Ajaran Pokok Tasawuf : Maqaamat dan
Ahwal
1. Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Tasawuf timbul
dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat
Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir
dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya
datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka
menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari,
kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam
hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati
baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari khalayak
ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka menolong.[1]
Tasawuf merupakan salah satu fenomena dalam
Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang
selanjutnya menimbulkan akhlak mulia. Melalui tasawuf ini seseorang dapat
mengetahui tentang cara-cara melakukan pembersihan diri serta mengamalkan
secara benar. banyak pengertian tasawuf yang dirumuskan oleh ulama tasawuf,
tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf secara menyeluruh. defenisi tasawuf
yang dirumuskan oleh ulama tasawuf, tetapi tidak mencakup pengertian tasawuf
secara menyeluruh.
Pada dasarnya tasawuf merupakan ajaran yang membicarakan
kedekatan antara sufi( manusia) dangan Allah. Dalam Al-Qur,an terdapat beberapa
ayat yang menunjukkan kedekatan manusia dengan Allah,antara lain bahwa Allah
itu dekat dengan manusia (Q.S. Al Baqarah:186) dan bahwa Allah lebih dekat
kepada manusia dibandingkan urat nadi manusia itu sendiri(Q.S Al-Qaf:69)[2].
Tasawuf
merupakan jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang untuk mengetahui tingkah
laku nafsu dan sifat-sifatnya, yang buruk maupun yang terpuji. Karena itu
kedudukan tasawuf dalam Islam diakui sebagai ilmu agama yang berkaitan dengan
aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam, di mana
secara filsafat tasawuf itu lahir dari salah satu komponen dasar agama Islam,
yaitu Iman, Islam, dan Ihsan.[3]
Pembahasan
menganai tasawuf tidak bias dipisahkan dengan pembahasan mengenai tingkatan spiritual.
Yaitu proses yang harus dilalui seseorang sebelum mencapai derajat sufi. Proses yang dimaksud adalah maqam-maqam (tingkatan
atau stasiun) dan ahwal (jama’ dari hal). Dua persoalan ini harus
dilewati oleh orang yang berjalan menuju Tuhan.
Oleh
karena itu, mengingat akan pentingnya mengetahui dan mempelajari proses panjang
yang harus dilalui oleh seorang sufi tersebut, penulis akan menjabarkan
mengenai “Ajaran Pokok Tasawuf: Maqaamat dan Ahwal” sebelum membahas mengenai
ajaran tasawuf yang lebih mendalam lagi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan Maqaamat dalam ajaran pokok tasawuf?
2.
Apakah
yang dimaksud dengan Ahwal dalam ajaran pokok tasawuf?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk
mengetahui Maqaamat dalam ajaran pokok tasawuf
2. Untuk mengetahui Ahwal dalam ajaran pokok tasawuf.
2.
Pembahasan
A.
Tinjauan
Umum mengenai Maqaamat dalam Ajaran Pokok Tasawuf
1) Pengertian
Maqaamat
Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam
yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia. Dalam Bahasa Inggris maqamat
dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Sedangkan dalam
ilmu Tasawuf, maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah
berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui riyadhah, ibadah, maupun
mujahadah. Di samping itu, maqamat berarti jalan panjang atau
fase-fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin
dengan Allah. Maqam dilalui seorang hamba melalui usaha yang sungguh-sungguh
dalam melakukan sejumlah kewajiban yang harus ditempuh dalam jangka waktu tertentu.
Seorang hamba tidak akan mencapai maqam berikutnya sebelum menyempurnakan maqam
sebelumnya.[4]
Dalam literature lain disebutkan
bahwa maqamat merupakan bentuk jama’
dari kata maqam yang artinya station ( tahapan atau tingkatan), yakni tingkatan
spiritual yang telah dicapai oleh seorang sufi.Imam Al-Ghozali berkata “Maqam
adalah beragam mu’amalat (interaksi) dan mujahaddah (perjuangan batin) yang
dilakukan seorang hamba di sepanjang waktunya. Jika seorang hamba tersebut
menjalankan salah satu dari maqam itu dengan sempurna maka itulah maqamnya
hingga ia berpindah dari maqam itu menuju maqam yang lebih tinggi.[5]
Hakekat
tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang
dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebutkan Alquran
dan Hadits. “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan
mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil.”[6]
Maqam didapatkan melalui
upaya mujahaddah dan riyadhah.Maqam itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan
beramal secara terus – menerus dan rutin serta dengan mengendalikan nafsu.
Untuk
memahami pengertian mengenai maqaamat silahkan perhatikan smart art berikut[7]:
Untuk
mencapai derajat sufi, maka seseorang harus melewati beberapa tingkatan
kerohanian dalam maqaamat seperti yang terdapat dalam gambar diatas.
Tentang berapa
jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai
menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad
al-Kalabazy dalam kitabnya al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tasawwuf, sebagai
dikutip Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada
sepuluh, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadlu’,
al-taqwa, al-tawakkal, al-ridla, al-mahabbah dan al-ma’rifah. Sementara itu
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan jumlah
maqamat hanya tujuh , yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhud, al-faqr,
al-tawakkal dan al-ridla. Dalam pada itu Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’
Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu al-taubah,
al-shabr,al-zuhud, al-tawakkal,al-mahabbah, al-ma’rifah, dan al-ridla.[8]
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi
penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh mereka
disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridla. Sedangkan al-tawaddlu, al-mahabbah, dan
al-ma’rifah oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat. Terhadap tiga
istilah yang disebut terakhir itu (al-tawaddlu, al-mahabbah dan al-ma’rifah)
terkadang para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang
menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah dengan
Tuhan). Untuk itu dalam uraian ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut
adalah maqamat yang disepakati oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkal, dan
al-ridla.[9]
2) Maqaamat-Maqaamat dalam Tasawuf
a. Zuhud
Secara
etimologis zuhud berasal dari kata ز
هد- ز هدا yang
berarti tidak tertarik.و
زهد فى شئ او عنه : ر غب عنه
berarti
meninggalkan dan tidak menyukai sesuatu. Sedangkan زا
هد jama’nya
ز هّا د diartikan
orang yang tidak suka kepada dunia (zahid).[10]
Zuhud juga berarti ر غب عن شئ وتركه, artinya
tidak tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. ز هد
فى الد نيا, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk
ibadah.[11]
Ensiklopedi Islam Indonesia, menjelaskan bahwa zuhud
terhadap sesuatu berarti tidak mencintainya, tidak tertarik atau tidak terpikat
olehnya. Zuhud terhadap dunia berarti tidak mencintai dunia, tidak tertarik,
tergiur dan tidak terlena oleh kesenangan duniawi.[12]
Sedangkan dalam bahasa Inggris
istilah zuhud digunakan kata Asketisme yaitu : “Ascetism. This is renunciation
of all things connected to this world. It is a useful approach in the early
stages of the spiritual path, but not desireable for the one who strives for
perfection. Such ascetism implies means through which man gains knowledge of
Allah”.[13]
Asketisme yaitu sikap meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
dunia. Zuhud merupakan pendekatan yang berguna dalam tingkat awal perjalanan
spiritual bagi orang-orang yang berjuan untuk memperoleh kesempurnaan. Dengan
demikian implikasi dari zuhud berarti meninggalkan hal-hal yang dapat
menghambat perjuangan untuk berma’rifat kepada Allah).
Secara terminologis, ada dua hal tentang pengertian zuhud
ini. Pertama, zuhud yang tidak bisa lepas dari tasawuf, yang biasa
disebut salah satu maqam atau stasion[14].dalam
mendekatkan diri kepada Allah (marifatullah). Dan yang kedua,
zuhud diartikan sebagai gerakan protes dan moral Islam. Zuhud sebagai
salah satu dari maqam, apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan
berkomnunikasi langsung antara hamba dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan.
zuhud merupakan salah satu maqam menuju tercapainya ma’rifat kepada-Nya.[15]
Sebagai maqam, zuhud menurut Ibnu Jalla merupakan sikap anda
memandang dunia ini hina di mata anda, maka berpaling darinya akan menjadi
mudah bagi diri anda.[16]
Definisi yang sama diberikan oleh Abu Sulaiman ad-Darany, “zuhud berarti
menjauhkan diri dari apapun yang memalingkan diri anda dari Allah SWT”.[17]
Sedangkan menurut Imam al-Ghazali, zuhud pada hakikatnya ialah tidak
menyukai harta dan menghindarinya.[18]
Sejalan dengan itu, Harun Nasution menjelaskan bahwa zuhud merupakan keadaan
meninggalkan dunia dan menjauhi hidup kematerian.[19]
Dengan demikian pengertian zuhud sebagai maqam dalam tasawuf
diartikan bahwa dunia menjadi penghalang atau hijab antara manusia dengan
Tuhan, sehingga bisa dikatakan ketika orang melakukan zuhud harus berusaha
untuk membenci dan meninggalkan hidup kematerian dengan tidak mengutamakan
duniawi.
Sedangkan zuhud sebagai moral Islam, Abu al-Wafa al-Taftazani menegaskan bahwa zuhud (asketisme)
bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan duniawi. Akan tetapi
merupakan hikmah pemahaman yang membuat para penganutnya mempunyai pemahaman
khusus terhadap kehidupan duniawi, di mana mereka tetap bekerja dan berusaha,
akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecendrungan kalbu mereka
serta tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya.[20]
b.
At-Taubah
Kata Taubat dalam bahasa arab adalah merupakan mashdar dari
dari kalimat “taba-yatuba-taubatan” yang artinya kembali.[21]
Sejalan dengan pengertian secara bahasa, taubat menuArut Al-Ghazali sebagaimana
disebutkan dalam bukunya Zainul Bahri “Taubat adalah kembali dari jalan yang
menjauhkan diri dari Allah yang mendekatkan diri kepada syetan. Selanjutnya,
lebih rinci lagi Al-Junaid menyebutkan bahwa taubat itu memiliki tiga makna ; pertama,
menyesali kesalahan, kedua, berketetapan hati untuk tidak kembali
kepada apa yang telah dilarang Allah, dan ketiga, menyelesaikan atau
membela orang yang teraniaya.[22]
Al-Ghazali sebagaimana tersebut dalam buku “Ilmu Tasawuf”
karangan Mukhtar Solihin dan Rosihan Anwar, mengklasifikasikan taubat kepada
tiga tingkatan :[23]
- Meninggalkan kejahatan dalam segala bentuknya dan beralih kepada kebaikan karena takut kepada perintah Allah.
- Beralih dari satu situasi yang sudah baik menuju situasi yang lebih baik lagi. Dalam tasawuf keadaan ini sering disebut dengan “inabah”.
- rasa penyesalan yang dilakukan semata-mata karena ketaatan dan kecintaan kepada Allah, hal ini disebut “aubah”.
Dari pengertian-pengertian di atas, dapat dipahami bahwa
taubat adalah amalan seorang hamba untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan
atau dosa-dosa yang kemudian ia kembali kepada jalan yang lurus (yakni pada
ajaran yang diperintahkan oleh Allah dan senantiasa akan menjauhi segala
larangannya) dengan penyesalan telah hanyut dalam kesalahan, dan tidak akan
mengulanginya lagi.
Ada beberapa syarat sah atau diterimanya taubat, yaitu :
- Harus menghentikan maksiat.
- Harus menyesal atas perbuatan yang telah terlanjur dilakukannya.
- Niat bersungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan itu kemali. Dan apabila dosa itu ada hubungannya dengan hak manusia maka taubatnya ditambah dengan syarat keempat, yaitu :
- Menyelesaikan urusan dengan orang yang berhak dengan minta maaf atas kesalahannya atau mengembalikan apa yang harus dikembalikannya.[24]
c.
Al-Wara
Menurut Qamar Kailani yang dikutip oleh Rivay A. Siregar, wara’ dibagi
menjadi dua: wara’ lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’ lahiriyah
adalah tidak mempergunakan segala yang masih diragukan dan meninggalkan
kemewahan, sedangkan wara’ batiniyah adalah tidak menempatkan
atau mengisi hati kecuali dengan mengingat Allah. Dalam kitab Al-Luma’
dijelaskan bahwa orang-orang wara’ dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, wara’ orang yang menjauhkan diri dari syubhat. Kedua, wara’ orang
yang menjauhkan diri dari sesuatu yang menjadi keraguan hati dan ganjalan di
dada. Ketiga, wara’ orang arif yang sanggup menghayati dengan hati
nurani.[25]
Dalam tradisi sufi yang dimaksud dengan wara’ adalah
meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas atau jelas hukumnya (subhat).[26]
Hal ini berlaku pada segala hal atau aktifitas kehidupan manusia, baik
yang berupa benda maupun perilaku seperti makanan, minuman, pakaian,
pembicaraan, perjalanan, duduk, berdiri, bersantai bekerja dan lain-lain.
Disamping meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya, dalam tradisi
sufi wara’ juga berarti meninggalkan segala sesuatu yang berlebihan, baik
berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu m,eningglkan segala segala
sesuatu yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya.[27]
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara’ adalah nabi muhammad
saw artinya: “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa
ia menjauihi sesuatu yang tidak berarti.” Juga hadits lain yang artinya: “:
Bersikaplah wara’ dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah"
Lebih lanjut para ahli tasawuf juga membagi wara’ pada dua
bagian. Yaitu wara’ yang bersifat lahiriyah dan wara’ batiniyah. Wara’
lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhoi oleh Allah,
sedangkan wara’ batiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu
dihatinya kecuali Allah.[28]
Apa yang dilakukan oleh para sufi dengan wara’, pada dasarnya adalah
merupakan pelaksanaan dari perintah Allah dalam Qs. Al Mudastir: 1-3:
Artinya: “Hai orang yang berkemul
(berselimut), Bangunlah, lalu berilah peringatan!, Dan Tuhanmu
agungkanlah!”
Al Qur’an tidak menyebutkan kata wara’ secara eksplisit,
namun wara’ secara harfiyah berarti menahan diri, berhati-hati, atau menjaga
diri supaya tidak celaka, banyak diajarkan oleh Al Qur’an, sebagaimana ayat
diatas. Ibnu Qayyim dalam Madarij al-Salikin menyebut ayat diatas sebagai
perintah untuk wara’ dan pakaian menurut ahli tafsir merupakan kiasan dari diri
seseorang. Bahkan Ibnu Abbas menafsirkan ayat ini dengan: ”janganlah kamu
busanai dirimu dengan kemaksiatan dan penghianatan”.[29]
Menurut Imam Ghazali, sikap wara’ adalah sikap
seseorang terhadap perkara-perkara yang halal dan yang haram, seperti yang
telah digariskan dalam syariah. Terhadap perkara ini ada empat golongan orang
wara’. Wara’ orang awam adalah wara’ terhadap larangan agama atau oleh fatwa
ulama. Wara’ orang saleh, menahan diri dari menyentuh atau memakan sesuatu yang
tidak jelas status hukumnya (syubhat), wara’ orang bertakwa, adalah menjaga
atau mengendalikan diri dari melakukan sesuatu perbuatan karena khawatir akan
jatuh ke dalam dosa. Wara’ orang yang benar adalah menahan diri dari apa yang
tidak berdosa dan tidak khawatir jatuh kedalam dosa, menahan dirinya
semata-mata takut tidak ada niat untuk beribadah kepada Allah, atau menghindari
hal-hal yang makruh dan maksiat.
d.
Al-Fakr
Secara harfiah
fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin.
Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang
telah ada pada diri kita.[30]Tidak meminta
rezeki kecuali hanya untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta
sungguhpun tak ada pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi
tidak menolak.
Al Quran menggambarkan sifat orang
fakir ini sebagai berikut,
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الأرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya : (Berinfaklah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di muka bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya
karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat
sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja
harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui. (QS. Al Baqarah 2: 273)
Abul Al Hasan Nuri,
sebagaimana dikutip oleh Al Hujwiri dalam Kasyful Mahjub menggambarkan ciri
seorang yang fakir adalah bilamana dia tidak memperoleh apa pun, dia diam; dan
bilamana dia memperolah sesuatu, dia memandang orang lain lebih berhak
memperolehnya dari pada dirinya, sehingga karenanya dia mudah memberikannya. Pada
prakteknya hal ini mengandung makna yang penting, yaitu pertama, ketawakalannya
bila tidak memperoleh sesuatu dia ridha, dan bila memperoleh sesuatu adalah
cinta, karena “ridha” berarti “menerima jubah kehormatan”. Jubah kehormatan
adalah tanda kedekatan, sedangkan pencinta menolak jubah kehormatan karena hal
itu merupakan tanda pemisahan.
Kedua, ketawakalannya, bila tidak
memperoleh sesuatu, adalah berharap; dan bila memperoleh sesuatu adalah
menolaknya. Bila sesuatu yang diharapkan tersebut adalah “selain Allah” maka
ditolaknya, juga bila sesuatu yang diperolehnya adalah “selain Allah” maka
diapun menolaknya. Sifat utama faqir adalah wawasan dan pengetahuannya yang
luas, moralnya terpuji, hatinya senantiasa berkobar disebabkan bara cinta
ilahi, hatinya wara` dan zuhud. Selain Nabi, pribadi seperti itu dijumpai dalam
diri Ali bin Abi Thalib. Iqbal memberi contoh kefakiran Imam Ali tatkala beliau
memimpin pasukan Islam merebut bukit Khaibar dari pendudukan kaum Yahudi.
Kemenangan pasukan Islam ketika itu bukan semata disebabkan kekuatan ekonomi
dan pemilikan senjata, melainkan disebabkan oleh tingginya moral dan
ketangguhan spiritual.
e. Sabar
Definisi sabar menurut kamus
Tasawuf adalah keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam pendirian.
Jiwanya tidak tergoyahkan, pendiriannya tidak berubah bagaimanapun berat tantangan
yang dihadapi.[31]
Sabar itu lahir dari kondisi ruhani yang suci dan berasal dari kesadaran yang
tinggi dari dalam hati yang jernih dan bening, karena sudah penuh tawakal.[32]Dengan
kesabaran salik tidak mudah mengeluh, tabah hati sehingga tidak gampang panik,
dan pasrah hati.
Menurut Sa’id
Hawwa[33],
kesabaran dibagi tiga macam. Pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah. Kedua,
sabar dari kemaksiatan. Ketiga, sabar ketika mendapat cobaan. Menurut sebagian
orang arif [34]
kesabaran dibagi tiga macam juga, hanya sudut pandangnya sedikit berbeda.
Pertama, meninggalkan hawa nafsu yang mungkar, dan ini derajat orang yang
bertobat. Kedua, ridha terhadap takdir Allah yang menimpanya, dan ini derajat
orang-orang yang zahid dan ketiga, cinta atau senang terhadap segala apa yang
dilakukan Allah atas dirinya dan ini derajat orang yang benar.
f. Tawakal
Dari segi bahasa, tawakal berasal dari kata ‘tawakala’
yang memiliki arti; menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan[35].Seseorang
yang bertawakal adalah seseorang yang menyerahkan, mempercayakan dan mewakilkan
segala urusannya hanya kepada Allah swt.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Ghozali
disebutkan bahwa tawakal bagaikan mayat didepan orang yang memandikan, di
bolak-balikkan kekanan dan kekiri tanpa adanya perlawanan dan pasrah[36].
Ini berarti ketika kita bertawakkal itu seperti halnya mayat yang tidak bisa
bergerak sama sekali, hanya rasa pasrah kepada yang memandikannya, tanpa adanya
suatu perlawanan.
Didalam kitab Risalah
Qusyairiyah juga disebutkan hal yang sama seperti perkataan Sahil bin Abdullah
bahwa tingkatan pertama dalam tawakkal adalah bahwa hamba itu dihadapan allah
swt seperti halnya mayit yang ada di hadapan orang yang memandikan, memutar
balikkan mayat sesuka hatinya, karena mayit tidak bergerak[37].
Menurut Hamdun Al Qhasar
mengatakan bahwa tawakal adalah tunduk kepada allah ta’ala[38],
dan masih banyak lagi pendapat-pendapat tentang tawakal yang akan terlalu
banyak untuk disebutkan dan cenderung bermuara sama, karena dalam beberapa
pendapat akan lebih cenderung pada ketasawufan orang yang berpendapat.
Pengertian
tawakkal yang demikian itu sejalan pula dengan yang dikemukakan Harun Nasution.
Ia mengatakan tawakkal adalah menyerahkan diri kepada qada dan keputusan Allah.
Selamanya dalam keadaan tenteram, jika mendapat pemberian berterima kasih, jika
mendapat apa-apa bersikap sabar dan menyerah kepada qada dan qadar Tuhan. Tidak
memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini. Tidak mau
makan, jika ada orang lain yang lebih berhajat pada makanan tersebut daripada
dirinya. Percaya kepada janji Allah. Menyerah kepada Allah dengan Allah dan
karena Allah.[39] Dalam makna tawakal secara istilah banyak
ulama yang memberikan makna tersendiri tentang tawakal, akan tetapi kebanyakan
dari pendapat-pendapat tersebut sama maksudnya.
Menurut Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Tawakkal itu ada
tiga derajat: Tawakkal itu sendiri, berserah diri, lalu pasrah. Orang yang
tawakkal merasa tenang karena janji Allah, orang yang berserah diri cukup
dengan pengetahuannya tentang Allah dan pasrah adalah ridha terhadap hukum-Nya.
Tawakkal merupakan permulaan, berserah diri merupakan pertengahan dan pasrah
merupakan penghabisan. Tawakkal merupakan sifat orang-orang Mukmin, berserah diri merupakan sifat para wali dan
pasrah merupakan sifat muwahhidin. Tawakal merupakan sifat orang-orang awam,
berserah diri merupakan sifat orang-orang khusus, dan pasrah merupakan sifat
orang-orang yang lebih khusus dari orang-orang yang khusus. Tawakkal adalah
sifat para nabi, berserah diri adalah sifat Ibrahim, sedangkan pasrah merupakan
sifat Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.[40]
g. Kerelaan (Ridha)
Ridha, secara
harfiah, berarti rela, senang dan suka. Sedangkan pengertiannya secara umum
adalah tidak menentang qadha dan qadar Allah, menerima qadha dan
qadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga
yang tinggal di dalamnya hanya perasaan senang dan gembira. Merasa senang
menerima malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Tidak meminta
surga dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka. Sikap ridha ini
merupakan kelanjutan rasa cinta atau perpaduan dari mahabbah dan sabar.
Rasa cinta yang diperkuat dengan ketabahan akan menimbulkan kelapangan hati dan
kesediaan yang tulus untuk berkorban dan berbuat apa saja yang diperintahkan
oleh Allah Swt.
Menurut
Abdullah bin Khafif, ridha dibagi menjadi dua macam: ridha dengan Allah dan
ridha terhadap apa yang datang dari Allah. Ridha dengan Allah berarti bahwa
seorang hamba rela terhadap Allah sebagai pengatur jagad raya seisinya,
sedangkan ridha terhadap apa yang datang dari Allah yaitu rela terhadap apa
saja yang telah menjadi ketetapan Allah Swt.[41]
Dalam
dunia tasawuf, kata ridha memiliki arti tersendiri yang masih berhubungan
dengan sikap kepasrahan seseorang di hadapan kekasih-Nya. Sikap ini merupakan
wujud dari rasa cinta pada Allah dengan menerima apa saja yang telah
dikehendaki oleh-Nya tanpa ada paksaan dalam menjalaninya. Dengan kata lain,
ridha lebih memfokuskan perhatian yang ditujukan kepada upaya mengembangkan
emosi ridha dalam hati calon sufi kepada Tuhan. Maka janganlah kita berharap
memperoleh ridha Tuhan, bila dalam hati kita sendiri tidak tumbuh dengan subur
emosi ridha kepada-Nya. Di sini ditanamkan kesadaran bahwa ada tidaknya, atau
besar kecilnya ridha Tuhan pada seseorang tergantung pada ada tidaknya atau
besar kecilnya ridha hatinya kepada Tuhan.
Ridha
kepada Tuhan, menurut para sufi; mengandung makna yang luas, diantaranya: Tidak
menentang pada qadha dan qadar Tuhan, menerimanya dengan senang hati,
mengeluarkan perasaan benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya
hanyalah perasaan senang dan gembira, merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat, tidak meminta surga dari Tuhan dan
tidak meminta supaya dijauhkan dari neraka, tidak berusaha sebelum turunnya
qadha dan qadar, tidak merasa pahit dan sakit sesudah turunnya, bahkan perasaan
senang bergelora di waktu cobaan atau musibah datang.
Orang
yang berhati ridha pada Allah memiliki sikap optimis, lapang dada, kosong
hatinya dari dengki, selalu berprasangka baik, bahkan lebih dari itu; memandang
baik, sempurna, penuh hikmah, semua yang terjadi semua sudah ada dalam
rancangan, ketentuan, dan perbulatan Tuhan. Berbeda dengan orang-orang yang selalu
membuat kerusakan di muka bumi ini, mereka selalu ridha apabila melakukan
perbuatan yang Allah haramkan, dalam hatinya selalu merasa kurang apabila
meninggalkan kebiasaan buruk yang selama ini mereka perbuat, bermakna merasa
puas hati apabila aktivitas hidupnya bisa membuat risau, khawatir, dan selalu
mengganggu terhadap sesamanya. Semuanya itu ia lakukan karena mengikut hawa
nafsu yang tanpa ia sadari bahwa sebenarnya syaitan telah menjerat dirinya
dalam kubangan dosa. Orang-orang yang seperti inilah dengan indahnya Allah
telah menjelaskan dalam surat At-Taubah ayat 96:
يَحْلِفُوْنَ لَكُمْ لِتَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْا عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يَرْضَى عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِيْنَ
“Mereka akan bersumpah kepadamu,
agar kamu ridha kepada mereka, tetapi jika sekiranya kamu ridha kepada mereka,
Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang berbuat fasik.”
Orang-orang
inilah yang selalu bersepakat dalam berbuat kemungkaran, ridha dalam melakukan
maksiyat, dan kelak apabila sampai akhir hayatnya tidak sempat bertaubat serta
minta ampun kepada-Nya, telah Allah sediakan neraka sebagai pelabuhan terakhir
untuknya.
B. Tinjauan Umum
mengenai Ahwal dalam Ajaran Pokok Tasawuf
1) Pengertian
Ahwal
Ahwal adalah bentuk
jama’ dari kata hal, yang berarti kondisi mental atau situasi kejiwaan yang
diperoleh seorang sufi sebagai karunia Allah, bukan hasil dari usahanya. Hal bersifat sementara, datang dan pergi ;datang
dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalananya mendekati Tuhan.[42]
Jika berpijak
dari beberapa pendapat para sufi di atas, maka tidak ada perbedaan, yang pada
intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci. Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu
datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawaih
dan ada pula yang datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih. Jika maqam diperoleh
melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan
tetapi anugerah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen,
sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[43]Sebagaimana
halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al- hal yang paling
banyak disepakati adalah al-muraqabah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’ninah,
al-musyahadah, dan al-yaqin.[44]
Didalam kenyataannya para Salik memang untuk berpindah
dari satu maqam ke maqam lain memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan
“ahwal” sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Lebih lanjut
kaum sufi mengatakan bahwa hal adalah anugerah dan maqam adalah perolehan
(kasb). Tidak ada maqam yang tidak dimasuki hal dan tidak ada hal yang terpisah
dari maqam.[45]
Beberapa ulama mengatakan bahwa hal
adalah sesuatu yang tidak diam dan tidak mengikat (dinamis). Al-Gazali dalam
memberi pandangan yang menyatakan bahwa apabila seseorang telah mantap dan
tetap dalam suatu maqam, ia akan memperoleh suatu perasaan tertentu dan itulah
hal. Mengenai hal ini ia juga memberi contoh tentang warna kuning yang dapat
dibagi menjadi dua bagian, ada warna kuning yang tetap seperti warna kuning
pada emas dan warna kuning yang dapat berubah seperti pada sakit kuning.
Seperti itulah kondisi atau hal seseorang. Kondisi atau sifat yang tetap
dinamakan maqam sedangkan yang sifatnya berubah dinamakan hal. Menurut
Syihabuddin Suhrawardi seseorang tidak mungkin naik ke maqam yang lebih tinggi
sebelum memperbaiki maqam sebelumnya.
Namun, sebelum beranjak naik, dari
maqam yang lebih tinggi turunlah hal yang dengan itu maqamnya menjadi kenyataan.[46]Oleh
karena itu, kenaikan seorang salik dari satu maqam ke maqam berikutnya
disebabkan oleh kekuasaan Allah dan anugerahNya, bukan disebabkan oleh usahanya
sendiri. pernyataan diatas memberikan pemahaman bahwa maqam bersifat lebih
permanent keberadaannya pada diri sang salik daripada hal. Selain itu, maqamat
lebih merupakan hasil upaya aktif para salik, sedangkan ahwal merupakan anugerah atau uluran Allah
yang sifatnya pasif.
2) Ahwal
dalam Tasawuf
a. Muraqabah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin
terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa
melihat dirinya.
Syeikh Ahmad
bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu
dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah
(merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki
tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.
Secara literal, muraqabah
berrti menjaga atau mengamati tujuan. Sedang secara terminologis, berarti
melestarikan pengamatan kepada Allah dengan hatinnya. Sehingga manusi mengamati
pekerjaan dan hukum-hukum-Nya, dan dengan penuh perasaan-Nya. Allah melihat
dirinya dalam gerak dan diam-Nya.
Menurut al-Qusyairi,
muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas diri juga berarti
adannya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat dirinnya. Sang
hamba, lanjut al-Qusyairi, hanya akan sampai kepada muraqabah ini setelah
sepenuhnya melakukan perhitungan dengan dirinnya sendiri mengenai apa yang
telah terjadi di masa lampau, memperbaiki keadannya di masa kini, tetap teguh
di jalan yang benar, menperbaiki hubungannya dengan Allah sepenuh hati, menjaga
diri agar setiap saat senantiasa ingat kepada Allah, taat kepada-Nya dalam
segala kondisi. Baru,setelah ini semua dilakukan, Allah melihat perbuatannya
dan mendengar perkataannya.
Muraqabah menurut
al-Sarraj, adalah kesadaran rohani sang hamba bahwa Allah senantiasa
mengawasinnya. Selanjutnya tentang muraqabah ini, al-Sarraj menunjuk ungkapan
al-Darani yang menyatakan bagaiamana mungkin tersembunyi bagi Allah apa-apoa
yang ada di dalam hati, tak ada di dalam hati kecuali apa yang telah Allah
berikan kedalamnya.
b.
Khouf [47]
Khauf
adalah rasa sakit serta bergetarnya hati karena ada sesuatu yang dibenci
dihadapannya. Perumpamaannya seperti jika seseorang yang akan dihukum pancung
oleh raja, lalu raja itu telah memerintahkan algojonya dan algojo itu telah
memegang pedangnya, maka ia telah merasa yakin akan kematiannya sebentar lagi,
maka terasalah pedih hatinya saat itu dan bergetar karena rasa takut yang
sangat, dan inilah yang disebut Khauf.
Menurut
al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-khauf
adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak
senang kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam
setiap tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah
yang menyebabkan orang lari menuju Allah
Khauf ini
dapat menjadi kuat dan lemah tergantung pada keyakinan seseorang pada ALLAH
SWT. Dan selain Khauf yang disebabkan takut pada hukuman sebagaimana diatas,
ada pula Khauf yang disebabkan oleh karena takut akan kebesaran dan keagungan
sesuatu. Jika manusia itu memahami begitu banyaknya maksiatnya yang akan
dihadapkan pada ke-Maha Agungan ALLAH SWT dan ketidakbutuhan-NYA pada kita,
maka akan timbullah rasa takut. Maka orang yang paling tinggi Khauf-nya adalah
yang paling mengetahui dirinya dan penciptanya, firman ALLAH SWT :
“Sesungguhnya hanyalah yang paling
takut pada ALLAH diantara hambanya adalah para ‘ulama’.” (QS. Faathir: 28)
Dampak
dari Khauf yang benar adalah jika seseorang sudah benar pemahamannya, maka
mulailah rasa Khauf masuk dihatinya dan berdampak pada pucatnya wajah, tangis,
gemetar, dan dampaknya kemudian adalah meninggalkan maksiat, lalu komitmen
dalam ketaatan, lalu bersungguh-sungguh dalam beramal.
Khauf ada
yang berlebihan, moderat dan kurang. Yang berlebihan adalah yang mengakibatkan
rasa putus asa dan berpaling dari taat, sementara yang kurang akan mengakibatkan
tidak meninggalkan maksiat yang dilakukan. Sementara yang seimbang/moderat
(I’tidaal) akan menimbulkan waspada, hati-hati (wara’), takwa, mujahadah,
fikir, dzikir, kesehatan fisik dan kebersihan akal.
Ibnu
Qoyyim memandang khawf sebagai perasaan bersalah dalam setiap tarikan nafas.
Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang menyebabkan orang
lari menuju Allah. Untuk memunculkan rasa beralah seseorang harus mengingat
dosa-dosa yang pernah dilakukan sambil merasa khawatir kalau-kalau Allah tidak
mengampuninya, khawatir kalau-kalau masih tergoda setan dalam setiap desahan
nafasnya. Dengan perasaan seperti ini sang sufi akan berusaha agar sikap dan
perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah.
Dalam
pandangan Al Sarraj, Khawf (takut) senantiasa bergandengan dengan Mahabbah
(cinta). Keduanya tidak bisa dipisahkan dan masih dalam bingkai qurb
(kedekatan). Qurb membutuhkan dua kondisi. Pertama, dalam hati sang hamba yang
dominan adalah rasa takutnya. Kedua, dalam hati sang hamba yang dominan adalah
rasa cintanya. Hal itu terjadi karena Allah memberikan kepada hati sebuah
kepercayaan, keyakinan yang kuat, dan rasa takut kepada Allah.Khawf itu menurut
Al Sarraj dibagi menjadi tiga tingkatan :
a.
Takutnya
orang awam.
b.
Takutnya
orang-orang pertengahan.
c.
Takutnya
kaum Khushus (khusus)
Khawf berkaitan dengan
raja’. Seorang hamba yang dekat dan intim dengan Allah akan merasa ketakutan
yang luar biasa kepada-Nya. Takut akan ancaman dan siksa-Nya, takut berpisah,
dijauhi oleh-Nya, sehingga terputus dari rahmat-Nya dan hilang rasa nikmat
bersama-Nya. Namun pada saat bersamaan sang hamba juga merasakan raja’, harapan
yang besar akan limpahan dan ampunan, kasih sayang, dan karunia Allah.
Thuma’ninah
adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau khawatir, tak ada yang dapat
mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi. Seseorang yang telah mencapai tingkatan thuma’ninah,
ia telah kuat akalnya, kuat imannya dan ilmunya serta bersih ingatannya. Jadi,
orang tersebut merasakan ketenangan, bahagia, tentram dan ia dapat
berkomunikasi langsung dengan Allah. Thuma’ninah dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pertama, ketenangan bagi kaum awam. Ketenangan ini didapatkan ketika seorang
hamba berzikir, mereka merasa tenang karena buah dari berzikir adalah
terkabulnya doa-doa. Kedua, ketenangan bagi orang-orang khusus.
Mereka di
tingkat ini merasa tenang karena mereka rela, senang atas keputusan Allah, sabar
atas cobaan-Nya, ikhlas dan takwa. Ketiga, ketenangan bagi orang-orang paling
khusus. Ketenangan di tingkat ini mereka dapatkan karena mereka mengetahui
bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan
tidak bisa tenang kepada-Nya, karena kewibawaan dan keagungan-Nya.
Secara literal, Thuma’ninah berarti
tenang tentram, tidak ada perasaan khawatir atau was-was, tak ada yang dapat
,mengganggu perasaan dan pikiran, karena ia telah mencapai tingkat kebersihan
jiwa yang paling tinggi. Thuma’ninah menurut Al-Sarraj adalah hal yang paling
tinggi. Thuma’ninah bagi sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya,
dalam ilmunya, bersih ingatannya dan kokoh realitasnya (haqiqat).
Thuma’ninah terbagi menjadi
3 tingkatan:
- Pertama adalah kaum awam. Mereka merasa tenang jika menyebut-Nya.
- Kedua, Kelompok khushus(khusus). Mereka tenang karena rela dengan ketetapan-Nya, sabar dengan , musibah-Nya, bertakwa, ikhlas, dan damai.
- Ketiga, kelompok istimewa (khusus al khusus) mereka mengetahui bahwa rahasia-rahasia yang ada pada mereka tidak akan mampu membuat tenang kepada-Nya, karena rasa agung dan segan yang hinggap dihati mereka. Menurut mereka, Allah tidak memiliki akhir yang mungkin dicapai.
d. Uns
Uns (suka cita)
dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa
sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa,
tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa
terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi
dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi
kejiwaan seperti itulah yang disebut al-Uns. Ada sebuah ungkapan yang
menggambarkan al-Uns sebagai berikut: “Ada orang yang merasa sepi dalam
keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya, sebab sedang
dimabuk cinta, seperti halnya sepasang pemuda dan pemudi. Ada pula orang yang
bising dalam kesepian. Ia adalah orang selalu memikirkan atau merencanakan tugas
pekerjaannya semata-mata. Adapun engkau selalu berteman di manapun berada.
Alangkah mulianya engkau berteman dengan Allah. Artinya engkau selalu berada
dalam pemeliharaan Allah.[49]
Seorang hamba
yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, seorang
hamba yang merasakan suka cita berzikir mengingat Allah dan merasa gelisah di
saat lalai. Merasa senang di saat berbuat ketaatan dan gelisah berbuat dosa.
Kedua, seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap
bisikan-bisikan hati, pikiran dan segala sesuatu selain Allah yang akan
menghalanginya untuk dekat dengan Allah. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak lagi
melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan dan mengagungkan
disertai dengan suka cita.
Dalam
tasawuf ‘Uns berarti keakraban atau keintiman menurut Abu Sa’id Al Kharraj ‘Uns
adalah perbincangn roh dengan Sang Kekasih pada kondisi yangs sangat dekat.
Dzunun memandang ‘Uns sebagai perasaan lega yang melekat pada sang pencinta
terhadap Kekasihnya. Salah seorang pemuka thabi’in menulis surat kepada
khalifah Umar bin Abdul Aziz,”Hendaknya keakrabanmu hanya dengan Allah semata
dan putuskan hubungan selain dengan-Nya.”. Menurut Al-Sarraj, ‘Uns
bersama Allah bagi seorang hamba adalah ketika sempurna kesuciannya dan
benar-benar bening zikirnya serta terbebas dari segala sesuatu yang
menjauhkannya dari Allah.
Orang-orang yang intim itu
terbagi atas tiga tingkatan.
- Pertama, mereka yang merasa intim dengan sebab zikir dan jauh dari kelalaian, merasa intim dengan sebab ketaatan dan jauh dari dosa.
- Kedua, Ketika sang hamba sudah sedemikian intim bersama Allah dan jauh dari apapun selain-Nya, yakni pengingkaran-pengingkaran dan bisikan-bisikan yang menyibukkannya.
- Ketiga adalah hilangnya pandangan tentang ‘Uns karena ada rasa segan, kedekatan dan keagungan bersama ‘Uns itu sendiri. Maksudnya sang hamba sudah tidak melihat ‘uns itu sendiri.
Dalam perpektif tasawuf,
musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata hati, tanpa keraguan sedikitpun,
bagaikan melihat-Nya dengan mata kepala. Hal ini berarti bahwa dalam tasawuf,
seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan dengan mata
hatinya. Sehingga boleh jadi, hanya bagi mereka, Tuhan itu dapat dilihat. Hal
ini misalnya tertera dalam permohonan Nabi Musa as untuk melihat Tuhan, ”Musa
berkata : Ya Tuhanku perlihatkanlah (diri-Mu) kepadaku, agar aku dapat
melihat-Mu.” (QS. Al-Khaf : 143). Para Sufi juga meyakini bahwa Nabi Muhammad
SAW dapat melihat Tuhan ketika melakukan Mi’raj.
Menurut Al Sarraj,
musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan gambaran-gambaran yang menambah
hakikat keyakiinan. Tingginya hal Musyahadah ini ditunjukkan oleh firman
Allah,
“Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (QS. Qaf :37).
Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan
dengan mata.
Hal Musyahadah ini dapat
dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf, yakni menemukan puncak
pengalaman rohani kedekatan seorang hamba dengan Allah. Menurut Al sarraj
ahli Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan.
- Tingkat pertama, adalah kelompok Al Ashagir (pemula), yakni mereka yang berkehendak.
- Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan kelompok ini Musyahadah berarti bahwa ciptaan aa pada genggaman Yang Haq dan pada kerajaan-Nya.
- Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al Makki, hati kaum arifin ketika menyaksikan Allah sesungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang koko
Musyahadah adalah nampaknya Allah pada
hambanya dimana seorang hamba tidak melihat sesuatu apapun dalam beribadah,
kecuali hanyalah menyaksikan dan meyakini dalam hatinya, bahwa ia hanyalah
berhadapan dan dilihat oleh Allah SWT. Dalam beribadah ia tidakmenghiraukan
lagi terhadap sesuatu yang disekelilingnya, termasuk dirinya sendiri karena
asyiknya berhubungan dengan Allah seakan-akan Allah benar-benar nampak
dihadapannya.
Seorang akan dapat mencapai musyahadh
billah, jikalau ia melakukan mujahadah fil amal dan sebelumnya telah mencapai
maqam fana’ atau memunafikkan tujuan lain selain daripada Allah. Ibadahnya
hanya semata-mata ditujukan dan dihadapkan kepada Allah dan sama sekali bebas
dari unsur riya’.
Adapun terjadinya musyahadah adalah
dengan adanya nur musyahadah yang terpancar dalam hati seseorang. Dan
terjadinya musyahadah ini melalui tiga tahap yaitu :
a.
Nur musyahadah pertama, adalah yang
membukakan jalan dekat kepada Allah. Tanda-tandanya ialah seorang merasa
muraqabah/ berintaian dengan Allah.
b.
Nur musyahadah
kedua, adalah tampaknya keadaan “adamiah”
yakni hilangnya segala maujud, lebur kedalam wujud Allah dan baginyalah
wujud yang hakiki.
c.
Nur musyahadah
ketiga yakni tampaknya Dzatullah yang maha suci. Dalm hal ini bila seorang
telah fana’ sempurna, yaitu diantaranya telah lebur dan yang baqa’ hanyalah
wujud Allah.
Musyahadah
ini masuk pada hati seorang hamba Allah yang telah melakukan mujahadah fil
ibadah dengan cara memfana’kan diri terlebih dahulu, mengikhlaskan dirinya
dalam beribadah dan menghilangkan sifat-sifat yang menjadi penghalangnya
musyahadatur rabbaniyah. Karena itu ada pula yang mengatakan bahwa musyahadah
bisa dicapai melewati pintu mati.
Selanjutnya
jalan yang ditempuh untuk sampai pada musyahadah dengan Allah melalui pintu
mati (dalam pengertian matinya nafsu untuk hidupnya hati)dapat ditempuh pada 4
tingkat yaitu :
1.
Mati tabi’i
Menurut sebagian ahli
thariqat, bahwa mati thabi’i terjadi dengan karunia Allah pada saat dzikir
qalbi didalam dzikir lathaif. Dan mati tabi’i ini merupakan pintu musyahadah
pertama dengan Allah.
2.
Mati ma’nawi
Menurut sebagian ahli thariqat bahwa
mati ma’nawi ini terjadi dengan karunia Allah pada seseorang salik saat
melakukan dzikir Lathifatur Ruh dalam dzikir lathifatur Ruh dalam dzikir
lathaif. Terjsdinya itu sebagai ilham yang tiba-tiba nur Ilahi terbit dalam
hati. Ketika itu penglihatan secara lahir menjadi hilang lenyap dan mata batin
menguasai penglihatan.
3.
Mati suri
Mati suri ini terjadi dengan karunia
Allah pada saat seseorang salik melakukan dzikir lathifatus sirri dalam dzikir
lathaif. Pada tingkat ketiga ini, seorang salik telah memasuki pintu musyahadah
dengan Allah. Ketika itu segala keinsanan lenyap/fana’ alam wujud yang gelap
telah ditelan oleh alam ghaib/alam malakut yang penuh dengan nur cahaya. Dalm
pada ini yang baqa’ adalah nurullah, nur shifatullah, nur asmaullah, nur
dzatullah dan nurun ala nurin.
Untuk mencapai keadaan musyahadah seperti tersebut diatas adalah dengan
mujahadah, niscaya Allah akan memperbaiki sirnya/hatinya dengan musyahadah.
Apabila seseorang telah mendapatkan karunia Allah dengan musyahadah, maka
dengan sendirinya akan lenyaplah segala hijab dari sifat-sifat basyariah,
nampaknya Allah atau tajalli.
Perpaduan antara pengetahuan dan rasa cinta yang mendalam lagi dengan
adanya perjumpaan secara langsung, maka tertanamlah dalam qalb perasaan
yang mantap tentang Allah. Perasaan mantapnya pengetahuan yang diperoleh dari
pertemuan secara langsung itulah yang dinamakan al-yaqin. Jadi, al-yaqin
berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan rasa
cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid, yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, tidak berbalik, tidak berpindah dan
tidak berubah. Dengan demikian, yaqin adalah kepercayaan yang kokoh, tak
tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki.[51]
3.
Penutup
Meskipun para sufi berbeda pendapat mengenai
pengertian ahwal secara luas, perlu dipertegas disini bahwa menurut al-Sarraj,
hal adalah anugerah (mawahibah) Allah yang diberikan kepada sang hamba sebagai
hasil dari usaha dan perjuangannya di dalam menempuh maqamat. Maqam diusahakan,
sementara hal tidak. Maqam sifatnya tetap dan permanen, sedangkan hal tidak
tetap, datang dan pergi.
Banyak orang
mukmin yang sudah beribadah dengan baik kepada Allah SWT tetapi mereka belum
bisa khusyu’ dalam ibadahnya karena keadaan jiwa mereka belum tenang atau
stabil, sedangkan agar kita bisa dekat kepada Allah SWT adalah kejiwaan kita
haruslah tenang. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia pasti merasakan apa yang
namanya keadaan mental seperti senang, sedih, perasaan takut dan sebagainya,
tetapi kita tidaklah boleh terlalu terhanyut di dalam keadaan tersebut karena
kita harus segera merubahnya menjadi lebih baik.
Selain
itu kita haruslah mencontoh sifat sufi yang selalu melatih sifat mentalnya
dengan cara riyadlah yang berarti
latihan mental, mujahadah yaitu
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan perintah Allah, uzlah yaitu mengasingkan diri dari pengaruh keduniawian, muraqabah mendekatkan diri kepada Allah.
Setelah itu adalah suluk yang berarti
menjalankan cara hidup seperti sufi yaitu berdzikir dan berdzikir.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu al-wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal
ila al-Tashawwuf al- Islam, terj. Ahmad Rofi’ ‘Utsmani , Sufi dari Zaman
Kezaman (Suatu Pengantar Tentang Tasawuf), Bandung : Pustaka, 1985.
Abdul Fattah, Tasawuf antara Al-Ghazali & IbnuTaimiyah, Jakarta: Khalifa, 2005.
Abdul Hakim
Atang, Metodologi Studi Islam,Bandung:Rosdakarya,
2009.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Ahmad Daudy, Kuliah Ilmu Tasawuf, Jakarta: Bulan
Bintang, 1998.
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
Amin
Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern , Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2003.
----------------- Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2000.
Amatullah
Amstrong, Sufi Terminology ( Al-Qomus Al-Sufi) The Mystical
Language of Islam, Singapura : AS. Noorden, 1995.
Asmaran As,
Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta:Rajawali Press,1994.
Fadholi, Muhammad, Keutamaan Budi Dalam Islam, Surabaya
: Al-Ikhlas.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan
Bintang: 1995.
Hendrik,
Fitrini, Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf, Makalah , Watampone: Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri, 2013.
Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Ar-Risalatul
Qusyairiyyah fi ‘Ilmi at-Tashawwufi, terj. Muhammad Luqman
Hakim, Risalatul Qusyairiyah (Induk Ilmu Tasawuf),
Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Imam
Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, terj. Zaid Husein Al Hamid
Ringkasan Ihya’ Ulumuddin, Jakarta : Pustaka Imani, 1995.
Ibnu
Qayyim al-Jauzi, Sirat al-Mustaqim, Madarij al-sadikin baina manazilu,
Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, Juz I.
Jumantoro,Totok.
Munir Amin, Samsul. Kamus Ilmu Tasawuf,
Wonosobo: Azhar, 2005.
Kafie,
Jamaludin. Tasawuf Kontemporer,
Jakarta, Republika, 2003.
Mahmud Yunus, Kamus
Arab Indonesia, Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1973.
Rosihan Anwar
dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, Bandung , Pustaka Setia, 2004.
Said
Hawwa, Tazkiyatun Nafs, Intisari Ihya
Ulumuddin, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2005.
Suhrawardi
Syekh Syihabuddin Umar, 1998, Awarif
al-Ma’arif., Bandung: Pustaka Hidayah.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, Surabaya:
IAIN SA Press, 2011.
Qamar Kaylani, fi
al-Tasawuf al-Islam, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1969
Zainul Bahri, Menembus Tirai
Kesendiriannya, Jakarta: Prenada.
No comments:
Post a Comment