Monday 15 June 2015

Resensi

  
 Judul : Dialog Tasawuf Kiai Said; Akidah, Tasawuf & Relasi Antarumat Beragama
Oleh   : KH. Said Aqil Siroj
Tebal  : 152 hal
Ukuran: 14,5 x 21 cm
Penerbit : Khalista Surabaya


Buku ini berisikan Tanya jawab  atau dialog dengan tentang sebuah tema yang merefleksikan kehidupan beragama bagi masyarakat Indonesia dengan menggunakan pendekatan sufistik. Terdapat 3 (tiga) bagian besar yang pada tiap-tiap bagian terdapat sub bab yang berkaitan dengan 3 tema atau bagian besar tersebut. Bagian pertama membahas mengenai Aqidah, bagian kedua membahas mengenai Tasawuf, dan bagian ketiga membahas mengenai Antar Umat Beragama.
Masyarakat modern yang bersifat totaliteristik (ingin menguasai semua aspek kehidupan), eksploris, dan hanya percaya kepada rumus-rumus empiris saja, serta sikap hidup positivistis yang hanya berdasar kemampuan akal, pada gilirannya akan menjadi penyebab kerusakan di muka bumi. Dalam ranah ini, tasawuf sebagai wujud ihsan dalam risalah yang dibawa Rasulullah SAW memainkan perannya menjadi problem solving untuk menghadapi berbagai problematika kehidupan.

Dalam kesempatan ini, akan dibahas tema ketiga yaitu Antar Umat Beragama. Dalam bagian ini terdapat 6 (enam) sub bab yaitu:
1.      Persinggungan Agama-agama samawi
Dalam sub tema ini Kiai Said mejawab pertanyaan mengenai esensi pluralism Gus Dur dan sikap atas keberagaman agama yang ada dalam masyarakat majemuk Indonesia. Beliau mengawali ulasannya dengan memberikan penjelasan mengenai kesamaan misi semua agama samawi. Dan menekankan bahwa meskipun kesemuanya mempunyai misi yang baik untuk memperbaiki kondisi masyarakat saat itu, namun agama tersebut (Yahudi, Kristen) hanya relevan di zamannya saja.
Antar satu agama dengan agama yang lain hadir untuk saling melengkapi agama sebelumnya yang disebabkan oleh munculnya proses degradasi pada tiap-tiap agama. Sedangkan agama samawi terakhir adalah agama Islam yang tentunya menjadi penyempurna agama terdahulu.
Dalam konteks ke –Indonesiaan, yang hidup pada masyarakat majemuk yang plural, hal yang perlu ditanamkan oleh semua warga Negara Indonesia adalah pentingnya semangat nasionalisme, religiusitas, pluralisme, dan humanisme. Tidak hanya berpegang pada teks yang kaku tanpa melakukan penyesuaian dengan konteks kekinian. Dengan kembali kepada keotentikan dan keteladanan sejarah seperti yang telah dirumuskan oleh pendahulu, maka pewujudan masyarakat kebhinekaan tidak akan lagi menjadi kendala yang berarti.
2.      Tuhan Semua Agama Sama?
Pembahasan pada sub bab ini berawal dari penafsiran surat al-Anbiya 22 yang artinya: “ Andai di langit dan di bumi ada Tuhan-Tuhan selain Allah, maka keduanya akan binasa” yang secara ekplisit berarti apapun bentuk dan nama agama, sesungguhnya yang disembah hanyalah Tuhan yang Esa.
Kiai Said mengawali jawabannya dengan mengutip surat al-Ikhlas ayat 1-4 yang berisi pengakuan atas kemutlakan Tuhan Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya. Dan surat al-Baqarah ayat 255 yang menegaskan keesaan Allah. Sejatinya, tidak pernah ditemui teks agama yang menyatakan gugatan islam terhadap kedua agama samawi. Karena ketiga agama tersebut sama-sama lahir sebagai otoritas Tuhan. Islam hanya membangun teks teologi yang menekankan keesaan Tuhan.
Beliau setuju dengan pernyataan yang menyatakan kemungkinan Tuhan yang disembah agama lain tak lain adalah Allah. Namun beliau tidak sepakat dengan generalisasi peribadatan, karena setiap agama mempunyai keistimewaan masing-masing. Pemahaman semua agama sama hanya bias diterima jika disertai sebuah keyakinan bahwa Islam merupakan konsep beragama yang mutakhir. Diakhir pembahasan beliau kembali menekankan bahwa Islam menawarkan sebuah konsep Ketuhanan, yang merupakan akhir dari formulasi teologi yang mesti dianut.
3.      Mengelola Keberagaman Agama
Pembahasan ini diawali dengan pertanyaan mengenai konflik antara agama beserta solusinya.
Diawal pembahasan Kiai Said memberikan contoh betapa sikap toleransi telah terbentuk pada zaman dahulu. Bagaimana raja Negus yang notabene nashrani menjadi penolong muslim saat sedang dikejar Quroisy. Dan sikap nabi Muhammad yang tidak segan mengajak non muslim untuk berdiskusi. Kiai Said menegaskan bahwa seluruh agama mempunyai misi yang sama untuk menjaga perdamaian dunia.
Terjadinya konflik khusunya di Indonesia saat ini tak lain bersumber dari tendensi politik dan ekonomi yang sama sekali tidak berkorelasi dengan teologi. Selain itu, factor internal dari diri umat beragama juga sebagai penyebab terjadinya intoleransi.
Harusnya seluruh umat beragama di Indonesia lebih berhati-hati dalam memfilter tendensi politik yang menunggangi kepentingan agama agar tak lagi terjadi konflik antar agama.
Membangun masyarakat Indonesia yang damai harus dibarengi dengan jiwa nasionalisme. Karena seyogyanya, terbentuknya Negara Indonesia berhubungan dengan pemberian kepercayaan Tuhan kepada manusia untuk mengelola alam disekitarnya. Mengkhianati negeri berarti mengkhianati amanah Tuhan
4.      Toleran terhadap Umat Lain
Pembahasan diawali dengan pertanyaan tentang perbedaan tasamuh, tawasuth, ta’adul dan tazawun dan korelasinya terhadap toleransi.
Kiai Said memberikan deskripsi dan juga contoh untuk term tersebut. Tawasuth adalah mendahulukan naql daripada aql, tawazun adalah keseimbangan dalam mencari hokum yang relevan dengan situasi dan kondisi, ta’adul adalah proporsional dalam  mengambil dan meletakkan pengaruh dari berbagai pihak. Sedangkan tasamuh berarti toleransi. Kiai Said menekankan sekali lagi bahwa konflik antara Islam dan Kristen sama sekali tidak berhubungan dengan factor teologi, namun lebih karena factor politik. Pernyataan ini didukung dengan peristiwa di Mesir pada abad ke-4 dimana hubungan antara keduanya berjakan dengan baik. Dan peristiwa penghormatan Nabi ketika jenazah orang Yahudi lewat.
Agama bukan hanya seremonial belaka, musuh manusia bukanlah mereka yang jauh disana, namun hawa nafsu manusia sendiri. Karena banyak kita jumpai seseorang yang karena ingin memenuhi keinginan hawa nafsunya, menggunakan topeng agama. Tuhan hendaknya hadir disetiap langkah yang diperbuat manusia, bukanya hanya diletakkan ketika pengucapan sumpah jabatan dan perjanjian, namun pada praktinya esensi Tuhan telah terbuang.
5.      Memaknai Jihad dengan Benar
Pembahasan ini berangkat dari sebuah pertanyaan atas realitas banyaknya peperangan dan kekacauan yang diatas namakan jihad fi sabilillah.
Kiai Said menjawab pertanyaan ini dengan terlebih dahulu memberikan pemaknaan jihadoleh para ulama terdahulu. Dan juga macam-macam jihad yang banyak tidak diketahui oleh muslim itu sendiri. Penyalahgunaan makna jihad diakibatkan karena pemahaman yang parsial dan kerancauan tafsir atas sebuah sumber.
Beliau juga menjabarkan makna jihad yang pernah dijabarkan oleh Rais Akbar PBNU tahun 1945 tentang resolusi jihad dalam upaya memerangi sekutu Inggris. Jihad yang tidak hanya bertujuan untuk membela agama saja, namun juga untuk membela tanah air. Jihad adalah mengeluarkan usaha fisik untuk mengimplementasikan pesan Allah. Sedangkan perang hanyalah salah satu metode jihad yang hanya boleh dilakukan jika sesuai dengan tuntunan syar’i.
Dalam kontek keindonesiaan, jihad diperbolehkan jika bertujuan untuk mendorong umat Islam bekerja keras, membangun eros kerja, dan menumbuhkan jiwa kepedulian antar sesama. Bukan untuk meminggirkan elemen non-muslim dengan tujuan ingin mendirikan agama Islam.


No comments:

Post a Comment