desaku yang dulu bukanlah yang sekarang...
mungkin plesetan lagu dari "Tegar" cocok untuk merepresentasikan suasana kampungku saat ini. Dulu...pendidikan tinggi masih jarang dijumpai. mayoritas pendidikan mereka sampai SD, setamat dari SD hanya ada 2 pilihan. menikah yang mayoritas dengan sesama tetangga, atau bekerja keluar kota sebagai PRT. atau menjadi TKW diluar negeri. suasana mengaji dan sekolah dimadrasah masih ramai, tidak ada satupun anak yang gengsi ketika menjadi pengurus masjid, mengajar ngaji, dan aktif dengan kegiatan di madrasah. apapun latar pendidikannya, hampir semua anak dikampungku mampu melafalkan ayat al-Quran dengan fasih, mengetahui tajwid, dan tahu ilmu agama. sangat jarang sekali yang melanjutkan studi, bukannya tidak mau tetapi memang kondisi ekonomi yang memaksakan mereka berhenti mengenyam bangku sekolah.
biasanya kami berangkat kesekolah mengendarai sepeda ontel. uniknya, meskipun tanpa komando, tiap pagi kami selalu mempunyai tempat "mangkal" untuk menunggu teman-teman satu sekolahan. jika dirasa sudah berkumpul kita mengendarai sepeda bersama-sama kesekolah. jika hujan turun kami jalan kaki, melewati sawah karena kondisi jalanan yang becek. dengan sepatu yang dilepas, biasanya kami sampai disekolah dengan kondisi kaki yang penuh dengan "endut (lumpur). sebelum memasuki ruang kelas, kami masuk dulu kesungai depan sekolah untuk mencuci kaki dan memaki sepatu.
biasanya, momen lebaran menjadi momen yang benar-benar ditunggu. dimana semua warga kampung yang sedang merantau kembali kekampung halaman, bersilaturahmi mengunjungi semua rumah disatu dusun, bergerombol dengan teman yang lain, biasanya kita sebut "mbarak". tidak ada sekat antara warga yang tinggal dikampung, ataupun mereka yang pulang merantau. jika sudah kembali kekampung semua membaur menjadi satu, kembali menjadi anak kampung dengan segala tradisi yang ada.
"mbok", "emak", "mamak", "bue" adalah panggilan sayang pada wanita hebat yang telah melahirkan kami. "pae", "bapak" adalah panggilan untuk laki-laki hebat yang telah menafkahi kami. mayoritas pekerjaan mereka adalah petani, buruh tani, dan pedagang. hanya sedikit sekali yang bekerja di instansi pemerintahan atau PNS. hanya sekitar 2% dari total penduduk di kampungku.
namun saat ini semua telah berubah. mungkin karena perubahan zaman dan tekhnologi, sehingga merubah semua keharmonisan yang ada dikampungku. 8 hingga 10 tahun pada generasi dibawahku tepatnya. saat ini pendidikan sudah bukan menjadi barang langka, minimal mereka mengenyam pendidikan hingga SMA. bahkan ditahun 2013an hingga sekarang, sudah banyak yang menempuh perkuliahan di luar kota. karena sudah mengetahui pergaulan dikota, saat ini madrasah dikampungku nyaris "tutup". generasi muda yang dulu bangga berangkat ke masjid saat ini merasa "g gaul" kalau pergi ke masjid. standar gaulnya ada pada gadget dan motor yang setiap hari mereka gunakan untuk sekolah. tak ada lagi tradisi tunggu menunggu sebelum berangkat sekolah, tak ada lagi sepatu yang berlumpur, dan tak ada lagi tradisi mencuci kaki di sungai sebelum pelajaran dimulai.
dan....perubahan drastis juga ada pada mereka yang merantau. sepulang dari rantauan biasanya panggilan sayang mereka pada "mbok", "emak", "mamak", "bue" hampir tak lagi terdengar. semua berubah memanggil "mama" atau "mamah". "pae", "bapak" berubah menjadi "ayah", "papah". ya.....mungkin ketika di kota mereka mendengar teman mereka memanggil ibu dan bapaknya dengan panggilan tersebut, sehingga mereka merasa "gaol" kalo menggunakan panggilan itu dikampung.
perubahan lain juga ada pada cara berpakaian. mereka yang dulu berjilbab ketika dirumah tiba-tiba pulang dengan menunjukkan rambut rebonding dan smoothing yang terurai dipundak dan bahu. ya....mungkin jilbab dianggap ketinggalan zaman, sehingga mereka memilih untuk mengikuti trend rebonding yang ada di tempat mereka merantau. yang nggak kalah mengejutkan, ya warna kulit. perasaan dulu sewaktu dikampung kulitnya sawo matang, kok sepulang dari perantauan semua berubah menjadi kulit putih hehhehe.
dahulu, sewaktu PRT menjadi pekerjaan utama bagi para perantau, nyaris tak pernah terdengan para orang tua yang menyebutkan atau membanggakan gaji anak mereka yang merantau. namun saat ini, persaingan antar orang tua terlihat sangat panas. "anakku kerjo nek Jakarta bayarane 4 juta" (anakku kerja di jakarta gajinya 4 juta", anakku yo wes sukses saiki rupane maleh ayu gek resik, kerjone penak gajine yo akeh 3 juta" (anakku sekarang sudah sukses, parasnya sekarang juga cantik, dapat kerjaan enak, gajinya 3 juta), "jan untung tenan yo bar lulus SMA anakku kerjo nek luar Jawa gek gajine 12 juta, saiki aku ra perlu susah-susah nak sawah" (benar-benar beruntung anakku, setelah lulus SMA kerja diluar Jawa gajinya 12 juta, sekarang saya tidak perlu susah-susah menjadi buruh disawah).
terlepas dari benar atau tidaknya berita yang disebarkan tersebut, yang jelas mungkin para ibu-ibu dikampungku sedang berbangga, bangga karena anak mereka tidak lagi merantau sebagai PRT. namun ketika muncul pertanyaan, "yogane kerjo ten bagian nopo?" (anaknya kerja dibagian apa?), banyak ibu yang tidak tahu. yang mereka sebarkan hanya besaran gajinya, tetapi tidak mengetahui apa deskripsi pekerjaan anaknya diperantauan.
yups....semua memang telah berubah, perubahan gaya hidupun telah menyulap kampungku menjadi semi kota dengan meninggalkan separoh dari tradisi-tradisi yang ada. namun bagaimanapun jika memungkinkan, aku memilih untuk kembali. kembali kekampung dimana orang tuaku saat ini berjuang, ditempat dimana aku dibesarkan, dan ditempat dimana aku merasakan indahnya persaudaraan. karena bagaimanapun, aku adalah wong ndeso, yang terlahir dikota terpencil di Jawa Timur. disebuah desa yang berbatasan langsung dengan hutan kayu putih yang saban hari dilewati truk-truk pengangkut. Dimanapun, dan apapun profesi yang aku jalani, aku tidak akan malu untuk selalu menyampaikan bahwa aku memang wong ndeso, tak masalah aku dipanggil "jawa" oleh sebagian teman dikantor karena cara ngomongku yang masih berlogat "medok". tak menjadi beban ketika penampilanku yang sederhana dibilang ketinggalan zaman.
but...this is me. Jakarta hanya tempatku menimba ilmu dan mencari rezeki, namun jiwaku tetap wong ndeso, dan berharap semoga tetap menjadi wong ndeso yang selalu mengangkat nilai-nilai kesopanan yang dulu sering disampikan kedua orang tuaku.
"opo ae kerjaanmu nduk, nek ngendi ae kuliahmu ojo sombong, kudu tetep eling aslimu wong ndeso, ora sak kemlinti lan sombong, lan ojo isin lak ditakoni konco-koncomu, ojo isin nyritakne lek wong tuamu, bapak lan ibumu saiki sek tetep manggon nek ponorogo dadi wong ndeso. ojo nyeluk aku "mama" koyo konco-koncomu nek jakarta, aku seneng diceluk bue koyo pas kowe cilik mbiyen nduk. gek wajahmu ora sah diputih-putihne, aku wedi lak wajahmu karo gulumu bedo warnane, cukup resikono ae wajahmu ben ora reget, sen luwih penting jilbabmu ojo dicopot sampek kowe tuwek, masiho jabatanmu duwur lek kowe sampek nyepot jilbab aku ra ikhlas nduk."
nasehat ini memang terdengar lucu dan polos. yang terlontar dari wanita hebat yang aku panggil "ibu". wanita yang menghabiskan seluruh usianya di hanya satu kota "Ponorogo". nasehatnya tulus dan benar-benar dari hati, yang beliau ucapkan setelah melihat perubahan tradisi dikampungku. seorang ibu yang menghabiskan 3/4 waktunya didapur rumah untuk membuat kue pasaran dan dijual ditoko-toko, wanita yang tidak pernah malu untuk menjalankan profesi apapun selagi halal untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. wanita yang hingga saat ini belum mampu aku balas jasa-jasanya. aku berharap dengan mendengarkan dan menjalankan nasehatnya mampu membuat satu senyum diwajahnya.
kulo bangga dados tiyang ndusun buk, kulo mboten isin
simple pride
ReplyDeletethanks for visit mbak cantik....
Delete