
al-Manawi berkata:
“Dalam doa-doanya, Rabi’ah
menyerahkan dirinya seribu kali siang dan malam dan ketika ditanya,
“Apakah yang Anda cari dengan
semua ini?” Ia menjawab, ‘Aku tidak mencari pengajaran. Aku mengerjakan
semuanya barangkali Allah dan Nabi berkenan, dan menyampaikan kabar kepada
Nabi-nabi lainnya, ‘Lihat, ada seorang perempuan dari ummatku dan inilah
karyanya’.”
Oleh karena itu, Rabi’ah ingin
mencintai Nabi, damai bersamanya, ia berharap semua perempuan merasa dimuliakan
dengan apa yang dilakukannya. Ia mencintai Nabi dan berharap berjumpa dengan
beliau pada Hari Pembalasan.[51]
3.
Penutup
Dapat
disimpulkan bahwa Rabi’ah al-Adawiyah, pada abad ke II Hijrah telah merintis
konsep zuhud dalam tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi ia tidak
hanya berbicara tentang cinta Ilahi, namun juga menguraikan ajaran tasawuf yang
lain, seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, dan
sebagainya. Dia adalah sosok wanita yang sitimewa karena namanya senantiasa
tertulis bersama dengan jajaran nama-nama sufi lainnya. Dia mampu menjaga
hatinya untuk tetap istiqomah dalam menjaga hatinya untuk mencintai Allah hingga
akhir hayatnya.
Tidak
ditemukan tulisan, lukisan, maupun coretan Rabi’ah yang dapat dianggap sebagai
ekspresi keagamaan Rabi’ah. Bahkan ide tasawuf yang dikembangkannya, mahabbah,
yang dikenal hingga sekarang baru ditulis beberapa muridnya beberapa saat
setelah ia wafat. Meski demikian, dua macam ekspresi verbal dan motoris yang
dilakukan oleh Rabi’ah al-Adawiyah telah cukup melukiskan ekspresi keagamannya.
Daftar Pustaka
Abu Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Tasawuf Islam Telaah Historis
dan Perkembangannya, 2008, Jakarta:Gaya Media Pratama: Jakarta.
Abuddin Nata,, Akhlak Tasawuf, 2011,
Jakarta:
Rajawali Pers.
Al-Kalabadzi , At-Ta’aruf
Li-Mazdhab Ahli-T-Tasawuf, Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.
Asep Usman
Ismail, dkk, Tasawuf, 2005, Jakarta: Pusat Studi Wanita.
Al-Ghazali, Anhafa-S-Sadati-Muttaqin, Mesir: Al-Maṭbaʿ
Al-Maymanya.
Widad El
Sakkakini,
Pergulatan Hidup Perempuan Suci Rabi’ah al-Adawiyah, 1999,
Surabaya: Risalah Gusti.
Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh
Sufi Teladan Kehidupan yang Soleh, 2001, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Asmaran,
“Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, 2002, Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada.
Aththar, Tadzkirat
al-Aula I, Mesir:Al-Ma’arif,t.t.
Azyumardi Azra, ”Ensiklopedia Tasawuf”, 2008, Bandung:
Angkasa.
Farid As-Sin Al-Arththar, Muslim Saints And Mystics, 1979, terj. A.J Arberry, Routledge dan Kegal
Paul.
Fudoli Zaini, Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya,
2000, Surabaya: Risalah Gusti
Hamka, “Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya”, 1994, Jakarta: PT Pustaka Panjimas.
Harun Nasution, Falsafah Dan
Mistisisme Dalam Islam, cet. III,1983,
Jakarta: Bulan Bintang.
-------------------,Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniannya, cet, XII, 1986, Jakarta:Panji Mas.
-------------------,
Ensiklopedi Islam Indonesia,
1992. Jakarta: Djambatan.
Imam Ghazali, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin Upaya Menghidupkan Ilmu
Agama, 2004, Surabaya: Bintang Usaha Jaya Surabaya.
Jamil Shabila,
Al-Mu’jam Al-Falsafy, jilid II, 1978, Mesir: Dar al-Kitab.
Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, 1990, Jakarta: Hidakarya.
Margaret
Smith, Rabiah: Pergulatan Spiritual Perempuan. 1997. Penerjemah Jamilah
Baraja, Surabaya: Risalah Gusti.
-----------------------
Mistisisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhannya.
Penerjemah: Amroeni Dradjat, 2007. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Muhammad Atiyah Khamis, Rabiah Al-Adawiyah: Penyair Wanita Sufi,
terjem. Aliudin Mahjudin, 1991, Pustaka Firdaus: Jakarta.
Rivay Siregar, Tasawuf
dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, 2002, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudirman,
Tebba, Tasawuf
Positif, 2003, Bogor: Kencana 2003.
Sayid Abdullah, Titian Menuju Akhirat, 2005, Surabaya:
Amelia Surabaya.
Sururin, Rabiah Al-Adawiyah Hubb Al-Ilahi, 2002, Jakarta:Raja
Grafindo Persada.
Suryadilaga, al-Fatih, Miftahus Sufi. 2008. Yogyakarta:
Teras.
Syahrin Harahap, dkk, “Ensiklopedi Aqidah Islam”, 2003, Jakarta:Kencana.
Syed Ahmad
Semait, 100 Tokoh Wanita Terbilang, (Singapore: Pustaka Nasional Pte
Ltd, 1993
Alhamdulillah sangat membantu sekali, terimakasih atas ilmunya
ReplyDelete