Diawali pada pertengahan tahun 2011 kalau nggak salah diawal
semester 3. Waktu itu ada program rekruitmen ICP (International Class Program)
untuk semua mahasiswa angkatan 2010. Yang
pada akhirnya ada 16 mahasisa/I yang dinyatakan lolos dan bisa bergabung. Naasnya
dari 16 anak, hanya 3 orang yang berasal dari kelas lamaku. Sedangkan 13 yang
lain berasal dari kelas yang berbeda dan sangat asing. Kebetulan aku termasuk
type orang yang tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru, dan cepat
ber-suudzon dengan orang yang baru dikenal. Nggak heran, hamper 3 bulan aku
kuliah dikelas yang benar-benar asing dan nggak asik sama sekali. Jangankan mau
interaksi, mau “nyawang” temen sendiri aja males.
Sampai-sampai pas ada program studi ekskursi ke berbagai
lembaga di Ibu Kota kala itu, aku harus memaksa teman lamaku namanya Fatih yang hingga sekarang masih
menjadi sahabat terdekatku untuk ikut. Sudah bisa ditebak pasti dia menolak,
karena kebetulan teman dari kelas lamaku tidak ada yang ikut. Setelah melakuan lobbying
hingga berhari-hari akhirnya dia menuruti dan mau ikut. Selama perjalanan
bahkan hingga tujuan aku menjauh dari teman-teman ICP (sekarang nyesel karena
nggak ada fotoku dikoleksi album studi ekskursi mereka, hiks). Dan hanya berdua
dengan Fatih, kemanapun ya cuman berdua.
Aku lupa kapan tepatnya, tapi seinget aku setelah beberapa
bulan tinggal di ICP banyak dekanat dan dosen yang menuntut kita untuk
menunjukkan kemampuan akademik dan non akademik lebih dari biasanya. Semacam di
“fresher” lah kita ini, agak tertekan sih dan jadi nggak santai. Yang paling
aku ingat ada salah satu pembantu dekan (nama beliau bpk Fauzan Zenrif, semoga
beliau diberi kesehatan selalu) yang menangis karena kecewa dengan performa
teman-teman ICP. Bayangkan beliau bapak-bapak yang terkenal sangar dan disiplin
tinggi tiba-tiba menangis karena kecewa. Yups….kecewa karena kita diberi tugas
analisis teks berbahasa Inggris yang sumpah sulit banget. Nah pas disuruh
present didepan kita nggak ada yang maju. Alasan yang paling mendasar yang
bikin nggak mau maju itu ya ‘takut’. Takut salah trus diomelin.
Kata-kata yang paling aku inget dari beliau sebelum
meneteskan air mata kurang lebih seperti ini “bertahun-tahun kami menyiapkan
ini semua, fasilitas jutaan rupiah (krn memang di ICP 1 anak mendapat 1 set computer
dan pembelajaran berbasis IT, dengan ruangan yang full tekhnologi dan ber-AC),
kurikulum yang dirapatkan hingga berkali-kali (bahasa pengantar mengunakan
bahasa arab dan inggris), menyiapkan tenaga pengajar dengan mengajukan anggaran
lebih, ternyata seperti ini hasilnya?? Katanya kalian menguasai bilingual, tapi
disuruh presentasi 1 artikel saja tidak ada yang siap. Kalian tidak belajar??. Daripada
sakit hati, lebih baik program ini ditutup dan disiapkan untuk tahun depan
saja, daripada yang ada disini hanya mahasiswa karbitan seperti kalian”. Kata-katanya
tidak berlanjut karena beliau menangis.
Rasanya itu ‘jleb’ banget, sakit tuh sampai ke hulu hati
yang paling dalam. Seingetku ketika beliau menangis salah satu temanku kalau
nggak salah Triono langsung maju dan mencoba mempresentasikan artikel dengan
bahasa inggris. Tuh kan, benar dugaanku, sebenarnya kita sedikit paham tentang
artikel itu hanya saja takut mau maju. Ketika Triono presentasi kita saling
diskusi untuk memecahkan maksud dari artikel tersebut, karena memang pemahaman
kita masih bercabang. Triono atau yang biasa dipanggil pak Tri duduk dan kita
bikin lingkaran sebelum akhirnya kita present akhir dengan suasana yang masih
dingin. Pak Fauzan masih tetap duduk dikelas dikursi dosen dan hanya “nyawang”
kita yang sedang diskusi. Perkuliahan diakhiri dengan resume dari Pak Fauzan
dan terakhir sebelum meningalkan kelas beliau menyampaikan “masa harus nunggu
saya nangis dulu baru kalian diskusi” sembari tersenyum dan berjalan
meninggalkan kelas.
Kayaknya itu awal kedekatanku dengan mereka. Dalam hatiku,
enak juga ya kalau kita sekelas dengan teman-teman yang punya semangat belajar
tinggi, pintar, dan cerdas kayak gini. Rasanya belajarpun semangat karena ada
patner yang bisa diajak sharing.
Yang mengagetkan lagi, diperkuliahan selanjutnya, pada mata
kuliah dan dosen yang sama, beliau mengajak kita semua untuk menuju Qordova
(tempat makan favorit anak kampusku) yang terletak didepan kampus tepat. Yups…kita
ditraktir makan oleh beliau sambil belajar (tapi banyak makannya).
Semenjak itu pak Ketua yang saat itu dijabat Akmal ngajak
untuk diskusi mingguan, membahas mata kuliah yang dianggap susah dan biasanya
ngajak ngerjain tugas bareng.
No comments:
Post a Comment