Wednesday 6 May 2015

Ajaran Pokok Tasawuf : Maqaamat dan Ahwal


Ajaran Pokok Tasawuf : Maqaamat dan Ahwal
1.      Pendahuluan
A.    Latar Belakang
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun  pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.[1]
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh.

Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan kedekatan antara sufi( manusia) dangan Allah. Dalam Al-Qur,an terdapat beberapa ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah,antara lain bahwa Allah itu dekat dengan manusia (Q.S. Al Baqarah:186) dan bahwa Allah lebih dekat kepada manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri(Q.S Al-Qaf:69)[2].
Tasawuf merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah laku nafsu dan sifat-sifatnya, yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam, di mana secara filsafat tasawuf itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.[3]
Pembahasan menganai tasawuf tidak bias dipisahkan dengan pembahasan mengenai tingkatan spiritual. Yaitu proses yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai derajat sufi. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Oleh karena itu, mengingat akan pentingnya mengetahui dan mempelajari proses panjang yang harus dilalui oleh seorang sufi tersebut, penulis akan menjabarkan mengenai “Ajaran Pokok Tasawuf: Maqaamat dan Ahwal” sebelum membahas mengenai ajaran tasawuf yang lebih mendalam lagi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Maqaamat dalam ajaran pokok tasawuf?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Ahwal dalam ajaran pokok tasawuf?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui Maqaamat dalam ajaran pokok tasawuf
2.      Untuk mengetahui Ahwal dalam ajaran pokok tasawuf.


2.      Pembahasan
A.    Tinjauan Umum mengenai Maqaamat dalam Ajaran Pokok Tasawuf
1)      Pengertian Maqaamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu. Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam sebelumnya.[4]
Dalam literature lain disebutkan bahwa maqamat merupakan bentuk jama’ dari kata maqam yang artinya station ( tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali berkata “Maqam adalah beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya. Jika seorang hamba tersebut menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqamnya hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi.[5]
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran dan Hadits. “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”[6]
Maqam didapatkan melalui upaya mujahaddah dan riyadhah.Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan beramal secara terus – menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu. Untuk memahami pengertian mengenai maqaamat silahkan perhatikan smart art  berikut[7]:


Untuk mencapai derajat sufi, maka seseorang harus melewati beberapa tingkatan kerohanian dalam maqaamat seperti yang terdapat dalam gambar diatas.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sementara itu Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridla. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah, al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[8]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan  al-ridla.[9]

2)      Maqaamat-Maqaamat dalam Tasawuf
a.       Zuhud
Secara etimologis zuhud berasal dari kata   ز هد- ز هدا   yang berarti tidak tertarik.و زهد فى شئ او عنه : ر غب عنه  berarti meninggalkan dan tidak menyukai sesuatu. Sedangkan زا هد  jama’nya ز هّا د  diartikan orang yang tidak suka kepada dunia (zahid).[10] Zuhud juga berarti ر غب  عن شئ وتركه, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. ز هد فى الد نيا, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah.[11]
Ensiklopedi Islam Indonesia, menjelaskan bahwa zuhud terhadap sesuatu berarti tidak mencintainya, tidak tertarik atau tidak terpikat olehnya. Zuhud terhadap dunia berarti tidak mencintai dunia, tidak tertarik, tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.[12]
Sedangkan dalam bahasa Inggris istilah zuhud digunakan kata Asketisme yaitu : “Ascetism. This is renunciation of all things connected to this world. It is a useful approach in the early stages of the spiritual path, but not desireable for the one who strives for perfection. Such ascetism implies means through which man gains knowledge of Allah”.[13] Asketisme yaitu sikap meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia. Zuhud merupakan pendekatan yang berguna dalam tingkat awal perjalanan spiritual bagi orang-orang yang berjuan untuk memperoleh kesempurnaan. Dengan demikian implikasi dari zuhud berarti meninggalkan hal-hal yang dapat menghambat perjuangan untuk berma’rifat kepada  Allah).
Secara terminologis, ada dua hal tentang pengertian zuhud ini. Pertama, zuhud yang tidak bisa lepas dari tasawuf, yang biasa disebut salah satu maqam atau stasion[14].dalam mendekatkan diri kepada Allah  (marifatullah). Dan yang kedua, zuhud diartikan sebagai gerakan protes dan moral Islam.  Zuhud sebagai salah satu dari maqam, apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan berkomnunikasi langsung antara hamba dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan. zuhud merupakan salah satu maqam menuju tercapainya ma’rifat kepada-Nya.[15]
Sebagai maqam, zuhud menurut Ibnu Jalla merupakan sikap anda memandang dunia ini hina di mata anda, maka berpaling darinya akan menjadi mudah bagi diri anda.[16] Definisi yang sama diberikan oleh Abu Sulaiman ad-Darany, “zuhud berarti menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan diri anda dari Allah SWT”.[17] Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, zuhud pada hakikatnya ialah tidak menyukai harta dan menghindarinya.[18] Sejalan dengan itu, Harun Nasution menjelaskan bahwa zuhud merupakan keadaan meninggalkan dunia dan menjauhi  hidup kematerian.[19]
Dengan demikian pengertian zuhud sebagai maqam dalam tasawuf diartikan bahwa dunia menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan Tuhan, sehingga bisa dikatakan ketika orang melakukan zuhud harus berusaha untuk membenci dan meninggalkan hidup kematerian dengan tidak mengutamakan duniawi.
Sedangkan zuhud sebagai moral Islam,  Abu al-Wafa al-Taftazani menegaskan bahwa  zuhud (asketisme) bukanlah kependetaan atau terputusnya  kehidupan duniawi. Akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pemahaman khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan kalbu mereka serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[20]
b.      At-Taubah
Kata Taubat dalam bahasa arab adalah merupakan mashdar dari dari kalimat “taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali.[21] Sejalan dengan pengertian secara bahasa, taubat menuArut Al-Ghazali sebagaimana disebutkan dalam bukunya Zainul Bahri “Taubat adalah kembali dari jalan yang menjauhkan diri dari Allah yang mendekatkan diri kepada syetan. Selanjutnya, lebih rinci lagi Al-Junaid menyebutkan bahwa taubat itu memiliki tiga makna ; pertama, menyesali kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali kepada apa yang telah dilarang Allah, dan ketiga, menyelesaikan atau membela orang yang teraniaya.[22]
Al-Ghazali sebagaimana tersebut dalam buku “Ilmu Tasawuf” karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, mengklasifikasikan taubat kepada tiga tingkatan :[23]
  1. Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada perintah Allah.
  2. Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
  3. rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan mengulanginya lagi.
Ada beberapa syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
  1. Harus menghentikan maksiat.
  2. Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
  3. Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali. Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu :
  4. Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya.[24]
c.       Al-Wara
Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’ dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati nurani.[25]
Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat).[26] Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian, pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain. Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu m,eningglkan segala segala sesuatu yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.[27]
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi muhammad saw artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauihi sesuatu yang tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “: Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah"
Lebih lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah, sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu dihatinya kecuali Allah.[28] Apa yang dilakukan oleh para sufi dengan wara’, pada dasarnya adalah merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam Qs. Al Mudastir: 1-3:
Artinya: “Hai orang yang berkemul (berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu agungkanlah!”
Al Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit, namun wara’ secara harfiyah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak celaka, banyak diajarkan oleh Al Qur’an, sebagaimana ayat diatas. Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin menyebut ayat diatas sebagai perintah untuk wara’ dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan: ”janganlah kamu busanai dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”.[29]
Menurut Imam Ghazali, sikap wara’ adalah sikap seseorang terhadap perkara-perkara yang halal dan yang haram, seperti yang telah digariskan dalam syariah. Terhadap perkara ini ada empat golongan orang wara’. Wara’ orang awam adalah wara’ terhadap larangan agama atau oleh fatwa ulama. Wara’ orang saleh, menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang tidak jelas status hukumnya (syubhat), wara’ orang bertakwa, adalah menjaga atau mengendalikan diri dari melakukan sesuatu perbuatan karena khawatir akan jatuh ke dalam dosa. Wara’ orang yang benar adalah menahan diri dari apa yang tidak berdosa dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, menahan dirinya semata-mata takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah, atau menghindari hal-hal yang makruh dan maksiat.
d.      Al-Fakr
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.[30]Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Al Quran menggambarkan sifat orang fakir ini sebagai berikut,
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

Artinya : (Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 2: 273)
Abul Al Hasan Nuri, sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan ciri seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya. Pada prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua, ketawakalannya, bila tidak memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka diapun menolaknya. Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi. Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan ketangguhan spiritual.
e.       Sabar
Definisi sabar menurut kamus Tasawuf adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian. Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan yang dihadapi.[31] Sabar itu lahir dari kondisi ruhani yang suci dan berasal dari kesadaran yang tinggi dari dalam hati yang jernih dan bening, karena sudah penuh tawakal.[32]Dengan kesabaran salik tidak mudah mengeluh, tabah hati sehingga tidak gampang panik, dan pasrah hati.
Menurut Sa’id Hawwa[33], kesabaran dibagi tiga macam. Pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah. Kedua, sabar dari kemaksiatan. Ketiga, sabar ketika mendapat cobaan. Menurut sebagian orang arif  [34] kesabaran dibagi tiga macam juga, hanya sudut pandangnya sedikit berbeda. Pertama, meninggalkan hawa nafsu yang mungkar, dan ini derajat orang yang bertobat. Kedua, ridha terhadap takdir Allah yang menimpanya, dan ini derajat orang-orang yang zahid dan ketiga, cinta atau senang terhadap segala apa yang dilakukan Allah atas dirinya dan ini derajat orang yang benar.
f.       Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’ yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan[35].Seseorang yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali disebutkan bahwa tawakal bagaikan mayat didepan orang yang memandikan, di bolak-balikkan kekanan dan kekiri tanpa adanya perlawanan dan pasrah[36]. Ini berarti ketika kita bertawakkal itu seperti halnya mayat yang tidak bisa bergerak sama sekali, hanya rasa pasrah kepada yang memandikannya, tanpa adanya suatu perlawanan.
Didalam kitab Risalah Qusyairiyah juga disebutkan hal yang sama seperti perkataan Sahil bin Abdullah bahwa tingkatan pertama dalam tawakkal adalah bahwa hamba itu dihadapan allah swt seperti halnya mayit yang ada di hadapan orang yang memandikan, memutar balikkan mayat sesuka hatinya, karena mayit tidak bergerak[37].
Menurut Hamdun Al Qhasar mengatakan bahwa tawakal adalah tunduk kepada allah ta’ala[38], dan masih banyak lagi pendapat-pendapat tentang tawakal yang akan terlalu banyak untuk disebutkan dan cenderung bermuara sama, karena dalam beberapa pendapat akan lebih cenderung pada ketasawufan orang yang berpendapat.
Pengertian tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution. Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah. Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan karena Allah.[39] Dalam makna tawakal secara istilah banyak ulama yang memberikan makna tersendiri tentang tawakal, akan tetapi kebanyakan dari pendapat-pendapat tersebut sama maksudnya.
Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Tawakkal itu ada tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya. Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orang-orang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam, berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.[40]
g.      Kerelaan (Ridha)
Ridha, secara harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar. Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan oleh Allah Swt.
Menurut Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya, sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[41]
Dalam dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain, ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya mengembangkan emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah kita berharap memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan subur emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Ridha kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati, mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya dalam kubangan dosa. Orang-orang yang seperti inilah dengan indahnya Allah telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96:

يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ

“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”
Orang-orang inilah yang selalu bersepakat dalam berbuat kemungkaran, ridha dalam melakukan maksiyat, dan kelak apabila sampai akhir hayatnya tidak sempat bertaubat serta minta ampun kepada-Nya, telah Allah sediakan neraka sebagai pelabuhan terakhir untuknya.
B.  Tinjauan Umum mengenai Ahwal dalam Ajaran Pokok Tasawuf
1)      Pengertian Ahwal
            Ahwal adalah bentuk jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya. Hal bersifat sementara, datang dan pergi ;datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.[42]
            Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[43]Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah, al-musyahadah, dan al-yaqin.[44]
                Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan “ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan (kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah dari maqam.[45]
            Beberapa ulama mengatakan bahwa hal adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning. Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi sebelum memperbaiki maqam sebelumnya.
            Namun, sebelum beranjak naik, dari maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.[46]Oleh karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih permanent keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat lebih merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah yang sifatnya pasif.

2)      Ahwal dalam Tasawuf
a.       Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.
Secara literal, muraqabah berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusi mengamati pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi, muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap teguh di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa mengawasinnya. Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan al-Darani yang menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa yang ada di dalam hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah berikan kedalamnya. 
b.      Khouf [47]
Khauf  adalah rasa sakit serta bergetarnya hati karena ada sesuatu yang dibenci dihadapannya. Perumpamaannya seperti jika seseorang yang akan dihukum pancung oleh raja, lalu raja itu telah memerintahkan algojonya dan algojo itu telah memegang pedangnya, maka ia telah merasa yakin akan kematiannya sebentar lagi, maka terasalah pedih hatinya saat itu dan bergetar karena rasa takut yang sangat, dan inilah yang disebut Khauf.
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah
Khauf ini dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada keyakinan seseorang pada ALLAH SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada hukuman sebagaimana diatas, ada pula Khauf yang disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan keagungan sesuatu. Jika manusia itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan dihadapkan pada ke-Maha Agungan ALLAH SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita, maka akan timbullah rasa takut. Maka orang yang paling tinggi Khauf-nya adalah yang paling mengetahui dirinya dan penciptanya, firman ALLAH SWT :
“Sesungguhnya hanyalah yang paling takut pada ALLAH diantara hambanya adalah para ‘ulama’.” (QS. Faathir: 28)
Dampak dari Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka mulailah rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis, gemetar, dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen dalam ketaatan, lalu bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf ada yang berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang mengakibatkan rasa putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang akan mengakibatkan tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang seimbang/moderat (I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa, mujahadah, fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.
Ibnu Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang lari menuju Allah. Untuk memunculkan rasa beralah seseorang harus mengingat dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam pandangan Al Sarraj, Khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah (cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb (kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah.Khawf itu menurut Al Sarraj dibagi menjadi tiga tingkatan :
a.       Takutnya orang awam.
b.      Takutnya orang-orang pertengahan.
c.       Takutnya kaum Khushus (khusus)
Khawf berkaitan dengan raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan merasa ketakutan yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya, takut berpisah, dijauhi oleh-Nya, sehingga terputus dari rahmat-Nya dan hilang rasa nikmat bersama-Nya. Namun pada saat bersamaan sang hamba juga merasakan raja’, harapan yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia Allah.

c.       Thuma’ninah[48]
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah, ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi, orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan. Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka di tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
Secara literal, Thuma’ninah berarti tenang tentram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, tak ada yang dapat ,mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling tinggi.  Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat).
Thuma’ninah terbagi menjadi 3 tingkatan:
  1. Pertama adalah kaum awam. Mereka merasa tenang jika menyebut-Nya.
  2. Kedua, Kelompok khushus(khusus). Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan , musibah-Nya, bertakwa, ikhlas, dan damai.
  3. Ketiga, kelompok istimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang hinggap dihati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin dicapai.

d.      Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada. Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.[49]
Seorang hamba yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa. Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
Dalam tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat. Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”.  Menurut Al-Sarraj, ‘Uns bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang menjauhkannya dari Allah.

Orang-orang yang intim itu terbagi atas tiga tingkatan.
  1. Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
  2. Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
  3. Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri.
e.       Musyahada[50]
Dalam perpektif tasawuf, musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf, seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, ”Musa berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman Allah, 
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37). Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan dengan mata.
Hal Musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah.  Menurut Al sarraj ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan.
  1. Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
  2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan aa pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
  3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang koko
Musyahadah adalah nampaknya Allah pada hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah, kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak dihadapannya.
Seorang akan dapat mencapai musyahadh billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas dari unsur riya’.
Adapun terjadinya musyahadah adalah dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu :
a.       Nur musyahadah pertama, adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa muraqabah/ berintaian dengan Allah.
b.      Nur musyahadah kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah”  yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah wujud yang hakiki.
c.       Nur musyahadah ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah wujud Allah.
                  Musyahadah ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah bisa dicapai melewati pintu mati.
                  Selanjutnya jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati)dapat ditempuh pada 4 tingkat yaitu :
1.      Mati tabi’i
                  Menurut sebagian ahli thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah pertama dengan Allah.
2.      Mati ma’nawi
Menurut sebagian ahli thariqat bahwa mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat melakukan dzikir Lathifatur Ruh dalam dzikir lathifatur Ruh dalam dzikir lathaif. Terjsdinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin menguasai penglihatan.
3.      Mati suri
Mati suri ini terjadi dengan karunia Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur dzatullah dan nurun ala nurin.
Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah. Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah, nampaknya Allah atau tajalli.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.[51]





















3.      Penutup
            Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj, hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan, sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak tetap, datang dan pergi.
            Banyak orang mukmin yang sudah beribadah dengan baik kepada Allah SWT tetapi mereka belum bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena keadaan jiwa mereka belum tenang atau stabil, sedangkan agar kita bisa dekat kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita haruslah tenang. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti merasakan apa yang namanya keadaan mental seperti senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya, tetapi kita tidaklah boleh terlalu terhanyut di dalam keadaan tersebut karena kita harus segera merubahnya menjadi lebih baik.
            Selain itu kita haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu melatih sifat mentalnya dengan cara riyadlah yang berarti latihan mental, mujahadah yaitu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh keduniawian, muraqabah mendekatkan diri kepada Allah. Setelah itu adalah suluk yang berarti menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu berdzikir dan berdzikir.








DAFTAR PUSTAKA
Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ila al-Tashawwuf al- Islam, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani , Sufi dari Zaman Kezaman (Suatu Pengantar Tentang Tasawuf), Bandung : Pustaka, 1985.
Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah, Jakarta: Khalifa, 2005.
Abdul Hakim Atang,  Metodologi Studi Islam,Bandung:Rosdakarya, 2009.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bulan Bintang, 1998.

Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
----------------- Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Amatullah Amstrong, Sufi Terminology ( Al-Qomus Al-Sufi) The Mystical Language of Islam, Singapura : AS. Noorden, 1995.
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:Rajawali Press,1994.
Fadholi, Muhammad, Keutamaan Budi Dalam Islam, Surabaya : Al-Ikhlas.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang: 1995.
Hendrik, Fitrini, Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf, Makalah , Watampone: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, 2013.
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Ar-Risalatul Qusyairiyyah fi ‘Ilmi at-Tashawwufi,  terj. Muhammad  Luqman Hakim,  Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf), Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj.  Zaid Husein Al Hamid Ringkasan Ihya’ Ulumuddin,  Jakarta : Pustaka Imani, 1995.
Ibnu Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu, Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I.
Jumantoro,Totok. Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf, Wonosobo: Azhar, 2005.
Kafie, Jamaludin. Tasawuf Kontemporer, Jakarta, Republika, 2003.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1973.
Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung , Pustaka Setia, 2004.
Said Hawwa, Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya Ulumuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005.
Suhrawardi Syekh Syihabuddin Umar, 1998, Awarif al-Ma’arif., Bandung: Pustaka Hidayah.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, Surabaya: IAIN SA Press, 2011.

Qamar Kaylani, fi al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969
Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendiriannya, Jakarta: Prenada.













untuk footnone nya hubungi penulis yaa

No comments:

Post a Comment