Saturday 22 November 2014

Friend, but Called Family (part 1)



Diawali pada pertengahan tahun 2011 kalau nggak salah diawal semester 3. Waktu itu ada program rekruitmen ICP (International Class Program) untuk semua mahasiswa  angkatan 2010. Yang pada akhirnya ada 16 mahasisa/I yang dinyatakan lolos dan bisa bergabung. Naasnya dari 16 anak, hanya 3 orang yang berasal dari kelas lamaku. Sedangkan 13 yang lain berasal dari kelas yang berbeda dan sangat asing. Kebetulan aku termasuk type orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, dan cepat ber-suudzon dengan orang yang baru dikenal. Nggak heran, hamper 3 bulan aku kuliah dikelas yang benar-benar asing dan nggak asik sama sekali. Jangankan mau interaksi, mau “nyawang” temen sendiri aja males.

Sampai-sampai pas ada program studi ekskursi ke berbagai lembaga di Ibu Kota kala itu, aku harus memaksa teman lamaku  namanya Fatih yang hingga sekarang masih menjadi sahabat terdekatku untuk ikut. Sudah bisa ditebak pasti dia menolak, karena kebetulan teman dari kelas lamaku tidak ada yang ikut. Setelah melakuan lobbying hingga berhari-hari akhirnya dia menuruti dan mau ikut. Selama perjalanan bahkan hingga tujuan aku menjauh dari teman-teman ICP (sekarang nyesel karena nggak ada fotoku dikoleksi album studi ekskursi mereka, hiks). Dan hanya berdua dengan Fatih, kemanapun ya cuman berdua.
Aku lupa kapan tepatnya, tapi seinget aku setelah beberapa bulan tinggal di ICP banyak dekanat dan dosen yang menuntut kita untuk menunjukkan kemampuan akademik dan non akademik lebih dari biasanya. Semacam di “fresher” lah kita ini, agak tertekan sih dan jadi nggak santai. Yang paling aku ingat ada salah satu pembantu dekan (nama beliau bpk Fauzan Zenrif, semoga beliau diberi kesehatan selalu) yang menangis karena kecewa dengan performa teman-teman ICP. Bayangkan beliau bapak-bapak yang terkenal sangar dan disiplin tinggi tiba-tiba menangis karena kecewa. Yups….kecewa karena kita diberi tugas analisis teks berbahasa Inggris yang sumpah sulit banget. Nah pas disuruh present didepan kita nggak ada yang maju. Alasan yang paling mendasar yang bikin nggak mau maju itu ya ‘takut’. Takut salah trus diomelin.
Kata-kata yang paling aku inget dari beliau sebelum meneteskan air mata kurang lebih seperti ini “bertahun-tahun kami menyiapkan ini semua, fasilitas jutaan rupiah (krn memang di ICP 1 anak mendapat 1 set computer dan pembelajaran berbasis IT, dengan ruangan yang full tekhnologi dan ber-AC), kurikulum yang dirapatkan hingga berkali-kali (bahasa pengantar mengunakan bahasa arab dan inggris), menyiapkan tenaga pengajar dengan mengajukan anggaran lebih, ternyata seperti ini hasilnya?? Katanya kalian menguasai bilingual, tapi disuruh presentasi 1 artikel saja tidak ada yang siap. Kalian tidak belajar??. Daripada sakit hati, lebih baik program ini ditutup dan disiapkan untuk tahun depan saja, daripada yang ada disini hanya mahasiswa karbitan seperti kalian”. Kata-katanya tidak berlanjut karena beliau menangis.
Rasanya itu ‘jleb’ banget, sakit tuh sampai ke hulu hati yang paling dalam. Seingetku ketika beliau menangis salah satu temanku kalau nggak salah Triono langsung maju dan mencoba mempresentasikan artikel dengan bahasa inggris. Tuh kan, benar dugaanku, sebenarnya kita sedikit paham tentang artikel itu hanya saja takut mau maju. Ketika Triono presentasi kita saling diskusi untuk memecahkan maksud dari artikel tersebut, karena memang pemahaman kita masih bercabang. Triono atau yang biasa dipanggil pak Tri duduk dan kita bikin lingkaran sebelum akhirnya kita present akhir dengan suasana yang masih dingin. Pak Fauzan masih tetap duduk dikelas dikursi dosen dan hanya “nyawang” kita yang sedang diskusi. Perkuliahan diakhiri dengan resume dari Pak Fauzan dan terakhir sebelum meningalkan kelas beliau menyampaikan “masa harus nunggu saya nangis dulu baru kalian diskusi” sembari tersenyum dan berjalan meninggalkan kelas.
Kayaknya itu awal kedekatanku dengan mereka. Dalam hatiku, enak juga ya kalau kita sekelas dengan teman-teman yang punya semangat belajar tinggi, pintar, dan cerdas kayak gini. Rasanya belajarpun semangat karena ada patner yang bisa diajak sharing.
Yang mengagetkan lagi, diperkuliahan selanjutnya, pada mata kuliah dan dosen yang sama, beliau mengajak kita semua untuk menuju Qordova (tempat makan favorit anak kampusku) yang terletak didepan kampus tepat. Yups…kita ditraktir makan oleh beliau sambil belajar (tapi banyak makannya).
Semenjak itu pak Ketua yang saat itu dijabat Akmal ngajak untuk diskusi mingguan, membahas mata kuliah yang dianggap susah dan biasanya ngajak ngerjain tugas bareng.

No comments:

Post a Comment